Mohon tunggu...
Choirul Rosi
Choirul Rosi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen yang hobi membaca buku dan novel

Cerita kehidupan yang kita alami sangat menarik untuk dituangkan dalam cerita pendek. 🌐 www.chosi17.com 📧 choirulmale@gmail.com IG : @chosi17

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sesajen

9 Mei 2016   11:21 Diperbarui: 9 Mei 2016   20:48 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cungkup Makam source dimasadji4.wordpress.com

Sepi, tenang dan jauh dari keramaian. Terletak di tengah – tengah pemakaman umum. Dengan dikelilingi tembok setinggi orang dewasa. Bercat ungu terang bak terong yang belum matang benar. Dengan tinggi satu meter diatas permukaan tanah dan berdaun pintu ukiran khas jawa. Makam itu begitu tersohor. Tidak hanya dikenal penduduk lokal,namun penduduk luar kotapun banyak yang berdatangan kesana.

Aroma bunga kamboja putih menyeruak ke udara. Bercampur dengan kepulan asap tebal dari pembakaran dupa untuk sesajen. Membuat mata terasa pedih.

“Mbok… Kira – kira saya bisa lolos seleksi balon kades tidak?”

“Tergantung niat dan …..” mendadak suara Mbok Darmi terhenti.

“Dan apa Mbok ?”

“Besarnya sesajenmu” jawab Mbok Darmi singkat dengan pandangan tajam ke arah Suwanto. Si balon kades Trowulan.

“Ooh itu sudah saya siapkan Mbok” jawab Suwanto singkat sambil berlalu meninggalkan cungkup di sore menjelang petang itu.

Setiap malam Jum’at, cungkup makam Ratu Majapahit di Desa Trowulan itu selalu ramai. Bahkan tidak hanya malam jum’at saja. Malam – malam lainpun juga ada saja satu dua pengunjung yang datang untuk mengirimkan do’a. Berdo’a untuk sang ratu. Mereka berharap dengan kuatnya aura sang ratu, keinginan mereka terkabulkan. Terutama keinginan tentang jabatan dan kekuasaan.

Seperti siang itu, seminggu setelah kunjungannya yang pertama kali, Suwanto mengadakan do’a bersama lagi. Semacam ritual di dalam makam yang tidak terlalu luas itu. Dua orang lelaki dan satu anak kecil bersimpuh didekat makam. Dibantu oleh sang juru kunci, mereka merapalkan do’a – do’a. memanjatkan sesuatu. Berharap terwujudnya keinginan mereka.

Namun sepuluh menit kemudian, ditengah – tengah berlangsungnya perapalan do’a, mendadak tubuh Sekar kejang – kejang. Matanya mendelik. Mulutnya mengatup rapat. Sontak saja paman dan ayahnya gegas menolong Sekar.

“Sekar… kenapa kau Nak? Mbok… ada apa ini?” ucap ayah Sekar dalam kepanikan.

Mbok Darmi mendekatkan tubuh Sekar ke pangkuannya. Memijat kedua pelipisnya seraya berkomat – kamit merapalkan sesuatu. Sekar sadar.

“Wonten nopo Yah?” ucap Sekar lirih.

“Tidak apa – apa Nak” jawab Mbok Darmi.

“Sepertinya kami harus menyudahi ritual ini Mbok, mengingat keadaan anak saya seperti ini” ucap Suwanto ayah Sekar.

“Baiklah Nak, kali ini cukup. Sebelum kau pulang aku ingin berpesan kepadamu”

“Apa Mbok?”

“Jaga anakmu baik – baik” jawabnya singkat.

Setelah mengangguk tanda mengerti, Suwanto menyudahi ritualnya dan gegas berpamitan pulang.

***

“Sekar… bangun nak. Waktunya sekolah” bisik ibunya.

Namun Sekar tidak bangun. Matanya masih menutup rapat. Butiran keringat menetes di dahinya dan lehernya. Bibirnya berwarna biru keungu – unguan.

“Kamu kenapa Nak? Ucap ibunya cemas.

Segera ibunya menyeka badan Sekar dengan air hangat. Mengelap sekujur tubuhnya dan mengganti pakaiannya. Lalu meminumkan segelas teh hangat kepada Sekar.

“Aku kenapa Bu?” ucap Sekar lirih kepada ibunya.

Siang itu ayah dan ibu Sekar membawanya ke puskesmas terdekat untuk memeriksakan keadaan Sekar. Setelah mendapatkan resep, mereka bertiga gegas pulang agar Sekar bisa beristirahat.

“Alhamdulillah Pak, anak kita hanya demam biasa. Mungkin kemarin pulang terlalu malam dan lupa memakai jaket” jawab ibu Sekar.

Suwanto hanya diam. Tidak membalas ucapan istrinya.

