Meski sang Pedanda telah memberitahu bahwa Ni Luh tidak diterima oleh Banaspati Raja, Anak Agung Tangkar tetap bersikukuh. Meski ia tahu bahwa Ni Luh bukan keturunan Kasta Kesatria. Meski ia tahu bahwa Ni Luh hanya seorang wanita Sudra. Ia tetap membakarnya disana. Ia ingin merobohkan tembok kasta yang selama ini dijunjung tinggi oleh orang Bali. Demi cintanya kepada Ni Luh Sulastri. Wanita yang sangat ia cintai dalam hidupnya.
***
Tiada takut diriku bila disampingmu. Ingin selalu selamanya bersamamu
Aku tak pernah pergi, aku selalu ada di hatimu. Saat aku tak lagi di sisimu, kutunggu kau di keabadian.
Anak Agung Tangkar mendekati bade itu. Dengan napas yang tersengal-sengal, ia berusaha mendekati batu pengabenan. Hingga akhirnya ia berhasil mendapatkan jasad Ni Luh Sulastri.
"Ni Luh...." teriak lelaki itu sambil mengibas-ibaskan kain poleng miliknya untuk menghalau kobaran api yang perlahan-lahan menjilat jasad istrinya.
Semua yang hadir mengikuti ritual pengabenan terpaku menyaksikan kejadian itu. Beberapa orang mulai bergunjing. Mereka baru menyadari bahwa jasad diatas batu untuk pengabenan kasta Kesatria itu adalah jasad seorang berkasta Sudra. Jasad itu tidak pada tempat yang seharusnya.
Anak Agung Tangkar akhirnya berhasil membawa jasad Ni Luh Sulastri pergi. setelah beberapa langkah, ia kerauhan. Ia berteriak kencang. Banaspati Raja telah merasuk kedalam tubuh Anak Agung Tangkar. Lalu ia berjalan kembali menuju bade. Nyala api yang semula kecil, tiba-tiba menjadi besar seketika. Api itu melahap tubuh mereka berdua. Semua yang hadir di pengabenan berteriak histeris. Suasana menjadi ricuh. Sang Pedanda berusaha menenangkan orang-orang yang hadir.
Putra tertua Anak Agung Tangkar dan Dewi Ayu Sulastri hanya bisa diam menyaksikan kejadian itu. Tidak ada yang bisa ia lakukan. Para penduduk tidak berani mendekat untuk menyelamatkan Anak Agung tangkar. Hingga akhirnya mereka melihat dengan jelas tubuh Anak Agung Tangkar perlahan-lahan terbakar dan menjadi abu disamping jasad istrinya yang tidak kunjung terbakar.
Setelah bara api padam, putra tertua Anak Agung Tangkar dibantu anggota keluarga yang lain menuju panggung pengabenan ntuk mengambil abu orang tua mereka.
Ida Pedanda Ngurah Kaleran mendekati panggung pengabenan. Ia melihat jasad Ni Luh Sulastri. Lalu memegang jasad itu.