Mohon tunggu...
Choirul Rosi
Choirul Rosi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen yang hobi membaca buku dan novel

Cerita kehidupan yang kita alami sangat menarik untuk dituangkan dalam cerita pendek. 🌐 www.chosi17.com 📧 choirulmale@gmail.com IG : @chosi17

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Banaspati Raja

9 Januari 2020   14:37 Diperbarui: 9 Januari 2020   14:42 3285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : 3bp.blogspot.com

Api makin membesar. Menyala hebat menjilat-jilat tubuh Ni Luh Sulastri yang terbaring diatas bade. Tiba-tiba sesosok lelaki berjalan menuju kobaran api dengan napas yang tersengal-sengal. Tak seorangpun berani menghentikan langkahnya.

"Ni Luh...." teriak lelaki itu sambil mengibas-ibaskan kain poleng miliknya untuk menghalau kobaran api.

***

Aku jatuh cinta, hidup ini indah karenamu.
Takdir aku hidup denganmu, menjalani cinta bersamamu.

Sehati denganmu.

Anak Agung Tangkar, seorang mahasiswa di sebuah universitas di Denpasar Bali. Lelaki yang terjerat cinta seorang gadis bernama Sulastri. Seorang gadis yang ia tahu bahwa ia merasa nyaman saat bersamanya. Merasa bahagia saat ia bertemu dengannya. Merasa yakin bahwa gadis itulah belahan jiwanya. Meski ia belum tahu dari kasta mana gadis yang ia puja itu. Baginya, kasta hanyalah semacam tembok raksasa. Tembok adat yang ia yakin mampu ia runtuhkan. Demi cintanya kepada Sulastri, ia rela meruntuhkan tembok yang dijunjung tinggi oleh keluarganya itu.

Masa perkuliahan mereka sebentar lagi berakhir. Itu artinya hubungan mereka berdua sudah berjalan hampir tiga tahun lamanya sejak perkenalan mereka berdua di awal-awal perkuliahan.

"Sulastri, maukah kau menikah denganku?" tanya Anak Agung Tangkar suatu sore.

"Menikah? Apa Bli yakin dengan keputusan itu? Kita masih terlalu muda, Bli."

"Iya sulastri, Bli yakin."

Akhirnya mereka kawin lari. Mereka melakukan perkawinan Nyerod. Mereka terpaksa memilih untuk kawin lari karena jika mereka meminta izin keluarga, sudah jelas mereka tidak akan mendapatkan izin tersebut.

"Tapi Bli, aku seorang wanita berkasta Sudra. Namaku sebenarnya adalah Ni Luh Sulastri. Sedangkan Bli sendiri berkasta Kesatria. Tidak mung..." perkataan Sulastri mendadak berhenti.

"Aku tahu. Yakinlah kita berdua pasti bisa mengatasi semuanya." ucap Anak Agung Tangkar sambil tersenyum menatap Ni Luh Sulastri.

Akhirnya, setelah mengganti namanya menjadi Dewi Ayu Sulastri. Mereka berdua menemui seorang pedanda untuk mengawinkan mereka. Hanya mereka berdua yang mengetahui rahasia ini. Mereka terpaksa menempuh jalan ini untuk menghindari hukuman Selong, yakni hukuman buang keluar Bali.

Di awal tahun pernikahan mereka, Anak Agung Tangkar benar-benar mandiri. Meski ia masih bisa pulang kerumah keluarganya, meski ia tahu ia masih mungkin mendapatkan sedikit harta milik orangtuanya, ia lebih memilih bekerja serabutan. Hingga suatu ketika ia dipercaya oleh seorang pedagang di daerah Klungkung untuk mengelola usaha kain Poleng Bali.

"Baiklah Bli Agung, aku percayakan cabang galeri Klungkung untuk kau kelola. Kau bisa memiliki galeri ini dengan cara bagi hasil. Selama sepuluh tahun kedepan, galeri ini akan menjadi milikmu sepenuhnya." ucap I Nyoman Cantiasa si pemilik galeri.

"Terimakasih banyak tuan, saya akan berusaha sungguh-sungguh."

Kehidupan keluarga mereka sangat harmonis. Keuangan mereka cukup lancar. Tepat sepuluh tahun kemudian, galeri kain Poleng telah berpindah kepemilikan. Galeri itu telah menjadi milik Anak Agung Tangkar. Kebahagiaan itu terasa lengkap dengan hadirnya anak ketiga dalam keluarga mereka.

"Bli, sudah hampir sepuluh tahun kita tidak pernah menjenguk orangtua kita. Tentu mereka sangat merindukan kita." ucap Dewi Ayu Sulastri kepada suaminya.

"Kau benar, kita tidak boleh melupakan asal-usul kita. Sejauh apapun kita melangkah, keluargalah tempat kita untuk kembali." jawab Anak Agung Tangkar kepada istrinya.

