Mitos #2
Kemerdekaan RI adalah semata-mata buah dari pertempuran bersenjata.
Fakta
Benar, bahwa pejuang kemerdekaan Indonesia menggunakan konfrontasi militer untuk merebut kemerdekaan serta mengahalau Agresi Militer Belanda I dan II.
Namun, setiap 17 Agustus, kita seakan melupakan jasa para “pejuang” lain, yakni para politisi dan diplomat RI yang berhasil mendesak dunia internasional untuk memberikan sanksi bagi Belanda, yang akhirnya berbuah pada pengakuan kedaulatan RI secara utuh. Mereka memang tidak bertempur dengan senjata. Namun, nasib Indonesia turut ditentukan dengan kelihaian mereka bernegosiasi di meja runding. Saya sangat tertarik melihat fenomena masyarakat luas yang seakan-akan “memiliterisasi” peringatan kemerdekaan Indonesia.
Perundingan Linggarjati (1946), Perjanjian Renville (1948) hingga Perjanjian Roem-Roijen (1949) toh pada akhirnya berhasil mendesak Belanda untuk menghentikan agresi militer dan menarik mundur pasukan mereka secara total dari NKRI. Puncak “pertempuran” diplomasi ini adalah dengan diselenggarakannya Konferensi Meja Bundar (1949) yang membuat Belanda bukan saja menghentikan agresi militer, namun juga mengakui kedaulatan RI sebagai sebuah negara yang merdeka.
Kemerdekaan RI juga turut didukung oleh upaya diplomasi dengan dunia internasional. Mulai dari yang “ikhlas” seperti Mesir, India, Suriah dan Irak –Bahkan Palestina merupakan salah satu negara yang paling awal mengakui kedaulatan Indonesia– hingga yang meminta imbalan seperti AS.
Presiden Harry S. Truman (masa jabatan: 1944-1953) memimpin AS untuk membebaskan Eropa dan Belanda dari cengkeraman Jerman Nazi. AS di bawahnya juga bertanggung jawab untuk membangun kembali perekonomian Eropa yang hancur-lebur pasca Perang Dunia II. Berdasarkan penuturan sejarah, Pemerintah AS kesal ketika Belanda yang pernah ditindas oleh Jerman Nazi, justru melakukan hal yang sama terhadap Indonesia. Namun sejatinya Truman dan Pemerintah AS berharap Indonesia tidak keburu meminta bantuan terhadap Uni Soviet (musuh AS dalam Perang Dingin) dalam membantu perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Alhasil, Truman melakukan embargo senjata terhadap Belanda serta mengancam akan menghentikan bantuan ekonomi AS pada Belanda. AS juga turut mengakomodasi perundingan RI-Belanda sebagai anggota Komisi Tiga Negara. “Kehangatan” RI-AS ini tak berlangsung lama: Di akhir tahun 50’an, AS membantu separatis PRRI/PERMESTA lewat keterlibatan CIA. Hal ini adalah buah “sakit hati” AS pada kedekatan Sukarno dengan Uni Soviet. Pada akhirnya, dukungan negara-negara asing memastikan posisi tawar (bargaining position) Indonesia di dunia internasional terhadap Belanda.
Mitos #3
Etnis Tionghoa mayoritas memihak Belanda atau kurang loyal pada pejuang kemerdekaan Indonesia.