Mohon tunggu...
Choirul Rosi
Choirul Rosi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen yang hobi membaca buku dan novel

Cerita kehidupan yang kita alami sangat menarik untuk dituangkan dalam cerita pendek. 🌐 www.chosi17.com 📧 choirulmale@gmail.com IG : @chosi17

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Novel | Teana - Dalath (Part 23)

2 September 2018   12:21 Diperbarui: 2 September 2018   12:30 800
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kabar kematian sang pendeta telah menyebar ke penjuru Kota Hegra. Para penduduk mendatangi Kuil Al Khuraimat untuk memberikan penghormatan terakhir. Pelataran Kuil nampak seperti lautan manusia berjubah putih. Diantara lautan manusia itu terlihat beberapa anggota keluarga Raja Aretas IV yang juga turut memberikan penghormatan terakhir bagi sang pendeta.

Pagi itu, tulang belulang sang pendeta telah dibersihkan dari debu. Dibungkus dalam kain putih yang telah ditetesi oleh minyak wangi Myrrh dan dimasukkan kedalam peti kayu. Tulang belulang sang pendeta telah siap untuk disemayamkan di Pegunungan Al Khuraimat. Sebuah pegunungan berbatu cadas yang sejak dahulu telah digunakan penduduk Kota Hegra untuk menyimpan tulang belulang para penduduk Hegra yang telah meninggal.

"Ini adalah makam yang dibuat oleh Arwas, putra Farwan, Pada bulan Nisan pada tahun tiga puluh enam Aretas, Raja Nabataea, yang mencintai rakyatnya. Dibuat oleh Aftah putra Abdobodat dan Huru putra Uhayyu, seorang bangsawan Nabataea. Semoga Dewa Dhushara melindungi mereka."

Begitulah bunyi tulisan yang ada di salah satu bagian dinding didalam ruangan itu. Dipahat oleh pemahat khusus kerajaan dengan menggunakan bahasa Aram. Di sekeliling tulisan itu dihiasi dengan pahatan bunga -- bunga zaitun dan dedaunan pohon kurma. Sesuai dengan statusnya sebagai seorang keturunan bangsawan Nabataea, tulang belulang sang pendeta disemayamkan di tempat yang cukup tinggi diatas Pegunungan Al Khuraimat.

Upacara penghormatan terakhir segera dilaksanakan. Beberapa pendeta telah siap dengan peralatan ritual mereka. Sebuah cawan keramik putih, lonceng kecil dan sebuah mangkuk besar berisi aneka buah -- buahan telah disiapkan oleh mereka.. Diletakkan berjejer diatas kain putih yang digelar tak jauh dari makam. Beberapa anggota keluarga kerajaan ikut hadir disana. Dengan dipimpin pendeta Al Khuraimat, ritual penghormatan terakhir itu berlangsung cukup khidmat.

Menjelang senja, ritual telah selesai. Cahaya matahari menembus pintu makam. Menerangi seisi makam dengan pendar warna kemerahan yang berasal dari pantulan cahaya dinding makam. Di salah satu ceruk di dinding itu, berbaringlah tulang belulang sang pendeta yang ditemani oleh peralatan makan dan minum terbuat dari emas dan perak serta seikat dupa myrrh yang nampak masih mengepulkan asap.

Para pengiring dan anggota keluarga kerajaan bersiap untuk meninggalkan lokasi pemakaman. Sedangkan para pendeta sibuk mengemasi barang -- barang mereka. Mereka akhirnya pulang saat malam tiba.

Malam itu Taw tidak bisa memejamkan mata. Luka di lengan kanannya terasa amat perih. Sabetan jambia milik Rashad beberapa hari lalu telah merobek dagingnya cukup dalam sehingga darah tidak berhenti mengalir hingga sekarang. Berbagai cara telah Taw lakukan untuk menghentikan pendarahan itu. Hingga akhirnya datanglah anak buah Taw memasuki tenda, ia membawa ramuan dedaunan sebagai obat. Ia mengoleskan ramuan itu dan menutup luka di lengan Taw dengan selembar kain. Darah di lengan Taw berangsur -- angsur mulai berhenti keluar.

