Masih terpesona dan penasaran dengan penampilan Ibu Negara Korea Selatan, Kim Kun-Hee yang tampak kayak ABG di usia 50 tahun?Â
Atau, ada gak yang kepikiran gimana caranya membuat kulit muka semulus gadis 19 tahun macam iklan pop up yang suka nongol kala kita mengakses Kompasiana?
Sebagai perempuan berusia mendekati 30 tahun (jangan sebut saya tua, plis!), saya takut tambah tua. Apalagi di usia 28 tahun dan belum menikah. Ketakutan itu nyata meski dari luar saya tampak baik-baik saja.
Ucapan orang-orang yang bilang kalau perempuan jangan telat nikah karena nanti keburu "expired" cukup mengganggu pikiran saya.
Ya, saya tahu, dikatakan keburu "expired" karena perempuan akan mengalami menopause sehingga masa produktifnya lebih singkat apabila ia menikah di usia 30+.
Ada juga yang bilang kalau hamil di usia yang terlalu tua itu risikonya tinggi. Nah, untuk yang ini, saya tidak tahu berapa usia ideal perempuan dikatakan "aman" untuk hamil dan melahirkan serta batas usia maksimalnya. Kalau ada yang tahu, tolong beritahu saya di kolom komentar.
Penuaan pada manusia dan menopause pada perempuan memang proses alami. Semua orang akan sampai pada tahap itu suatu saat nanti.
Namun, satu keresahan saya sebagai perempuan adalah mengapa perempuan selalu dibebani dengan standar kecantikan yang tidak masuk akal, termasuk untuk selalu tampak muda di usia senja?
Ketika laki-laki menua, ia akan dikatakan sebagai "aged like a fine wine".Â
Sementara perempuan yang menua akan dikatakan sudah "expired", sudah "turun mesin" dan lain-lain yang mengindikasikan bahwa ia sudah kehilangan daya tariknya, baik secara visual maupun seksual.Â
Saya pikir ini juga alasan mengapa perempuan disuruh cepat-cepat menikah sebelum usia 30 tahun.
Anti-aging obsession adalah salah satu efek dari pemaksaan standar kecantikan pada perempuan. Bahwa perempuan, tak peduli berapapun usianya, apapun statusnya, berapapun jumlah anaknya, dituntut untuk selalu tampak awet muda, glowing dan langsing.
Meski ada perempuan yang tampak awet muda padahal sudah jadi ibu 3 anak dan berusia separuh abad, tapi berapa banyak perempuan yang seberuntung ini?
Mama saya barangkali merupakan salah satu perempuan yang beruntung.
Beliau kelahiran 1965 (hitung sendiri ya, usianya), anak tiga sudah pada dewasa dan oleh tetangga sering disangka masih usia 40-an.
Pernah ketika saya pergi berdua dengan mama dan waktu mama bertanya sesuatu (saya lupa apa persisnya) pada orang di jalan, orang yang ditanyai ini bisa-bisanya memanggil mama saya dengan sebutan "mbak".Â
Padahal yang ditanyai ini kalau ditaksir kira-kira usianya setengah dari usia mama. Saya tidak menyalahkan orang yang selalu ingin terlihat rupawan dan awet muda karena saya juga demikian.Â
Namun, ketika ketakutan akan penuaan berubah menjadi obsesi anti-aging, itu akan menghancurkan diri sendiri. Kita terobsesi untuk tampak awet muda bukan karena pilihan sadar melainkan tekanan sosial.
Perempuan dituntut untuk memenuhi ekspektasi masyarakat, di mana ia harus segera menikah, segera punya anak, selalu siap sedia melayani suami, tapi di saat yang sama ia juga dituntut untuk bisa menjaga dirinya tetap awet muda, glowing dan langsing.
Tubuh yang seperti gitar spanyol kala masih gadis lalu berubah jadi macam bedug masjid setelah punya anak, sebenarnya adalah hal yang wajar.Â
Gara-gara standar kecantikan yang memaksa untuk tetap awet muda, badan yang melar segede bedug ini akhirnya dianggap masalah.
Suami mulai body shaming istrinya, membanding-bandingkan dengan istri orang pula. Atau membanding-bandingkan dengan selebriti di televisi.
Nuwun sewu, saya bukan bermaksud menggurui atau apa, tapi kalau obsesi bapak-bapak pengen body istrinya bisa kayak Tante Wulan Guritno atau Tante Sophia Latjuba di usia tua, ya harus berani sedia modal besar.
Belikan istri skincare yang mahal, bayarin perawatan dan spa di salon kecantikan, ajak istri nge-gym kalau perlu bayarin personal trainer sekalian, sediakan Asisten Rumah Tangga (ART) dan baby sitter biar istri gak perlu capek ngerjain kerjaan rumah tangga dan ngurus anak.
Bagaimana, bapak-bapak atau mas-mas yang berharap besok kalau nikah istrinya bisa balik singset lagi setelah melahirkan? Sanggup tidak memodali itu semua?
Ingat, selebriti itu punya modal, privilese dan akses untuk membeli perawatan kecantikan yang terbaik. Makanya, mereka bisa tampak muda dan cantik meski sudah berumur.
Pengalaman biologis dan ketubuhan perempuan itu unik.
Perempuan sudah menghadapi perubahan bentuk tubuh ketika masuk masa pubertas. Berubah lagi ketika mengalami kehamilan. Setelah melahirkan pun berubah lagi.Â
Ini belum ditambah dengan perubahan psikologis, seperti mood berubah ketika haid atau baby blues pada ibu pasca melahirkan.
Rasa nyeri haid, sakitnya melahirkan dan gejolak-gejolak psikologis inilah yang tidak pernah dialami (dan dipahami) oleh laki-laki.
Sayangnya, sesama perempuan yang memiliki pengalaman biologis dan ketubuhan yang sama, kadang ikut merisak mereka yang dinilai tidak memenuhi standar kecantikan.Â
Memaksakan penampilan awet muda dan tubuh langsing pada perempuan lain yang telah memiliki anak tanpa mau peduli bahwa tidak semua perempuan memiliki modal, privilese dan akses yang sama.
Alih-alih terjebak pada obsesi anti-aging yang merusak, mengapa kita tidak belajar memaknai penuaan sebagai perjalanan dan perkembangan intelektual, emosional dan spiritual untuk mencapai kebijaksaaan?
Ketimbang memaksa perempuan untuk selalu tampak muda dan langsing meski sudah emak-emak berumur, mengapa kita tidak belajar memahami dan menghargai pengalaman biologis dan ketubuhan mereka?
Terakhir, bisakah kita memaknai penuaan sebagai pengingat untuk lebih banyak berbuat kebaikan sebab jarak antara kehidupan dan kematian yang kian rapat?
Sekian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H