***

Hari itu tiba, keluarga besar Anak Agung Tangkar berkumpul di Jero Agung Negari Pengerebongan. Sebuah tempat tinggal untuk keluarga kasta Kesatria. Mereka menyambut kedatangan putra semata wayang keluarga itu dengan isak tangis. Seorang perempuan tua terlihat memeluk erat tubuh Anak Agung Tangkar. Berkali-kali perempuan tua itu mencium keningnya. Seperti menemukan kembali mutiara yang hilang selama bertahun-tahun. Seolah tak percaya dengan penglihatannya, wanita tua itu mengusap-usap kedua matanya yang kian berkeriput.

"Biyang pikir kau telah mati. Ternyata keyakinan biyang selama bertahun-tahun benar adanya. Sang Hyang widhi mengabulkan do'a biyang." ucap ibu Anak Agung Tangkar kepada putranya itu.

"Maafkan aku biyang," balas Anak Agung Tangkar dengan mata berkaca-kaca.

Rahasia tetaplah rahasia. Rahasia harus disimpan baik-baik. Tidak boleh terbongkar. Atau petaka akibatnya. Kepada ibunya, Anak Agung Tangkar mengaku bahwa kepergiannya meninggalkan rumah selama ini adalah untuk bekerja. Ia tidak sempat memberi kabar kepada orangtuanya karena kehabisan biaya. Anak Agung Tangkar juga mengaku telah menikah dengan wanita pujaan hatinya. Wanita berkasta sama dengan dirinya. Kasta Kesatria. Dan ibunya percaya akan hal itu.

"Aku mempercayaimu anakku, tidak ada kebahagiaan yang berarti bagi seorang ibu selain melihat anaknya bahagia."

Beberapa tahun telah berlalu. Dengan meninggalnya ibu Anak Agung Tangkar maka secara otomatis Jero Agung Negari Pengerebongan beserta isinya menjadi miliknya. Sehingga ia memutuskan untuk pindah. Galeri kain Poleng Bali yang ia kelola kini ia serahkan kepada orang kepercayaannya. Anak Agung Tangkar dan keluarga kecilnya kembali ke Jero Agung Negari Pengerebongan dan membuka cabang galeri kain Poleng disana. Kekayaan Anak Agung Tangkar kian bertambah. Keluarganya telah menjadi sosok keluarga yang cukup terpandang di Klungkung.

Namun sayang, sepuluh tahun sejak kepindahannya ke Klungkung. Dewi Ayu Sulastri divonis kanker oleh dokter di usia 33 tahun.

"Maafkan aku Bli, aku selalu merepotkan." bisik Dewi Ayu Sulastri saat menjalani perawatan kanker di Rumah Sakit Sanglah.

"Bersabarlah Ni Luh, aku akan merawatmu sepenuh hatiku." ucap Anak Agung Tangkar setengah berbisik di telinga istri tercintanya itu.

Panggilan itu tidak pernah ia lupakan. Panggilan yang sering ia ucapkan ketika masih kuliah bersama. Panggilan yang makin mendekatkan hubungan mereka berdua. Panggilan dari hati ke hati yang membuat mereka bersatu dalam ikatan pernikahan. Sebuah panggilan yang menenangkan hati Ni Luh Sulastri saat menghadapi cobaan terberat dalam hidupnya.

Dua hari setelah perawatan kanker itu, kondisi Ni Luh Sulastri menurun. Hingga akhirnya ia meninggal.

Sebagai wujud rasa cintanya, Anak Agung Tangkar membuatkan bade besar-besaran untuk Dewi Ayu Sulastri. Ia memesan sebuah bade yang memiliki tumpang bertingkat sembilan. Sebuah bade yang sangat besar untuk ukuran orang Bali. Sebuah bade yang dikhususkan untuk kasta Kesatria.

Setelah jenazah Ni Luh Sulastri dimandikan dan dibungkus kain layon, jenazah itu akhirnya ditaruh diatas bade. Beberapa kerabat nampak membantu pengabenan Ni Luh Sulastri. Jenazah kemudian diarak menuju setra. Yakni sebuah areal pemakaman untuk orang bali. Di setiap perempatan jalan, jenazah Ni Luh Sulastri yang sudah ditaruh di atas bade diputar-putar sebanyak tiga kali. Ini dimaksudkan agar roh jahat tidak mengikuti jenazah Ni Luh dan para pengantarnya.

Setibanya di setra, jenazah ditaruh di atas panggung yang terbuat dari batu. Sebelum dibawa ke atas panggung, dua orang pendeta melakukan ritual terlebih dahulu. Sesaji serta persembahan lainnya telah dipersiapkan di sekitar areal pembakaran. Nampak Ida Pedanda Ngurah Kaleran memimpin ritual bersama seorang pendeta lainnya.

Jenazah Ni Luh akhirnya dingaben. Dimulai dari bagian kepala yang telah diperciki oleh tirta penembak. Dan berlanjut di bagian tubuh yang lainnya. Keanehan terjadi, jenazah Ni Luh Sulastri tidak hancur. Nampak wajah Ida Pedanda Ngurah Kaleran kebingungan.

"Sesuatu yang tidak beres sedang terjadi." gumamnya.

Pedanda itupun mendekati keluarga Ni Luh, yakni suaminya. Ia mengatakan keanehan yang dilihatnya kepada Anak Agung Tangkar.