Keesokan harinya Sekar sudah bisa beraktivitas seperti biasa. Bersekolah dan bermain. Bocah tujuh tahun itu nampak riang. Setelah pulang dari sekolah, dia pergi mengaji diantar ibunya.

Malam belumlah genap. Matahari masih menyembul dari balik awan. Ibunya paham bahwa saat ini anaknya sudah menunggu untuk dijemput di surau yang terletak tidak jauh dari rumahnya.

“Ibu… tadi aku melihat seorang ratu yang sangat cantik di surau” ucap Sekar sambil mendekap erat tubuh ibunya yang sedang mengendarai sepeda kayuh.

“Ratu? Ratu cantik? Pasti wajahnya cantik seperti boneka mu dirumah ya?” balas ibunya.

“Tidak bu, dia sangat cantik. Bajunya warna ungu. Memakai selendang warna ungu melilit lehernya. Dan ada mahkota yang sangat indah diatas kepalanya” jawab Sekar dengan polosnya.

Srining terdiam. Tak membalas ucapan anaknya. Kedua matanya menyipit. Dahinya mengkerut hingga alis – alisnya hampir bertemu. Seribu tanya bertumbuh dalam dadanya.

Malam itu mereka bertiga berkumpul bersama di ruang tamu. Sekar asyik memainkan bonekanya. Menyebut – nyebut nama “Ratu”. Melihat keanehan itu, Srining mendekati suaminya yang tengah menikmati tayangan televisi.

“Pak, sudah dua hari ini aku melihat Sekar berubah jadi aneh”

“Aneh bagaimana Bu?”

“Bapak ingat ? Saat badannya panas, bibirnya mendadak biru keungu – unguan. Terus kemarin waktu aku menjemputnya dari surau, Sekar bercerita kepadaku kalau dia melihat seorang ratu yang sangat cantik” jawab istrinya dengan nada sedikit bergetar. Ketakutan akan keadaan anaknya.

Air muka Suwanto seketika itu berubah musam. Ada rona senang bercampur takut. Seketika itu dia melirik Srining, memastikan semuanya baik – baik saja. Memastikan bahwa Srining tidak melihat ekspresi ganjil yang terlukis di wajahnya.

“Ahh… itu hanya perasaanmu saja Bu” jawabnya singkat.

Begitulah, sejak kejadian demam kemarin. Hari – hari Sekar berubah drastis. Sering Sekar bercerita kepada ibunya bahwa dia pernah didatangi wanita cantik yang ia sebut sebagai ratu itu. Kadang ratu itu mendatangi mimpinya, kadang pula mewujud didalam kamarnya. Kadang berada disampingnya, kadang pula didepannya. Namun sang ratu diam dan tersenyum kepada Sekar. Sehingga Sekar tidak merasa takut kepadanya.

“Si.. si.. siapa kamu?” tanya Sekar ketakutan.

Pertanyaan Sekar hanya dibalas dengan senyuman.

***

“Hari pemilihan balon kades semakin dekat saja Wan” ucap Gito di kantor kepala desa Trowulan siang itu.

“Iya juga. Dan aku berharap sekali bisa menggantikan Pak Wahyu, kepala desa kita yang sekarang” balas Suwanto tegas.

“Ah kamu tidak akan bisa menandinginya Wan. Pengaruh Pak Wahyu sangat kuat. Sudah 2 periode dia menjabat sebagai kepala desa disini. Sejak kau belum masuk menjadi aparat disini” jawab Gito singkat.

Suwanto diam. Dia hanya tersenyum tak berkata apapun.

Bakda maghrib, setelah Suwanto merapikan diri. Dia berpamitan kepada Srining. Ada keperluan katanya. Sriningpun mengantar kepergian suaminya hingga batas pagar rumah mereka sebelum akhirnya Suwanto lenyap ditelan bayang senja.

“Bagaimana perkembangannya Mbah?” tanya Suwanto kepada Mbok Darmi yang sedang bersemedi didalam cungkup makam petang itu.

“Bagus Nak, niatmu sangat kuat. Ditambah lagi dengan besarnya sesajenmu. Aku lihat sesajenmu untuk ritual ini sangat berharga. Keinginanmu pasti terkabul.”ucap Mbok Darmi dengan keyakinan yang sangat.

Suwanto tersenyum sumringah. Senang dengan apa yang baru saja didengarnya.

“Kau bawa ini, taburkan didepan rumahmu saat subuh. Tepat di hari pemilihan kepala desa” perintah Mbok Darmi seraya menyerahkan bungkusan putih dari kain mori sebesar genggaman tangan orang dewasa.

“Baik Mbok, terimakasih”

Acara pemilihan kepala desa akhirnya berlangsung. Dua hari setelah kedatangan Suwanto di cungkup makam. Tak lupa ia menaburkan butiran putih berbau harum yang dibungkus kain mori. Ia menaburkannya dihalaman rumah saat fajar belum nampak. Saat semua orang masih terlelap dalam tidurnya. Tak terkecuali istri dan anaknya yang masih tertidur lelap.

Ayam jago berkokok dengan nyaring. Pagi itu mentari bersinar sangat cerah.

“Bu, aku berangkat dulu ya… Do’akan aku menang”

“Iya Pak, hati – hati”

Setelah kepergian suaminya, Srining gegas ke dapur. Memasak untuk sarapan Sekar sebelum berangkat ke sekolah.

Tepat pukul tujuh, Srining mengantar Sekar ke sekolah seperti biasa. Sementara itu di kantor kepala desa sedang sibuk menyiapkan berkas – berkas untuk kegiatan pemilihan kepala desa. Pemilihan itu akan dilaksanakan tepat pukul delapan nanti.

Sesampai di sekolah, Sekar mencium tangan ibunya. Berpamitan hendak masuk ke kelas. Sriningpun mengulum senyum untuk anak semata wayangnya itu. anak yang sangat ayu.

Begitu masuk kelas, pelajaran segera dimulai. Pelajaran pertama adalah pelajaran Bahasa Jawa. Selama satu jam bu guru menerangkan bab tembang pucung. Dengan lagu yang merdu. Bak seorang sinden, guru itu fasih melantunkan tembang jawa. Membuat anak – anak terhanyut dalam lagu yang sangat merdu.

Namun tidak bagi Sekar, apa yang didengarnya bukanlah tembang Jawa. Bukan tembang pucung yang merdu. Bukan suara gurunya. Yang ia dengar adalah suara merdu seorang wanita sedang memanggil namanya. Wanita yang dikenal oleh Sekar dengan sebutan Ratu. Jam dinding menunjukkan pukul delapan lewat tiga puluh menit. Bu guru dan anak – anak makin asyik dalam alunan tembang Jawa. Satu persatu mereka maju menyanyikan lagu dalam bahasa Jawa.

“Pak Wahyu…. Saaaah”

“Pak Wahyu…. Saaaah”

“Suwanto….. Saaaah”

“Pak Wahyu…. Saaaah”

Hati Suwanto berdegup kencang tak karuan. Wajahnya mulai pucat. Keringat dingin menetes di leher dan dahinya. Melihat kenyataan di depan mata. Kenyataan yang tak sesuai harapannya.

“Ibu guruuuuu…. Sekar kejang bu…” teriak seorang teman disebelah tempat Sekar duduk.

Melihat keadaan Sekar yang mengejang dengan tubuh kaku dan bibir membiru, guru itupun memutuskan untuk mengantar Sekar pulang kerumahnya. Karena puskesmas terdekat ada di Desa Pakis. Satu desa dengan rumah Sekar.

Sesampai dirumah Sekar, ibu guru itu gegas masuk kedalam rumah. Srining yang saat itu sedang menyapu ruang tamu langsung berteriak histeris.

“Ada apa Sekar… kenapa kau Naaaak”

Sekar dibaringkan diatas kursi kayu di ruang tamu. Srining hanya bisa mengelus kepala Sekar yang penuh dengan tetesan keringat dingin. Ibu guru gegas ke dapur mengambil air hangat dan kain lap.

“Sekaaaaarrr… kamu kenapa Nak? Isak ibunya seraya mendekap Sekar.

Mata Sekar membelalak, bibirnya perlahan terbuka.

“Ibu…. Ratu itu datang lagi bu…. Dia ada di belakang ibu” bisik Sekar kepada ibunya.

“Ratu siapa Naaaak?” tanya Srining dengan bibir bergetar karena takut.

“Ibu… Ratu itu mengajakku pergi kerumahnya” jawab Sekar lirih.

“Jangan Nak, kau jangan mau” teriak ibunya histeris sambil mengguncang – guncang tubuh Sekar.

Di balai desa Pakis makin panas. Perebutan kursi kepala desa berlangsung makin mendebarkan. Hingga tiba saat penghitungan suara. Yang akhirnya dimenangkan oleh Suwanto.

“Selamat Suwanto, akhirnya kau terpilih jadi kepala desa Pakis” Jawab Gito.

“Terimakasih Gito” balas Suwanto dengan senyum terukir di bibirnya.

Dalam hati, Suwanto tidak habis pikir mengapa dirinya yang muncul menjadi pemenang. Karena jelas – jelas surat suara yang dimasukkan kedalam kotak berbunyi Pak Wahyu. Namun saat perhitungan suara, dirinyalah yang menang.

“Pasti sesajenku telah diterima ibu ratu” pikir Suwanto.

Tiba – tiba bahu Suwanto berguncang. Ada seseorang menepuknya dari belakang dan membisikkan sesuatu di telinganya.

“Pak, putri anda baru saja meninggal dunia. Bapak ditunggu ibu dirumah”

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun