Mohon tunggu...
Luthfi Mala
Luthfi Mala Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta

Amature writer

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kisah Klasik: Perdebatan Dampak Positif dan Negatif Media Sosial

14 Juli 2021   15:25 Diperbarui: 14 Juli 2021   15:59 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
illustrsi.Foto/www.thesocialdilemma.com

Pada September 2020, Netflix menayangkan sebuah film dokumenter yang berjudul The Social Media Dilemma. Film dokumenter yang berdurasi 94 menit 29 detik tersebut disutradarai oleh Jeff Orlowski yang sebelumnya juga pernah membuat film dokumenter populer dengan judul Chasing Ice dan Chasing Coral. 

Film The Social Dilemma merupakan sebuah film dokumenter yang bercerita mengenai pentingnya media sosial pada zaman ini sekaligus menceritakan sisi lain dari teknologi internet yang belum diketahui banyak orang. 

Dalam dokumenter ini dijelaskan bahwa semua aktivitas yang kita lakukan menggunakan internet diawasi bahkan direkam tanpa sadar dan diukur oleh sistem atau algoritma yang telah dirancang. Disebutkan bahwa perusahaan-perusahaan teknologi yang menyuguhkan media sosial memiliki lebih banyak informasi mengenai penggunanya lebih dari yang kita bayangkan. 

Dokumenter tersebut juga menampilkan perspektif para mantan  pegawai dan eksekutif perusahaan teknologi dan media sosial seperti Facebook, Twitter, Pinterest, Google, Youtube, dan Instagram mengenai hal-hal yang terjadi dibalik layar selama proses penggunaan internet atau media sosial. Tristan Harris seorang mantan pakar etika desain Google mengatakan dalam dokumenter tersebut “Ada disiplin dan bidang ilmu yang disebut Peretasan Pertumbuhan. 

Tim teknisi bertugas meretas psikologi orang agar dapat pertumbuhan lebih, seperti pendaftaran pengguna, interaksi yang saling mengajak para pengguna (media sosial)”. Dari ungkapan tersebut dapat kita simpulkan bahwa perusahan teknologi atau media sosial dengan sengaja mempengaruhi psikologi para pengguna media sosial untuk terus menggunakannya, untuk terus memiliki interaksi yang tak terbatas, dalam arti lain dapat dikatakan untuk membuat kecanduan.

Selain Tristan Harris, ada Shoshana Zuboff, Phd. seorang profesor dari Harvard Business School yang mengungkapkan eksperimen kecil yang telah dilakukan pihak Facebook yaitu “Facebook melakukan hal yang mereka sebut eksperimen penularan skala besar, bagaimana menggunakan petunjuk bawah sadar di halaman Facebook agar lebih banyak orang memilih di pemilu paruh waktu? 

Mereka (Facebook) mendapati mereka mampu melakukan itu. Satu hal yang mereka simpulkan adalah kini kita tahu kita bisa mempengaruhi perilaku dan emosi dunia nyata, tanpa memicu kesadaran pengguna. Mereka sama sekali tidak tahu”. Pernyataan Shoshana Zuboff, Phd. tersebut menjelaskan bahwasanya selama ini kita telah mengikuti eksperimen yang dilakukan Facebook untuk mempengaruhi emosi dan alam bawah sadar kita secara nyata, tanpa kita sadari sekalipun.

Media sosial memiliki pengaruh yang besar bagi setiap penggunanya. Media sosial hanya dirancang menggunakan algoritma untuk memberikan rekomendasi dan mendata setiap hal yang kita lakukan atau yang kita sukai. 

Menurut Dr. Anna Lembke dari Stanford University School of Medicine “Media sosial adalah narkoba. Maksudku kita memiliki perintah biologis dasar untuk terhubung dengan orang lain, itu secara langsung mempengaruhi pelepasan dopamin dalam jalur kenikmatan. jutaan tahun evolusi berada di balik sistem itu untuk berkumpul dan hidup di komunitas, jadi tidak diragukan lagi media sosial yang mengoptimalkan hubungan antar orang ini akan memiliki potensi kecanduan”. 

Media sosial membuat kita kecanduan, terutama akan persepsi kesempurnaan yang kurang masuk akal tetapi tetap banyak orang yang mengejarnya. Sehingga banyak pengguna yang merasa tertekan dan depresi akan tuntutan kesempurnaan tersebut.