                   "Apakah kau mengenal rombongan kemarin? Siapa

                   mereka?" tanya Taw.

                   "Tidak Tuan Taw, hamba tidak mengenal mereka.

                   Namun jika Tuan Taw inginkan, hamba bisa

                   mencari tahu siapa mereka sebenarnya."

"Tidak perlu, biar aku sendiri yang  melakukannya." ucap Taw geram. "Apakah kau berhasil melakukan pekerjaan yang aku perintahkan kemarin?"

"Sudah Tuan, kami berhasil membunuh pendeta itu."

"Bagus, aku yakin sebentar lagi Kota Hegra bisa kita kuasai."

***

Setelah beberapa minggu kejadian pembunuhan sang pendeta lenyap dari ingatan, keadaan Kota Hegra mulai sedikit aman meski pelaku pembunuhan belum juga ditemukan. Beberapa prajurit penjaga dikerahkan untuk menjaga setiap sudut kota. Termasuk kuil yang ada disana. Rashad sebagai salah seorang pembesar kerajaan mengusulkan kepada Tuan Ghalib agar penduduk Kota Hegra dilatih cara menggunakan jambia dan pedang demi meningkatkan keamanan kota. Tuan Ghalib menyetujui usulan itu.

Aairah pun ikut mendukung suaminya, ia melatih para wanita muda di Kota Hegra cara menggunakan pedang. Sedangkan Teana berlatih bersama Galata dan Rashad. Dalam beberapa bulan, Teana telah menguasai cara menggunakan jambia dan pedang dengan sangat baik.

       Pagi itu, saat matahari belum bersinar terlalu panas. Teana nampak mengemasi barangnya. Membungkusnya didalam kain coklat lalu menggantungnya diatas punggung unta miliknya.

"Ayah, sudah saatnya aku kembali ke Kota Petra, masih banyak urusan yang harus aku selesaikan disana."

"Kau yakin?"

"Iya Ayah, aku mampu menyelesaikan masalahku sendiri. Semua ini berkat ajaran Ayah selama aku tinggal disini."

"Baiklah kalau itu keinginanmu, semoga Dewa Dhushara memberkatimu anakku." ucap Rashad sambil mengecup kening Teana.

"Terimakasih Ayah,"

"Berhati -- hatilah anakku. Jaga dirimu baik -- baik. Jangan lupa untuk mempelajari buku -- buku tentang ramuan obat -- obatan yang ibu berikan padamu. Karena suatu saat buku itu pasti berguna." pesan Aairah.

"Iya ibu, aku tidak akan melupakan pesan ibu." jawab Teana.

"Galata... Lain kali kita berlatih pedang lagi. Tunggu kepulanganku." ucap Teana sambil tersenyum kepada Galata. Galata balik tersenyum padanya.

"Aku pergi dulu."

***

Keadaan Kota Petra setelah peristiwa pembakaran ular di Kuil Singa Bersayap, kini nampak mulai tenang. Para prajurit Petra melakukan pengawasan sepanjang jalan utama kota. Jalan itu memiliki jalur yang lurus. Sepanjang kiri kanan jalan berjejer pilar -- pilar terbuat dari marmer putih setinggi hampir tiga meter. Nampak mengkilat indah terkena sinar matahari.

Sore itu, Teana akhirnya tiba di Kota Petra. Ia tidak segera menuju Penginapan Al Anbath, namun ia menyempatkan diri untuk melihat keadaan Kuil Singa Bersayap. Dengan menaiki untanya, Teana berjalan pelan menuju kuil itu. Sepanjang perjalanannya ia melihat para buruh kebun anggur sedang bekerja memetik anggur. Beberapa nampak mengangkut anggur -- anggur hasil panen mereka keatas gerobak kuda.

"Nampaknya para pedagang itu sudah mulai berjualan kembali. Ini pertanda yang bagus untukku." gumam Teana sambil terus melaju diatas unta miliknya.

