Ekspresi murung Sri Kedaton tertangkap oleh Nimas Astuti.
"Ono opo tho nduk? Kok meneng wae?" ucap Nimas Astuti sambil mengelus pundak putrinya.
"Mboten ibu, kulo mboten nopo -- nopo." jawab Sri Kedaton dengan mata berkaca -- kaca. Terlihat sesekali ia mengusap air matanya dengan sapu tangan miliknya.
Jamuan makan itu akhirnya selesai. Gusti Arya terlihat serius berbicara dengan Pangeran Hamangkubhumi. Demikian halnya Nimas Astuti. Berkali -- kali ia menatap putrinya dengan wajah tersenyum. Kebahagiaan menyelimuti hati wanita itu. Sebuah kebahagiaan yang menari -- nari diatas kesedihan Sri Kedaton.
Saat membicarakan perihal pernikahannya, tak henti -- hentinya si pangeran menatap wajah cantik Sri Kedaton. Kebaya coklat keemasan yang dipakainya membuat pangeran itu terpikat. Kepalanya berhiaskan sanggul yang dipenuhi bunga melati serta sebuah tusuk konde bertengger di kiri kanan sanggul itu. Wajahnya yang cantik diterpa sinar cahaya lilin yang bergelantungan diatas pendopo itu. Semakin menambah aura kecantikannya.
Pembicaraan tentang pernikahan putrinya dengan Pangeran Hamangkubhumi makin serius. Hari itu juga Gusti Arya akan menentukan tanggal pernikahan mereka.
"Mbok... Jupuk en celupak e. Wis mulai peteng iki." perintah Nimas Astuti kepada para mbok mban.
"Enggih Gusti Ayu..." jawab para pelayan itu bersamaan.
Di seberang meja, Pangeran Hamangkubhumi mengeluarkan sebuah peti kecil berukir sulur -- suluran. Ia menyerahkan peti itu kepada Gusti Arya. Tak lama kemudian datanglah para mbok mban membawa beberapa celupak. Mereka meletakkan celupak -- celupak itu di meja. Lalu menyalakan celupak itu satu persatu.
"Indah sekali Pangeran. Pasti harganya sangat mahal." ucap Gusti Arya ketika membuka peti kecil itu.
"Perhiasan itu sengaja aku hadiahkan untuk Sri Kedaton. Aku yakin ia akan menyukainya. Pasti ia makin cantik jika memakai perhiasan itu." jawab Pangeran Hamangkubhumi datar sambil sesekali ia mencuri pandang kepada Sri Kedaton yang duduk berseberangan dengannya.