Mohon tunggu...
Muhammad Reza Zaini
Muhammad Reza Zaini Mohon Tunggu... -

An anthropolgy and sociology enthusiast. Bachelor from FISIP UI.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

5 Mitos Kemerdekaan RI

12 Agustus 2016   13:46 Diperbarui: 13 Agustus 2016   03:01 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Jasmerah –Jangan sekali-kali melupakan sejarah.

Suka atau tidak suka, 17 Agustus dan Kemerdekaan Indonesia seringkali divisualisasikan dan diidentifikasikan sebagai pertempuran berdarah “kaum pribumi Indonesia” yang memperjuangkan tanah pribumi mereka dengan senjata primitif di dunia yang sangat maskulin dan kelaki-lakian –Mitos atau fakta?

Mulai dari sejarah terlupakan pilot Indonesia yang melakukan aerial bombing(pengeboman dari pesawat) terhadap pasukan Belanda, pejuang perempuan hingga kontribusi etnis Tionghoa, berikut adalah mitos yang sering menyelimuti sejarah Kemerdekaan Indonesia.

Mitos #1

Pejuang kemerdekaan Indonesia adalah sekelompok pasukan irreguler yang memperoleh kemerdekaan RI dengan pertempuran bambu runcing.

Fakta

Meskipun memang terdapat ketimpangan militer antara Belanda (dan sekutu) dan pejuang Indonesia, namun sesungguhnya pejuang kemerdekaan Indonesia merupakan sekumpulan pasukan profesional yang merupakan embrio dari TNI.

Pertempuran dengan senjata primitif seperti bambu runcing –meski terjadi di beberapa tempat dan tanpa mengurangi rasa hormat terhadap para pejuang– merupakan sebuah romantisasi yang dikonstruksikan –Yang tentu saja untuk meromantisir sebuah tindakan patriotisme. Saya sendiri melihat bahwa romantisasi ini justru menghidupkan retorika keliru “Bangsa kulit putih (Belanda) pasti lebih unggul dari bangsa kulit berwarna (Indonesia) dalam teknologi dan kepandaian”.

Kembali ke topik: Mayoritas para pejuang kemerdekaan adalah mereka yang pernah mendapatkan pelatihan bersenjata Masa Pendudukan Jepang, seperti PETA (Pembela Tanah Air), Seinendan, Keibodan dan Heiho. Persenjataan utama mereka adalah sten gun Jepang namun minim senapan mesin. Dari mana mereka mendapatkan stok senjata dan amunisi? Dari bunker militer Jepang yang ditinggalkan begitu saja oleh bala tentara Dai Nippon setelah mereka keluar dari Hindia Belanda pasca-pengeboman Hiroshima dan Nagasaki. Ditambah dengan usaha menyelundupkan senjata dari luar negeri.

Tahukah Anda bahwa dalam Agresi Militer Belanda I di tahun 1947, pejuang kemerdekaan Indonesia mengerahkan pesawat pengebom untuk menghancurkan markas dan gudang persenjataan Belanda di Jawa Tengah? Pengeboman yang kemudian dikenal sebagai misi perdana TNI-AU (saat itu dikenal sebagai AURI) ini dikomandani oleh Kadet Mulyono, yang sempat menuliskan kisahnya dalam Majalah Angkasa edisi tahun 2004. Selain Mulyono, turut serta penerbang AURI yang ikut melakukan misi pengeboman, yakni Kadet Sigid Sutardjo dan Kadet Suharnoko. Para penerbang ini menggunakan pesawat latih Jepang yang dilengkapi dengan bom dengan sasaran posisi Belanda di Semarang, Salatiga dan Ambarawa. Peristiwa ini kemudian dikenang sebagai Hari Bhakti TNI AU yang diperingati setiap tanggal 29 Juli.

Kita seharusnya lebih berbangga bahwa dengan segala keterbatasan, pejuang RI masih bisa melawan penjajah sebagai sebuah kesatuan yang profesional.

Mitos #2

Kemerdekaan RI adalah semata-mata buah dari pertempuran bersenjata.

Fakta

Benar, bahwa pejuang kemerdekaan Indonesia menggunakan konfrontasi militer untuk merebut kemerdekaan serta mengahalau Agresi Militer Belanda I dan II.

Namun, setiap 17 Agustus, kita seakan melupakan jasa para “pejuang” lain, yakni para politisi dan diplomat RI yang berhasil mendesak dunia internasional untuk memberikan sanksi bagi Belanda, yang akhirnya berbuah pada pengakuan kedaulatan RI secara utuh. Mereka memang tidak bertempur dengan senjata. Namun, nasib Indonesia turut ditentukan dengan kelihaian mereka bernegosiasi di meja runding. Saya sangat tertarik melihat fenomena masyarakat luas yang seakan-akan “memiliterisasi” peringatan kemerdekaan Indonesia.