Tak jauh dari tempatnya berada, Kuil Singa Bersayap nampak berdiri megah didepannya. Kuil itu bersinar kemerah -- merahan seperti sinar matahari senja. Pantulan sinar dari pilar -- pilar penyangga bangunan kuil membuatnya semakin anggun. Teana segera turun dari atas unta miliknya. Setelah ia mengikatkan untanya di sebuah pohon tak jauh dari kuil, ia segera berjalan menaiki tangga kuil yang cukup tinggi. Ia membuka kerudung dan cadarnya. Berjalan dengan pelan menyusuri anak tangga. Segera ia memakai kerudungnya kembali dan memasuki kuil. Didalam kuil tidak nampak seorangpun. Suasana makin sunyi. Hanya terlihat dua buah obor yang menyala dibawah patung Dewi Uzza.

Teana mengambil sisa dupa Myrrh yang tidak terpakai dari dalam bejana perunggu diatas meja altar. Lalu ia menyalakan dupa itu menggunakan obor yang ada dibawah patung Dewi Uzza. Kemudian ia berdo'a dibawah patung Dewi Uzza. Merapalkan permohonan -- permohonannya kepada Dewi Uzza dengan khusyuk. Ketika ia sedang berdo'a, tiba -- tiba saja ia dikejutkan dengan sebuah suara elang dari dalam kuil. Teana berhenti berdo'a. Ia berdiri. Kemudian ia menancapkan dupa kedalam bejana dan berjalan memasuki kuil. Saat ia berusaha mencari sumber suara itu, tiba -- tiba dari balik patung Dewi Uzza muncullah sesosok makhluk berbulu coklat keemasan. Dengan keempat kakinya yang kokoh, makhluk itu berjalan pelan mendekati Teana. Keempat cakarnya  yang berkuku runcing dan tajam menyerupai cakar burung hantu menimbulkan bunyi saat berjalan diatas lantai kuil. Ekornya yang panjang berujung seruncing mata anak panah mengibas -- ngibas diatas lantai.

"Siapa kau...?" tanya Teana ketakutan sambil menghunuskan jambia miliknya kearah makhluk itu.

"Aku Dalath..." jawab makhluk itu sambil menundukkan kepalanya serta membuka kedua sayapnya.

"Makhluk apa kau ini? Berbadan singa tapi berkepala elang. Darimana makhluk sepertimu berasal? tanya Teana dalam ketakutannya jika tiba -- tiba makhluk itu menyerangnya.

"Tuan tidak perlu takut, hamba penjaga kuil ini, hamba adalah pengikut Ratu Mehnaz. Singkirkan jambia itu dariku Tuan." perintah Dalath sambil mengibaskan dua pasang sayapnya. Sepasang sayap kelelawar.

"Ratu Mehnaz? Siapa dia? dan bagaimana kau tahu namaku?" tanya Teana setelah ia menyelipkan kembali jambia miliknya kedalam jubahnya.

"Belum saatnya Tuan mengetahui hal itu, yang terpenting sekarang adalah izinkan hamba menjadi pengikut Tuan. Hamba diperintahkan oleh Ratu Mehnaz untuk menjadi pelayan Tuan. Dan juga sebagai rasa terima kasih hamba karena Tuan telah menyelamatkan kuil ini dari serangan Bangsa Bawah; bangsa jin dan para pengikutnya yang membangkang."

"Sebentar, tunggu dulu. Aku tidak mengerti maksudmu. Dan perlu kau tahu, aku tidak mudah menerima orang sebagai pengikutku. Apalagi makhluk aneh sepertimu. Jadi, katakan dulu siapa Ratu Mehnaz itu." ucap Teana dengan tegas.

Sambil mengibaskan kedua sayapnya, Dalath berjalan mendekati Teana, ia menatap mata Teana. Teana terdiam. Kedua mata mereka saling beradu pandang. Tiba -- tiba mata Dalath bersinar. Mata itu memancarkan cahaya kebiruan. Seketika itu juga, Teana terbawa dalam suatu masa saat ia kecil dulu.