Selain dipengaruhi secara psikologis dan tanpa sadar, internet dan media sosial dikatakan juga mengawasi para penggunanya. 

Dengan mengawasi aktivitas para pengguna internet atau media sosial, sehingga algoritma dapat mengetahui saat seseorang kesepian, depresi, bahkan  membuat kategori mengenai pengguna yang introvert dan ekstrovert. “Setiap tindakan yang kita lakukan dipantau dan direkam dengan hati-hati. Misalnya gambar apa yang kita lihat dan berapa lama kita melihatnya” ujar Jeff Seibert seorang mantan eksekutif Twitter. 

The Social Dilemma juga menggambarkan bahwa pengguna merupakan produk yang ditawarkan pada pengiklan. Tim Kendall, seorang mantan eksekutif Facebook mengungkapkan “Facebook telah berdiri selama dua tahun, dan saya direkrut untuk mencari model bisnis untuk perusahaan. Aku adalah seorang direktur monetisasi yang intinya kamu yang akan mencari tahu cara hal ini menghasilkan uang. Ada banyak pekerjaan yang menunjukkan bahwa kami harus menghasilkan uang, dan kurasa model pengiklanan ini mungkin cara yang paling elegan”. Dari situ jelas bahwa perusahaan-perusahaan teknologi dan media sosial berusaha menghasilkan uang dengan cara memikat atau menarik perhatian para pengguna untuk terus menggunakan internet sehingga mereka bisa menampilkan berbagai iklan. Dari iklan-iklan yang kita lihat tersebut perusahaan dapat menghasilkan uang.  

Setelah kita menonton dokumenter The Social Dilemma, kita akan mendapatkan pandangan-pandangan nyata mengenai media sosial. terutama hal-hal yang kita tidak tahu sebelumnya. Kita akan merasa bahwa media sosial merupakan sesuatu yang amat sangat negatif dan manipulatif. Dengan berbagai pernyataan dari para mantan pegawai perusahaan teknologi dan media sosial, kita merasa bahwasanya selama ini kita telah dimanipulasi, terkadang kita juga dijadikan sebagai objek eksperimen tanpa kita sadari. 

Setiap aktivitas yang kita lakukan terpantau dengan sendirinya tanpa ada yang mengetahuinya. Jejak penelusuran dan aktivitas kita akan dijadikan data khusus yang setiap hari semakin bertambah tanpa ada yang mengawasinya. Dengan desain dan teknologi yang telah dirancang secara khusus, kita dengan sengaja dibuat kecanduan media sosial.  

Hootsuite melaporkan mengenai data dan tren tentang internet dan media sosial pada tahun 2020. Dijelaskan bahwa 59% atau setara dengan 160 juta pengguna aktif di media sosial. Rata-tara waktu yang dihabiskan  untuk menggunakan internet melalui perangkat apapun yaitu 7 jam 59 menit (hampir 8 jam setiap harinya). Waktu tersebut setara dengan batas minimal waktu untuk tidur normal dalam satu hari. Data tersebut membuktikan bahwa adanya indikasi kecanduan media sosial pada masyarakat Indonesia.

Saat kita mulai kecanduan, kita akan terus menjelajahi media sosial tanpa henti, jari kita akan terus bergulir pada layar gawai selama hampir 24 jam. Selama hampir 24 jam tersebut, kita akan melihat banyak peristiwa, banyak komentar, dan juga banyak iklan. Semakin banyak waktu yang kita habiskan pada media sosial, semakin banyak media sosial menghasilkan uang dari iklan yang ditampilkan. Penggunaan media sosial yang dilakukan terus menerus dapat berakibat pada tipisnya kesadaran diri antara dunia nyata dan dunia maya. Media sosial sering menampilkan berbagai konten yang terlihat sangat sempurna entah itu berupa gambar, video, atau bahkan hanya sebuah tulisan. 

Namun pengaruhnya amat sangat besar, orang-orang berlomba untuk menjadi sempurna, mencoba memenuhi standar yang bahkan tidak diketahui siapa penciptanya, mengundang banyak teman, memiliki banyak like atau viewers, mendapat banyak komentar. Saat target-target menjadi sempurna tidak terwujud sesuai keinginan, kita akan merasa gagal, tidak berguna, dan bahkan depresi terutama saat membaca komentar-komentar negatif. Menurut National Institute of Mental Health penggunaan media sosial dapat meningkatkan risiko gangguan mental terutama pada remaja usia 18-25 tahun. Semakin tinggi Intensitas penggunaan media sosial dapat meningkatkan resiko remaja menjadi korban cyber bullying.

Beberapa waktu setelah Film dokumenter The Social Dilemma ditayangkan oleh Netflix, pihak Facebook memberikan tanggapan negatif. Facebook menyatakan keberatan atas beberapa tanggapan atau pernyataan dari beberapa pihak yang ditayangkan dalam film dokumenter yang disutradarai Jeff Orlowski tersebut. Facebook merasa bahwa film dokumenter tersebut telah menuduh Facebook sebagai pemicu utama adanya masalah-masalah yang sebelumnya memang sudah ada di masyarakat. 

Menurut Facebook film tersebut tidak adil karena hanya menyampaikan perspektif media sosial dari orang-orang yang telah lama tidak bekerja atau tidak memiliki kerjasama dengan mereka. Film tersebut tidak menampilkan pendapat dari orang-orang yang masih bekerja di Facebook bahkan tidak membahas bagaimana usaha sebuah tim dari perusahaan teknologi atau media sosial dalam menangani setiap masalah yang mereka angkat. 

Dalam sebuah artikel yang dirilis oleh liputan6 membahas mengenai bantahan yang diberikan oleh Facebook atas film The Social Dilemma dalam dua lembar pdf. Ada tujuh poin utama yang disoroti pihak Facebook sebagai respons atas penayangan film tersebut. 

Pertama, Facebook menekankan bahwa perusahaan membangun produknya untuk membuat nilai, bukan dengan tujuan membuat pengguna ketagihan. Hal ini ditekankan dengan perubahan algoritma News Feed, menampilkan hal yang lebih berarti bagi interaksi pengguna. Menurut Facebook, perubahan ini berhasil mengurangi waktu aktif pengguna di platform hingga 50 jam.

Bantahan kedua adalah, Facebook berdalih pengguna bukanlah produk. "Facebook merupakan platform yang didukung iklan, artinya menjual iklan membuat kami menawarkan kemampuan untuk terhubung secara gratis," kata Facebook. Pada film The Social Dilemma, memang secara eksplisit disebutkan bahwa pengguna menjadi produk yang dijual kepada pihak pengiklan agar perusahaan mendapatkan keuntungan.

Ketiga, Facebook mengklaim bahwa algoritma Facebook tidaklah gila. Menurut Facebook justru algoritma mereka membuat platform tetap relevan. "Algoritma dan machine learning meningkatkan layanan kami, misalnya kami memperlihatkan ke pengguna apa yang relevan bagi mereka," kata Facebook.

Keempat, perusahaan juga menyebut Facebook telah meningkatkan keamanan atas privasi pengguna. "Terlepas apa yang disebutkan dalam film, kami memiliki kebijakan yang melarang bisnis mengirimi data sensitif tentang orang-orang, termasuk kesehatan pengguna, informasi atau nomor jaminan sosial melalui SDK. Kami tidak menginginkan data ini. Kami mengambil langkah-langkah untuk mencegah data sensitif dipakai," kata Facebook.

Kelima, Facebook menyebut pihaknya mengambil langkah untuk mengurangi konten yang bisa mengarah pada polarisasi (dan perpecahan). "Kami mengurangi jumlah konten di platform kami yang bisa mengarah pada polarisasi. Misalnya tautan headline yang clickbait atau disinformasi," kata Facebook.

Keenam adalah klarifikasi atas netralitas pemilu. Facebook menolak disebut sebagai platform yang turut mempengaruhi pemilu. Perusahaan mengklaim pihaknya berinvestasi untuk melindungi integritas pemilu. Facebook mengakui pihaknya membuat kesalahan pada 2016. Untuk itu, Facebook menyebut, pihaknya membuat pertahanan yang kuat guna menghentikan penggunaan platform untuk mengintervensi pemilu. Salah satunya dengan bekerja sama dengan lebih dari 100 jaringan untuk menentukan interaksi yang tidak autentik di platformnya. Facebook juga menciptakan Ad Library berisi keterangan mengenai iklan di Facebook bisa dilihat semua orang.

Ketujuh, tentang disinformasi, Facebook mengatakan, pihaknya berupaya memerangi kabar palsu, disinformasi, dan konten berbahaya dengan bantuan jaringan cek fakta global.

