Pada tahun 2009, MK juga menyatakan bahwa Pasal 32 ayat (1) huruf c UU KPK adalah conditionally unconstitutional atau bertentangan dengan UUD bila dimaknai tertentu.Â
Adapun, pasal tersebut terkait dengan pemberhentian pimpinan KPK secara tetap setelah dijatuhi pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Putusan MK No.5/PUU-IX/2011.
Dalam putusan tahun 2011, MK memutuskan bahwa Pasal 34 UU KPK tentang masa jabatan pimpinan KPK tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa pimpinan KPK.
Baik pimpinan yang diangkat secara bersamaan maupun pimpinan pengganti yang diangkat untuk menggantikan pimpinan yang berhenti dalam masa jabatanya memegang jabatan selama 4 (empat) tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan.
Kalau kita kembali pada pembahasan mengenai latar belakang revisi UU KPK di atas, sampai disini barulah terlihat jelas, saya tidak ingin mengatakan penyesatan, mungkin lebih tepat dikatakan terdapat ketidaksesuaian substansi antara narasi dalam Naskah Akademik dengan putusan-putusan MK terkait UU KPK yang dijadikan latar belakang oleh Naskah Akademik tersebut. Â
Ketika Naskah Akademik revisi UU KPK berusaha membuat persepsi bahwa norma hukum acara (cara penegakan hukum yang meliputi penyelidikan, penyidikan dan penuntutan) dalam UU KPK adalah inkonstitusional berdasarkan putusan MK, kenyataannya putusan-putusan MK terkait UU KPK sama sekali tidak menyentuh mengenai hukum acara dalam UU KPK apalagi perlindungan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi.
Apabila kita mendalami lebih lanjut Naskah Akademik revisi UU KPK, rasanya sangat sulit menemukan latar belakang atau alasan lainnya atas dilakukannya revisi UU KPK.Â
Naskah Akademik tersebut justru sangat asyik membahas mengenai kewenangan KPK yang melampaui norma umum serta penghormatan hak-hak tersangka. Hal tersebut terpampang jelas pada poin-poin rekomendasi (halaman 66 -- 68), antara lain, yang menyatakan bahwa:
- Memperkuat peran aparat penegak hukum dengan pemberian wewenang yang melebihi dari ketentuan hukum pidana formil atau wewenang khusus yang menyimpang dapat meningkatkan efektivitas penegakan hukum, tetapi berpotensi melanggar hak-hak hukum tersangka/terdakwa yang juga dilindungi oleh hukum dan Konstitusi (paragraf kedua bagian rekomendasi, halaman 66).
- Perlu dipikirkan secara mendalam mengenai tindak pidana korupsi yang mana yang termasuk extra ordinary crimes yang memerlukan penanganan prosedur hukum acara luar biasa. Jika dipandang seperti sebelumnya (Undang-Undang No.3 Tahun 1971), tindak pidana korupsi adalah kejahatan biasa tetapi proses penegakannya memperoleh perhatian khusus (paragraf ketiga bagian rekomendasi, halaman 66).
Dari rekomendasi di atas, terlihat bahwa penyusun Naskah Akademik mengajak kita untuk memikirkan kembali apakah korupsi merupakan extra ordinary crimes sehingga apakah diperlukan kewenangan yang luar biasa bagi penegak hukum terkait. Â
Untuk menjawab hal tersebut, saya akan menggunakan pendekatan perbandingan dengan filosofi UU KPK yang berlaku saat ini, ketimbang membahas isu ini melalui lensa hak asasi manusia.Â