"Nak, bolehkah aku tahu apa yang kau jual itu?

Ini Myrrh Nyonya. Apa Nyonya mau beli? ucap Teana ramah sambil menyodorkan sebuah kendi kecil dari keramik.

"Myrrh? Apa itu?" tanya wanita itu sambil membetulkan letak kerudungnya.

"Oh ini adalah getah pohon Nyonya. Getah pohon Myrrh yang sudah disuling. Berkhasiat untuk mengobati segala penyakit." jawab Teana menjelaskan barang dagangannya

"Hmm... Jadi ini adalah getah pohon?" jawab si wanita sambil mengamati kendi yang baru saja diberikan oleh Teana kepadanya. Lalu ia membuka kerudung coklatnya dan membuka penutup kendi yang berisi cairan Myrrh. Mendekatkan hidungnya ke mulut kendi kecil yang terbuat dari keramik itu.

"Harum sekali baunya. Aku menyukainya." ujarnya pelan.

Teana tersentak. Napasnya begitu dalam dan berat. Tubuhnya berkeringat. Seolah roh nya kembali lagi kedalam tubuhnya. Ia baru saja mengalami sebuah lompatan masa. Dengan kekuatan sihir Dalath, Teana  diajaknya kembali ke ingatan masa lalunya itu.

"Apakah sekarang Tuan mengingat sesuatu?" tanya Dalath pelan.

"Aa... Aku ingat sekarang." jawab Teana terbata -- bata.

"Bagus. Mulai sekarang hamba menjadi pelayan Tuan. Berikan tanganmu kepadaku Tuan." perintah Dalath.

Teana mengulurkan telapak tangannya. Dalath mengangkat cakar kanannya. Tangan Teana dan cakar Dalath saling menempel. Kedua mata mereka terpejam. Angin berhembus cukup kencang didalam kuil. Angin berputar mengelilingi mereka. Obor dibawah patung Dewi Uzza padam. Kuil itu kini menjadi gelap.

 Tubuh Teana mulai terasa hangat. Aliran darahnya mengalir kian cepat. Kekuatan Dalath menjalar ke seluruh tubuhnya. Kini, sebagian kekuatan milik Dalath telah menjadi miliknya.

"Bukalah matamu Tuan, Tuan telah memiliki sebagian kekuatan hamba. Dengan kekuatan itu Tuan akan mampu menghadapi Bangsa Bawah yang kini sedang mengancam Kota Petra." ucap Dalath melepaskan genggaman cakarnya.

"Mengancam apa maksudmu?" tanya Teana.

"Melenyapkan Dewa Dhushara dan mengganti peradaban bangsa kalian dengan kegelapan."

"Tapi... Tunggu dulu..."

"Maaf, hamba harus pergi sekarang Tuan." ucap Dalath sambil menunduk memberi hormat kepada Teana.

Tubuhnya lenyap perlahan -- lahan seperti pasir yang tertiup angin. Terbang ke udara hingga akhirnya hilang dari pandangan Teana. Obor dalam kuil menyala kembali menerangi ruangan dan angin berhenti berhembus.

Teana berjalan pelan menuruni anak tangga kuil. Ia memakai kerudungnya kembali. Ia tak bisa berhenti memikirkan kejadian yang baru saja dialaminya itu. Mengapa Dalath meninggalkannya begitu saja. Mengapa Dalath berpesan seperti itu kepadanya. Mengapa Dalath memberikan sebagian kekuatannya untuk dirinya. Pikiran Teana kini penuh dengan berbagai pertanyaan yang tidak bisa ia jawab.

Namun satu hal yang pasti, sekarang ia mulai memahami berbagai peristiwa yang telah terjadi di Kota Hegra maupun Kota Petra. Ramalan Dukun Simkath tentang patung Dewa Dhushara, peristiwa terbunuhnya pendeta Kuil Al Khuraimat hingga munculnya makhluk aneh bernama Dalath. Kini itu semua mulai menemukan titik terangnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun