Kalau kita percaya dengan ide bahwa tidak pantas Pemerintah melakukan pelanggaran atas hak asasi manusia warga negara maka akan ada banyak sekali kebijakan yang tidak boleh diambil oleh Pemerintah. Â Lagi pula, Pasal 28J (2) UUD sudah mengatur bahwa hak asasi manusia dapat dibatasi oleh undang-undang.
Jawaban dari pertanyaan dalam Naskah Akademik revisi UU KPK mengenai apakah tindak pidana korupsi merupakan extra ordinary crimes sehingga dibutuhkan lembaga super untuk menanganinya dapat dengan mudah ditemukan dalam Penjelasan Umum UU KPK yang mengatakan bahwa:
"Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa.Â
Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa.Â
Penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan.Â
Untuk itu diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, yang pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, profesional serta berkesinambungan."
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah jawaban yang disediakan dalam UU KPK sudah tidak relevan sehingga Naskah Akademik UU KPK mengajak kita untuk memikirkannya kembali. Lagi-lagi, sayangnya Naskah Akademik tersebut tidak menjelaskan hal tersebut sehingga kita harus menelusurinya kembali.
Untuk menjawab hal tersebut, salah satu pisau analisis kuantitatif yang dapat digunakan adalah Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang dikeluarkan oleh Transparansi Internasional. Â Pada survey tahun 2006 yang mencakup 163 negara, Indonesia berada pada peringkat 130 dari 163 negara tersebut dengan nilai indeks 2,4. Â
IPK Indonesia syukurnya terus membaik, pada tahun 2010, survey tersebut mencakup 178 negara dan menempatkan Indonesia berada pada peringkat 110 dengan nilai indeks 2,8. Pada survey terakhir pada tahun 2018, Indonesia menempati posisi 89 dengan nilai indeks 3,8. Â
Tentunya hal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya, Indonesia berada dalam track yang benar dalam pemberantasan korupsi karena terdapat perbaikan dalam IPK Indonesia. Sayangnya, posisi 89 tersebut masih jauh berada di bawah China, India, Vunuatu, bahkan Malaysia dan Brunei yang menduduki posisi 45 dan 25 dengan nilai indeks 4,7 dan 6,3.Â
Apalagi jika dibandingkan dengan Singapura (posisi 3) dan Hong Kong (posisi 14). Â Namun, apa pentingnya membandingkan dengan Negara lain? Jawabannya jelas ada pada pidato Presiden Joko Widodo sendiri di sidang tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada 16 Agustus 2019 yang menekankan pentingnya Indonesia mempu bersaing di kancah global dan pentingnya membuka investasi sebesar-besarnya. Bahkan pada 14 Juli 2019, Presiden menegaskan akan mengejar dan menghajar para penghambat investasi.Â