Perundingan Linggarjati (1946), Perjanjian Renville (1948) hingga Perjanjian Roem-Roijen (1949) toh pada akhirnya berhasil mendesak Belanda untuk menghentikan agresi militer dan menarik mundur pasukan mereka secara total dari NKRI. Puncak “pertempuran” diplomasi ini adalah dengan diselenggarakannya Konferensi Meja Bundar (1949) yang membuat Belanda bukan saja menghentikan agresi militer, namun juga mengakui kedaulatan RI sebagai sebuah negara yang merdeka.

Kemerdekaan RI juga turut didukung oleh upaya diplomasi dengan dunia internasional. Mulai dari yang “ikhlas” seperti Mesir, India, Suriah dan Irak –Bahkan Palestina merupakan salah satu negara yang paling awal mengakui kedaulatan Indonesia– hingga yang meminta imbalan seperti AS.

Presiden Harry S. Truman (masa jabatan: 1944-1953) memimpin AS untuk membebaskan Eropa dan Belanda dari cengkeraman Jerman Nazi. AS di bawahnya juga bertanggung jawab untuk membangun kembali perekonomian Eropa yang hancur-lebur pasca Perang Dunia II. Berdasarkan penuturan sejarah, Pemerintah AS kesal ketika Belanda yang pernah ditindas oleh Jerman Nazi, justru melakukan hal yang sama terhadap Indonesia. Namun sejatinya Truman dan Pemerintah AS berharap Indonesia tidak keburu meminta bantuan terhadap Uni Soviet (musuh AS dalam Perang Dingin) dalam membantu perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Alhasil, Truman melakukan embargo senjata terhadap Belanda serta mengancam akan menghentikan bantuan ekonomi AS pada Belanda. AS juga turut mengakomodasi perundingan RI-Belanda sebagai anggota Komisi Tiga Negara. “Kehangatan” RI-AS ini tak berlangsung lama: Di akhir tahun 50’an, AS membantu separatis PRRI/PERMESTA lewat keterlibatan CIA. Hal ini adalah buah “sakit hati” AS pada kedekatan Sukarno dengan Uni Soviet. Pada akhirnya, dukungan negara-negara asing memastikan posisi tawar (bargaining position) Indonesia di dunia internasional terhadap Belanda.

Mitos #3

Etnis Tionghoa mayoritas memihak Belanda atau kurang loyal pada pejuang kemerdekaan Indonesia.

Fakta

Dalam berbagai media mengenai Kemerdekaan Indonesia, etnis Tionghoa digambarkan acuh tak acuh dengan nasib Indonesia. Terdapat pula anggapan bahwa etnis Tionghoa lebih taat pada Belanda ketimbang “pribumi” karena mereka suka pada Belanda yang memposisikan mereka “lebih tinggi” ketimbang pribumi. Apakah benar seperti itu?

Tahukah Anda bahwa terdapat nama-nama Tionghoa yang turut menghiasi daftar veteran pejuang kemerdekaan RI?

Beberapa memang mengangkat senjata dan bertempur dengan rekan mereka dari berbagai sukubangsa.

John Lie Tjeng Tjoan alias Jahja Daniel Dharma mungkin adalah peranakan Tionghoa yang paling dikenal sebagai pejuang kemerdekaan. Pelaut TNI kelahiran Manado ini dijuluki “The Smuggler with the Bible” (Sang Penyelundup dengan Alkitab) karena perannya menyelundupkan senjata bagi pejuang kemerdekaan dan terpampangnya Alkitab dalam kapal Lie, “The Outlaw”. Kapal Lie beroperasi di sekitar Selat Malaka antara Sumatra dan Semenanjung Malaya dan berkali-kali lolos dari blokade ketat armada Belanda. Lebih hebatnya, The Outlaw tidak dilengkapi senjata apapun! Sebegitu krusialnya peran John Lie bagi perang kemerdekaan Indonesia hingga Laksamana Tarmizi Taher mengatakan bahwa tanpa Lie, sejarah perang kemerdekaan Indonesia mungkin bisa berbeda. Pada tahun 2014, TNI-AL menamakan kapal terbaru mereka sebagai KRI John Lie.

Lie Kung Ngo dari Rantau Prapat, Sumatra Utara yang merekrut pemuda Tionghoa menjadi paramedik Palang Merah di medan pertempuran dalam Agresi Militer Belanda ke-II. Diantara veteran Pertempuran di Medan, terdapat nama-nama Tionghoa yang turut serta bertempur bersama suku lainnya dalam menghalau Agresi Militer Belanda ke-II, seperti Tjong Po Lek dan Go Cuek Tjun.

Ferry Sie King Lien, anggota Tentara Pelajar Solo yang tewas melawan Belanda di Agresi Militer Belanda ke-II. Sebagai seorang Tentara Pelajar, usia Ferry Sie hanya 16 tahun. Ferry Sie dikenal jasanya dalam mempertahankan lini depan pasukan Indonesia dengan hanya menggunakan sten gun (senapan otomatis kecil) melawan pasukan Belanda yang dilengkapi dengan kendaraan lapis baja. Sayang, Ferry Sie tewas dalam usahanya mempertahankan kota Solo di usia yang sangat muda.

Arek Suroboyo pun mengenal nama Tionghoa Liauw Thian Moek (Leo Wenas) sebagai salah satu pasukan pimpinan Bung Tomo pada November 1945 yang terkenal tersebut. Begitupun juga dengan Kim Teng asal Riau yang bertempur di bawah pimpinan Hasan Basri. Kim Teng, yang merupakan Tinghoa Totok, kemudian terkenal dengan usaha kedai kopi-nya.

Bukan hanya dalam militer, etnis Tionghoa juga memiliki andil dalam Kemerdekaan RI di berbagai peran sipil, seperti:

Tony Wen (Boen Kim To) asal Pulau Bangka yang membiayai perjuangan kemerdekaan Indonesia. Akibat aktivitasnya tersebut, ia kemudian ditangkap dan dipenjara oleh Belanda. Tony Wen juga mendirikan “Badan Pemberontak Tionghoa”, sebuah organisasi yang bertujuan membantu perjuangan bersenjata RI.

Lie Yun Fong berjasa dalam mewartakan perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI ke dunia internasional. Bahkan ketika pemerintahan Sukarno-Hatta harus dipindahkan ke Yogyakarta, Lie turut serta dalam rombongan tersebut sebagai koresponden utama di lini depan usaha mempertahankan kemerdekaan RI.

Mitos #4

Kemerdekaan RI adalah hasil juang yang didominasi oleh kaum laki-laki, dengan perempuan sebagai pihak pasif.

Fakta

Dalam berbagai visualisasi, peristiwa Kemerdekaan RI seringkali menunjukkan identitas maskulin pria dan menggambarkan perempuan sebagai pihak tak berdaya. Ini ditunjukkan entah dalam monumen atau film. Mungkin pembaca juga familiar dengan berbagai monumen yang menunjukkan pejuang laki-laki berdiri dengan gagah dan terdapat sosok perempuan yang hanya terduduk lesu dan pasrah dengan kepergian si-laki-laki ke medan pertempuran.

Faktanya, banyak perempuan yang turut angkat senjata bahkan mengomandani pasukan, seperti Opu Daeng Risadju yang memimpin pemberontakan terhadap tentara NICA di tahun 1946. Sayang, Opu Daeng Risadju, yang lahir dan besar di Sulawesi Selatan, pada akhirnya ditangkap oleh pasukan Belanda dan dipenjara. Selama masa penahannya tersebut, ia bahkan harus menerima penyiksaan secara fisik. Ada pula Johanna Masdani yang merupakan aktivis mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan salah seorang pemudi yang hadir pada Sumpah Pemuda.

Mitos #5

RI adalah warisan kuno kerajaan-kerajaan pribumi Nusantara

Fakta

Sukarno tidak pernah mengakatan bahwa Indonesia adalah warisan kerajaan kuno Nusantara. Justru Sukarno mengatakan bahwa kerajaan kuno Nusantara adalah warisan budaya Indonesia.

Lebih jauh, Sukarno memberikan definisi Indonesia sebagai sebuiah teritori kepulauan di Asia Tenggara yang merupakan daerah bekas jajahan Belanda. Oleh karena itu, NKRI adalah sebuah konsep politik yang modern, bukan sebuah konsep primordial yang didasarkan oleh kesukuan.

Maka, bangsa Indonesia bukanlah mereka yang keturunan “pribumi” saja. Bahkan sebenarnya istilah “pribumi” dan “non-pribumi” tidak dikenal Indonesia bila mengacu pada definisi Sukarno tersebut.

Pejuang kemerdekaan keturunan Arab? Ada: Abdurrahman Baswedan.

Pejuang kemerdekaan keturunan India? Ada: Muhammad Junus.

Pejuang kemerdekaan keturunan Peranakan Eropa? Ada: Ernest Douwes Dekker alias Danudirdja Setiabuddhi.

Indonesia Adalah Milik Bangsa Indonesia, apapun Suku, Agama atau Rasnya. Jayalah Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun