Pada September 2020, Netflix menayangkan sebuah film dokumenter yang berjudul The Social Media Dilemma. Film dokumenter yang berdurasi 94 menit 29 detik tersebut disutradarai oleh Jeff Orlowski yang sebelumnya juga pernah membuat film dokumenter populer dengan judul Chasing Ice dan Chasing Coral.
Film The Social Dilemma merupakan sebuah film dokumenter yang bercerita mengenai pentingnya media sosial pada zaman ini sekaligus menceritakan sisi lain dari teknologi internet yang belum diketahui banyak orang.
Dalam dokumenter ini dijelaskan bahwa semua aktivitas yang kita lakukan menggunakan internet diawasi bahkan direkam tanpa sadar dan diukur oleh sistem atau algoritma yang telah dirancang. Disebutkan bahwa perusahaan-perusahaan teknologi yang menyuguhkan media sosial memiliki lebih banyak informasi mengenai penggunanya lebih dari yang kita bayangkan.
Dokumenter tersebut juga menampilkan perspektif para mantan pegawai dan eksekutif perusahaan teknologi dan media sosial seperti Facebook, Twitter, Pinterest, Google, Youtube, dan Instagram mengenai hal-hal yang terjadi dibalik layar selama proses penggunaan internet atau media sosial. Tristan Harris seorang mantan pakar etika desain Google mengatakan dalam dokumenter tersebut “Ada disiplin dan bidang ilmu yang disebut Peretasan Pertumbuhan.
Tim teknisi bertugas meretas psikologi orang agar dapat pertumbuhan lebih, seperti pendaftaran pengguna, interaksi yang saling mengajak para pengguna (media sosial)”. Dari ungkapan tersebut dapat kita simpulkan bahwa perusahan teknologi atau media sosial dengan sengaja mempengaruhi psikologi para pengguna media sosial untuk terus menggunakannya, untuk terus memiliki interaksi yang tak terbatas, dalam arti lain dapat dikatakan untuk membuat kecanduan.
Selain Tristan Harris, ada Shoshana Zuboff, Phd. seorang profesor dari Harvard Business School yang mengungkapkan eksperimen kecil yang telah dilakukan pihak Facebook yaitu “Facebook melakukan hal yang mereka sebut eksperimen penularan skala besar, bagaimana menggunakan petunjuk bawah sadar di halaman Facebook agar lebih banyak orang memilih di pemilu paruh waktu?
Mereka (Facebook) mendapati mereka mampu melakukan itu. Satu hal yang mereka simpulkan adalah kini kita tahu kita bisa mempengaruhi perilaku dan emosi dunia nyata, tanpa memicu kesadaran pengguna. Mereka sama sekali tidak tahu”. Pernyataan Shoshana Zuboff, Phd. tersebut menjelaskan bahwasanya selama ini kita telah mengikuti eksperimen yang dilakukan Facebook untuk mempengaruhi emosi dan alam bawah sadar kita secara nyata, tanpa kita sadari sekalipun.
Media sosial memiliki pengaruh yang besar bagi setiap penggunanya. Media sosial hanya dirancang menggunakan algoritma untuk memberikan rekomendasi dan mendata setiap hal yang kita lakukan atau yang kita sukai.
Menurut Dr. Anna Lembke dari Stanford University School of Medicine “Media sosial adalah narkoba. Maksudku kita memiliki perintah biologis dasar untuk terhubung dengan orang lain, itu secara langsung mempengaruhi pelepasan dopamin dalam jalur kenikmatan. jutaan tahun evolusi berada di balik sistem itu untuk berkumpul dan hidup di komunitas, jadi tidak diragukan lagi media sosial yang mengoptimalkan hubungan antar orang ini akan memiliki potensi kecanduan”.
Media sosial membuat kita kecanduan, terutama akan persepsi kesempurnaan yang kurang masuk akal tetapi tetap banyak orang yang mengejarnya. Sehingga banyak pengguna yang merasa tertekan dan depresi akan tuntutan kesempurnaan tersebut.
Selain dipengaruhi secara psikologis dan tanpa sadar, internet dan media sosial dikatakan juga mengawasi para penggunanya.