Trowulan tahun 1318...
"Minggir... Minggir... Pangeran Hamangkubhumi dari Nagari Karajan Majapahit akan lewat. Beri jalan kepada Pangeran!" teriak seorang prajurit sambil menghalau kerumunan penduduk dengan tombak di tangan kanannya. Beberapa prajurit kerajaan yang lain nampak sibuk mengendalikan tali kekang kuda yang menarik kereta -- kereta melewati jalanan di pinggir pasar kerajaan di pagi yang cukup panas itu.
Rakyat segera berlari minggir untuk menghindar dari tombak para prajurit. Mereka tidak ingin berurusan dengan prajurit Pangeran Hamangkubhumi itu. Karena mereka tahu jika sampai berurusan dengan pangeran itu, sama artinya dengan ayam yang masuk kedalam kandang singa. Bukan keselamatan yang mereka dapat, namun kematian yang menyengsarakan.
"Kali ini wanita mana yang akan menjadi mangsa pangeran itu?"
"Ssst... Jangan keras -- keras. Kunci mulutmu. Kalau sampai terdengar prajurit, kau bisa celaka. Atau kau lebih memilih diam untuk selamanya?"
Para penduduk saling berbisik -- bisik satu sama lain perihal tabiat pangeran yang buruk itu. Pangeran yang suka mencari wanita -- wanita cantik untuk dijadikan selir di kerajaannya. Bisik -- bisik itu semakin jelas terdengar ketika iring -- iringan kereta kuda mulai menjauh.
Setelah menempuh perjalanan yang lumayan jauh, iring -- iringan kereta kuda itu akhirnya sampai di sebuah tempat. Kereta -- kereta kuda itu berhenti tepat didepan sebuah pendopo yang cukup besar. Halaman di sekitar pendopo terlihat sangat teduh. Banyak pohon rindang mengelilingi pendopo itu.
Tak lama kemudian keluarlah beberapa pelayan lelaki dari dalam pendopo itu. Mereka menyambut Pangeran Hamangkubhumi dengan taburan bunga -- bunga disepanjang jalan menuju pendopo.
"Sugeng rawuh Pangeran..." ucap salah seorang pelayan yang dibalas dengan senyum sinis pangeran itu.
Didalam pendopo telah berkumpul seluruh anggota keluarga Gusti Arya. Seorang pemimpin desa yang sangat dihormati oleh penduduk. Disebelahnya duduk dua orang wanita cantik bernama Sri Kedaton dan Nimas Astuti -- istri Gusti Arya.
Pangeran Hamangkubhumi dan keluarga Gusti Arya saling bersalaman. Mereka kemudian menyantap hidangan yang telah disiapkan oleh para pelayan didalam pendopo itu. nampak Gusti Arya dan Nimas Astuti tersenyum sumringah. Putri semata wayangnya akhirnya mendapatkan suami seorang pangeran dari Kerajaan Majapahit. Bunyi gamelan mengalun indah mengiringi acara jamuan makan itu. Namun kebahagiaan yang menyelimuti pendopo sore itu tidak bisa menutupi rasa kecewa di hati Sri Kedaton. Dalam hatinya ia menangis.