Dari Film The Social Dilemma dan bantahan Facebook kita akan digiring kembali pada pembahasan klasik mengenai nilai positif dan negatif dari media sosial. Menurut saya pembahasan tersebut tidak akan ada habisnya, tidak akan usai selama tidak ada hukum yang benar-benar mengatur sistem kerja media sosial dan perusahaan teknologi. Banyak orang beranggapan bahwa media sosial hanya memberikan dampak negatif, kecanduan gadget, hilangnya kepercayaan diri, gangguan mental, cyber bullying, maraknya berita hoax, munculnya ujaran kebencian dan SARA. 

Anggapan tersebut didukung dengan berbagai penelitian yang telah banyak dilakukan oleh para peneliti dari berbagai bidang dan institusi. Contohnya seperti penelitian yang berjudul Social Media Use And Adolescent Mental Health: Findings From the UK Millennium Cohort Study. Hasil dari penelitian tersebut adalah perempuan yang menggunakan media sosial 50% lebih berisiko  terkena depresi daripada laki-laki yang hanya 35 persen.

Namun, selain dampak negatif banyak pula yang memberikan tanggapan positif mengenai dampak media sosial. Mereka beranggapan bahwa media sosial memberikan mereka ruang yang bebas untuk berkomunikasi dan berpendapat, media sosial mempermudah pembelajaran seperti belajar bahasa asing, menambah teman baru, mempermudah akses informasi, membantu promosi. Dampak positif tersebut dapat dibuktikan dengan semakin berkembangnya bisnis-bisnis kecil yang melakukan promosi melalui media sosial. Dengan melakukan promosi melalui media sosial para pengusaha dapat lebih mudah menargetkan pasar. Selain itu, media sosial juga menyediakan video atau konten-konten yang membantu kita dalam pendidikan atau pembelajaran.

Terlepas dari dampak negatif dan positif media sosial serta sistem kerja algoritma yang mengawasi setiap saat, alangkah baiknya apabila kita memiliki kesadaran diri dan kedewasaan untuk menggunakan media sosial secara bijak. Berikut beberapa upaya untuk untuk tetap bijak dalam menggunakan media sosial:

  1. Membatasi penggunaan media sosial

Untuk mengantisipasi kecanduan media sosial kita bisa memberikan batasan waktu dalam penggunaannya. Misalkan menggunakan Instagram selama 3 jam dalam satu hari. kita juga bisa menerapkan kebiasaan untuk meninggalkan gadget 30 menit sebelum istirahat, agar tidur kita lebih nyenyak.

  1. Menggunakan bahasa yang baik

Dalam memberikan komentar pada sebuah postingan atau konten gunakan bahasa yang baik sesuai pedoman komunitas dalam media sosial tersebut. Dengan menggunakan bahasa yang baik, kita dapat mengurangi adanya ujaran kebencian dan sebagainya.

  1. Membatasi Informasi

Media sosial memiliki pengaturan untuk membatasi beberapa informasi yang tidak kita inginkan. Dengan memanfaatkan fitur tersebut kita dapat membatasi dan menghentikan penyebaran informasi terkait SARA, kekerasan, dan pornografi.

  1. Mengecek kebenaran sebuah berita

Sebelum menyebarkan sebuah berita, usahakan untuk mencari tahu apakah berita tersebut benar atau hanya hoax. Jangan menyebarkannya apabila terbukti berita tersebut tidak benar.

  1. Menjaga informasi pribadi

Tidak perlu mencantumkan informasi pribadi secara detail (nama asli, alamat rumah, nomor KTP, dsb) pada postingan atau konten yang akan diunggah. Kita tidak pernah tahu ancaman kejahatan yang akan terjadi.

  1. Filter akun-akun yang diikuti

Pilihlah akun, konten, atau influencer yang bermanfaat, seperti yang mengedukasi dan membagikan informasi-informasi yang positif.

Cara-cara tersebut dapat digunakan dalam menggunakan media sosial setiap harinya agar tidak kecanduan sekaligus mencegah terjadinya kejahatan dalam dunia maya.

Sumber Referensi:

Agustin Setyo Wardani: 2020: Facebook; Pandangan medsos di Film The Social Dilemma Menyimpang: liputan6.com

Andi Dwi Riyanto: 2020: Hootsuite (We are Social): Indonesia Digital Report 2020

Febriansyah: 2019: Penelitian: Media Sosial Dapat Tingkatkan Potensi Depresi Anak: Tirto.id 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun