Saya pikir ini juga alasan mengapa perempuan disuruh cepat-cepat menikah sebelum usia 30 tahun.
Anti-aging obsession adalah salah satu efek dari pemaksaan standar kecantikan pada perempuan. Bahwa perempuan, tak peduli berapapun usianya, apapun statusnya, berapapun jumlah anaknya, dituntut untuk selalu tampak awet muda, glowing dan langsing.
Meski ada perempuan yang tampak awet muda padahal sudah jadi ibu 3 anak dan berusia separuh abad, tapi berapa banyak perempuan yang seberuntung ini?
Mama saya barangkali merupakan salah satu perempuan yang beruntung.
Beliau kelahiran 1965 (hitung sendiri ya, usianya), anak tiga sudah pada dewasa dan oleh tetangga sering disangka masih usia 40-an.
Pernah ketika saya pergi berdua dengan mama dan waktu mama bertanya sesuatu (saya lupa apa persisnya) pada orang di jalan, orang yang ditanyai ini bisa-bisanya memanggil mama saya dengan sebutan "mbak".Â
Padahal yang ditanyai ini kalau ditaksir kira-kira usianya setengah dari usia mama. Saya tidak menyalahkan orang yang selalu ingin terlihat rupawan dan awet muda karena saya juga demikian.Â
Namun, ketika ketakutan akan penuaan berubah menjadi obsesi anti-aging, itu akan menghancurkan diri sendiri. Kita terobsesi untuk tampak awet muda bukan karena pilihan sadar melainkan tekanan sosial.
Perempuan dituntut untuk memenuhi ekspektasi masyarakat, di mana ia harus segera menikah, segera punya anak, selalu siap sedia melayani suami, tapi di saat yang sama ia juga dituntut untuk bisa menjaga dirinya tetap awet muda, glowing dan langsing.
Tubuh yang seperti gitar spanyol kala masih gadis lalu berubah jadi macam bedug masjid setelah punya anak, sebenarnya adalah hal yang wajar.Â
Gara-gara standar kecantikan yang memaksa untuk tetap awet muda, badan yang melar segede bedug ini akhirnya dianggap masalah.