Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bubarnya Gerwani dan Kemunduran Gerakan Perempuan di Indonesia

1 Oktober 2022   11:06 Diperbarui: 1 Oktober 2022   11:12 2571
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi peresmian Gerwani 25 Januari 1954 (Wikimedia Commons diunduh dari kompas.com)

Sejak Orde Baru (Orba) berkuasa, nama PKI dan seluruh organisasi underbow maupun yang berafiliasi dengannya, dinyatakan sebagai organisasi terlarang. Tak terkecuali Gerwani. 

Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) adalah organisasi perempuan di Indonesia yang dianggap sebagai salah underbow PKI, tapi sebenarnya merupakan organisasi independen berideologi feminis dan sosialis. 

Awalnya, Gerwani dikenal sebagai Gerwis (Gerakan Wanita Istri Sedar) yang didirikan pada 4 Juni 1950 di Semarang, Jawa Tengah. 

Organisasi ini dibentuk oleh enam organisasi perempuan dari berbagai daerah di Pulau Jawa, yaitu Rukun Putri Indonesia, Persatuan Wanita Sedar (Surabaya), Istri Sedar (Bandung), Gerakan Wanita Indonesia atau Gerwindo (Kediri), Wanita Madura (Madura) dan Perjuangan Putri Republik Indonesia. 

Pada Kongres II Gerwis tahun 1954, nama Gerwis berubah menjadi Gerwani. Dengan nama yang baru, mereka sepakat untuk mengubah bentuk organisasi, dari organisasi yang berorientasi kader menjadi berorientasi massa. 

Di era Orba, Gerwani diasosiasikan sebagai perempuan-perempuan amoral yang menyiksa para jenderal sambil menari telanjang dan diiringi lagu Genjer-Genjer. 

Padahal Gerwani merupakan organisasi perempuan paling progresif yang pernah dimiliki bangsa ini. 

Gerwani giat mengedukasi, mengadvokasi dan memperjuangkan hak-hak anak dan perempuan. 

Mereka melakukan pemberantasan buta huruf, memperjuangkan perubahan Undang-Undang Perkawinan yang dinilai banyak merugikan perempuan, menentang pernikahan anak dan pemaksaan pernikahan, menentang kekerasan seksual dan domestik, membela hak-hak perempuan yang dipoligami, membangun sekolah dan memberikan edukasi perihal kesehatan reproduksi. 

Terkait poligami, mereka juga tak ragu untuk memprotes pimpinan PKI yang ketahuan mengambil perempuan lain sebagai istri kedua, sampai orang tersebut didepak dari organisasi. 

Menurut penuturan Ruth Indiah, peneliti feminis INKRISPENA, yang ditayangkan di kanal YouTube Asumsi dalam segmen ALKISAH yang berjudul Fitnah Seksual Orde Baru: Awal Kemunduran Gerakan Perempuan Indonesia!, bahkan di tingkat ranting desa, Gerwani tidak segan-segan mendatangi orang yang melakukan poligami dan membela para istri yang dimadu oleh suaminya. Hal ini membuat mereka dibenci oleh banyak orang, terutama tuan-tuan tanah yang kebanyakan adalah pelaku poligami. 

Bayangkan, seandainya organisasi tersebut masih hidup hingga hari ini, saya yakin pasti bakal dibenci juga oleh ustadz-ustadz dan akhi-akhi pendukung poligami dan pelaku nikah siri. 

Tak hanya peduli pada isu perempuan, Gerwani juga menjadi organisasi perempuan yang vokal dalam menyuarakan isu politik nasional dan internasional. 

Hal ini mereka tunjukkan, misalnya pada peringatan Hari Perempuan Internasional bulan Maret 1955, di mana mereka memprotes percobaan senjata nuklir dan pendudukan Belanda di Irian Barat (sekarang Papua). 

Para perempuan progresif dan revolusioner ini juga melakukan kampanye besar-besaran atas nama kaum tani miskin dan menuntut penurunan harga barang-barang yang melambung tinggi. 

Seiring berjalannya waktu, organisasi ini mampu meraup massa dalam jumlah besar. Jumlahnya mencapai 1,5 juta orang pada 1965 sehingga menjadikan Gerwani sebagai gerakan perempuan terbesar ketiga di dunia pada saat itu. 

Nasib Penyintas Pasca Peristiwa 1965 

Para perempuan yang ditahan setelah Gestapu, sebagian memang bergiat dalam organisasi tersebut atau organisasi lain yang masih berkaitan dan sebagian lagi adalah para perempuan yang justru tidak tahu apa-apa. 

Jika tahanan politik (tapol) laki-laki dibuang ke Pulau Buru, para perempuan ini ditahan di Kamp Plantungan, Kendal, Jawa Tengah. Sekarang tempat itu sudah beralih menjadi tempat wisata yang lebih dikenal oleh masyarakat setempat dengan nama Bumi Perkemahan Jodipati Plantungan. 

Di dalam tahanan, para perempuan itu mengalami pemerkosaan dan penyiksaan dari aparat. 

Ada yang ditelanjangi untuk mencari cap Gerwani di tubuhnya. Sesuatu yang  sia-sia saja karena apa yang mereka cari toh tidak ada. 

Ada yang dipukuli agar mengaku kalau dirinya terlibat ini itu atau kenal si anu. Sementara yang bersangkutan sama sekali tidak tahu atau tidak pernah melakukan sesuatu yang dituduhkan. 

Ada yang sampai sakit jiwa karena tidak tahan dengan siksaan yang kejam. Adapun yang bisa bertahan dan masih hidup sampai hari ini, menanggung trauma masa lalu yang dalam sembari berharap agar negara meminta maaf. 

Stigma negatif juga diterima oleh anggota keluarga eks tapol. 

Anak-anak mantan anggota Gerwani dipandang sebagai anak pelacur yang tidak bermoral. 

Gara-gara stigma itu, hidup mereka jadi serba sulit. 

Keluarga tercerai-berai, sulit bergaul karena masyarakat terlanjur memberi cap jelek dan kesulitan dalam menempuh pendidikan maupun mencari pekerjaan karena dianggap "tidak bersih" (baca: lewat kebijakan bersih lingkungan, anak-cucu keturunan eks tapol tidak diperkenankan menjadi PNS, polisi, TNI dan beberapa pekerjaan lain, terutama di instansi negeri atau pemerintahan). 

Kemunduran Pergerakan Perempuan  

Dikutip dari bbc.com, antropolog Universitas Amsterdam yang bertahun-tahun meneliti tentang Peristiwa 1965, Saskia Wierenga mengatakan bahwa fitnah seksual terhadap perempuan-perempuan progresif dilakukan untuk mengontrol perempuan dengan dalih "menjaga stabilitas negara". Padahal ide-ide yang diperjuangkan oleh Gerwani sangat krusial, bahkan masih relevan dalam konteks kekinian. 

Setelah Gerwani bubar, menurut Saskia, gerakan perempuan di Indonesia sekarang ini cukup lemah. 

Di era Orba, organisasi perempuan yang diakui negara, seperti Dharma Wanita dan PKK pun tidak seprogresif Gerwani. Melalui organisasi tersebut, peran perempuan direduksi menjadi sekadar konco wingking, hanya mengurusi urusan domestik alih-alih turut berkontribusi di ruang publik. 

Amurwani Dwi Lestariningsih dari Masyarakat Sejarawan Indonesia juga mengemukakan bahwa dalam struktur masyarakat patriarki, sepak terjang Gerwani dalam ranah sosial-politik (ranah yang dianggap maskulin) itu aneh. 

Masyarakat patriarki memandang ruang publik itu ranah laki-laki dan ruang domestik adalah ranah perempuan. Jadi, kalau lihat perempuan aktif dan vokal di ruang publik, laki-laki patriarki akan merasa "wilayahnya" direbut. 

Padahal dalam menyelesaikan masalah sosial, politik dan ekonomi, perempuan punya caranya sendiri. 

Perempuan, dengan kehalusan perasaannya, mampu membuat kepemimpinannya terasa lebih humanis dibandingkan kepemimpinan laki-laki yang cenderung transaksional. Dengan sifat keibuannya, perempuan mampu melakukan pendekatan emosional untuk lebih memahami masalah yang dihadapi masyarakat. 

Bubarnya Gerwani bukan hanya awal kemunduran gerakan perempuan, melainkan juga menghambat kemajuan dan kesetaraan. 

Penutup 

Sekarang, Gerwani hanya sebuah nama. Namun, ide-ide dan nilai-nilai feminisme yang diperjuangkannya masih terus dihidupkan. 

Di ruang publik nyata maupun virtual, aktivisme kesetaraan gender sudah bukan hal yang asing. Generasi milenial dan Z cukup banyak yang mulai aware bahkan berkomunitas dan ikut menyuarakan isu-isu perempuan juga sosial politik. 

Barangkali ada dari anak-anak muda itu yang tidak mengenal Gerwani dan bagaimana cerita di baliknya. Namun, apa yang mereka perjuangkan sebenarnya sama esensinya. 

Jadi, masuk akalkah jika perempuan-perempuan pejuang kesetaraan ini dilabeli sebagai perempuan amoral yang menyiksa para jenderal sambil menari telanjang? 

Referensi: 1, 2

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun