“Makin hari kita makin sulit mendapatkan air. Tempat penampungan air di kota sudah mulai habis.”
“Kau benar. Kemarin saja waktu aku mengambil air yang ada di Abu Lawha, banyak orang antri disana. Mereka saling berebut mengisi kendi – kendi air yang mereka bawa. Suasananya sangat tidak terkendali. Bahkan beberapa prajurit kerajaan yang menjaga sumber mata air itu terpaksa turun tangan.” ucap Daleela.
“Maksudmu apa, Daleela ?” tanya Soha penasaran.
Daleela pun bercerita panjang lebar mengenai kejadian dua minggu lalu. Sebuah kejadian yang hampir merenggut nyawanya.
“Dua minggu lalu ketika aku hendak mengambil air, disana terjadi keributan antara seorang pria dan prajurit kerajaan. Pria itu memaksa untuk menerobos antrian yang panjang. Berdalih bahwa dialah yang menguasai wilayah Abu Lawha, sehingga dialah yang berhak untuk mengambil jatah airnya terlebih dahulu dengan jumlah yang banyak.”
“Lalu… Apa yang terjadi kemudian ?” tanya Soha dengan memasang mimik muka yang serius.
“Seperti yang kau tahu, para pria di wilayah Abu Lawha terkenal sangat keras kepala dan kejam. Mereka tidak segan – segan menyerang orang yang berusaha menghalangi keinginan mereka. Naseef – pria yang merasa haknya direbut, menyerang balik pemimpin Abu Lawha itu. Naseef memukul Uzair tepat di wajahnya. Hal itu membuat Uzair murka. Ia kemudian melakukan perlawanan balik kepada Naseef. Dan pada saat Uzair terpojok, ia mengeluarkan sebilah pisau kecil dari balik pinggangnya. Pisau itu ditusukkan saat Naseef lengah. Tepat di pinggang kiri Naseef.”
“Naseef mati?” tanya Soha sedikit melotot.
“Tidak.” jawab Daleela singkat.
“Seharusnya dia mati saja.” gerutu Soha dengan ekspresi sedikit kecewa.
“Hari sudah mulai terang, ayo kita lekas berangkat mengambil air untuk mandi, atau kita tidak akan mendapatkan air sama sekali.” ajak Daleela sambil beranjak dari tempatnya dengan menenteng sebuah kendi besar di tangannya.