"Apa? Mengapa bisa demikian?"

"Pasti sesuatu yang tidak benar sedang terjadi disini tuan. Banaspati Raja tidak mau menerima jasad Ni Luh Sulastri untuk memasuki setra." ucap sang pedanda pelan.

"Tidak benar katamu? Tapi apakah itu?"

Beberapa penduduk yang menyaksikan ritual pengabenan itu mulai bergunjing. Keanehan itu terpampang nyata didepan mata mereka. bahwa jenazah Ni Luh tidak kunjung terbakar meski sudah berada didalam kobar api selama berjam-jam.

Banaspati Raja muncul, ia menampakkan dirinya secara niskala didepan sang pedanda. Mata awas milik Ida Pedanda Ngurah Kaleran menatap sesosok bayangan dibalik kobar api. Sebuah sosok yang hanya bisa dilihat oleh sang Pedanda saja. Sosok yang diyakini masyarakat Bali sebagai penjaga Setra.

"Dia bukan golongan Kasta Kesatria, wanita itu berkasta Sudra." bisik Banaspati Raja didalam telinga sang Pedanda. Lalu sosok itu menghilang.

Meski sang Pedanda telah memberitahu bahwa Ni Luh tidak diterima oleh Banaspati Raja, Anak Agung Tangkar tetap bersikukuh. Meski ia tahu bahwa Ni Luh bukan keturunan Kasta Kesatria. Meski ia tahu bahwa Ni Luh hanya seorang wanita Sudra. Ia tetap membakarnya disana. Ia ingin merobohkan tembok kasta yang selama ini dijunjung tinggi oleh orang Bali. Demi cintanya kepada Ni Luh Sulastri. Wanita yang sangat ia cintai dalam hidupnya.

***

Tiada takut diriku bila disampingmu. Ingin selalu selamanya bersamamu

Aku tak pernah pergi, aku selalu ada di hatimu. Saat aku tak lagi di sisimu, kutunggu kau di keabadian.

Anak Agung Tangkar mendekati bade itu. Dengan napas yang tersengal-sengal, ia berusaha mendekati batu pengabenan. Hingga akhirnya ia berhasil mendapatkan jasad Ni Luh Sulastri.

"Ni Luh...." teriak lelaki itu sambil mengibas-ibaskan kain poleng miliknya untuk menghalau kobaran api yang perlahan-lahan menjilat jasad istrinya.

Semua yang hadir mengikuti ritual pengabenan terpaku menyaksikan kejadian itu. Beberapa orang mulai bergunjing. Mereka baru menyadari bahwa jasad diatas batu untuk pengabenan kasta Kesatria itu adalah jasad seorang berkasta Sudra. Jasad itu tidak pada tempat yang seharusnya.

Anak Agung Tangkar akhirnya berhasil membawa jasad Ni Luh Sulastri pergi. setelah beberapa langkah, ia kerauhan. Ia berteriak kencang. Banaspati Raja telah merasuk kedalam tubuh Anak Agung Tangkar. Lalu ia berjalan kembali menuju bade. Nyala api yang semula kecil, tiba-tiba menjadi besar seketika. Api itu melahap tubuh mereka berdua. Semua yang hadir di pengabenan berteriak histeris. Suasana menjadi ricuh. Sang Pedanda berusaha menenangkan orang-orang yang hadir.

Putra tertua Anak Agung Tangkar dan Dewi Ayu Sulastri hanya bisa diam menyaksikan kejadian itu. Tidak ada yang bisa ia lakukan. Para penduduk tidak berani mendekat untuk menyelamatkan Anak Agung tangkar. Hingga akhirnya mereka melihat dengan jelas tubuh Anak Agung Tangkar perlahan-lahan terbakar dan menjadi abu disamping jasad istrinya yang tidak kunjung terbakar.

Setelah bara api padam, putra tertua Anak Agung Tangkar dibantu anggota keluarga yang lain menuju panggung pengabenan ntuk mengambil abu orang tua mereka.

Ida Pedanda Ngurah Kaleran mendekati panggung pengabenan. Ia melihat jasad Ni Luh Sulastri. Lalu memegang jasad itu.

"Segera kalian ngabenkan jasad ini."

***

Tiga hari berlalu, akhirnya jasad Dewi Ayu Sulastri dingabenkan secara Sudra. Putra tertua Dewi Ayu Sulastri menyimpan abu ibunya dalam sebuah wadah yang bentuknya mirip dengan wadah abu untuk Anak Agung Tangkar. Tepat di hari keempat, abu itupun dilarung. Abu Anak Agung Tangkar dan abu Ni Luh Sulastri dilarung di Pantai sanur bersamaan dengan terbitnya matahari. Angin laut berhembus pelan membawa terbang kedua abu insan manusia beda kasta itu. membawanya terbang ke Nirwana untuk bereinkarnasi di kehidupan berikutnya yang lebih baik.

Om svargantu pitaro devah, Svargantu pitara ganam, Svargantu pitarah sarvaya, Namah svada.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun