Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

RUU KIA dan Dilema Kebijakan Cuti Melahirkan 6 Bulan bagi Dunia Kerja

22 Juni 2022   09:02 Diperbarui: 23 Juni 2022   01:14 1066
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi cuti hamil dan melahirkan 6 bulan bagi pekerja perempuan-photo by Garon Piceli from pexels

Bagaimana dengan perusahaan kecil yang untuk bagian tertentu, seperti administrasi atau keuangan, hanya dijalankan oleh 1 orang? Siapa yang harus mengerjakan pekerjaannya jika ia cuti dalam waktu yang lama?

2. Masih terkait dengan nomor 1, apakah harus merekrut tenaga kerja baru untuk mengisi kekosongan akibat karyawati yang cuti melahirkan?

Jika iya, apakah ini berlaku untuk sementara sampai karyawati yang cuti itu kembali? 

Bukankah kalau merekrut tenaga kerja baru tapi tetap mempertahankan karyawati yang lama, pengeluaran perusahaan untuk gaji karyawan meningkat? Masa iya, mempekerjakan orang (meski temporer) tapi tidak memberi upah? 

Sementara perusahaan masih harus menggaji karyawatinya yang cuti dengan ketentuan 3 bulan pertama dibayar penuh dan 3 bulan terakhir dibayar 70% (berdasarkan RUU KIA)

3. Adanya kekhawatiran dari beberapa pihak jika RUU ini disahkan akan membuat perusahaan semakin enggan merekrut tenaga kerja perempuan karena dirasa rugi secara finansial dan kurang produktif

Jauh sebelum RUU ini santer dibicarakan, keengganan sebagian perusahaan untuk merekrut tenaga kerja perempuan memang nyata.

Cukup sering saya menemukan lowongan pekerjaan yang mensyaratkan calon karyawati harus masih lajang dan bersedia untuk tidak menikah selama jangka waktu tertentu apabila diterima. 

Calon karyawati yang sudah menikah atau punya anak kadang cenderung tidak diprioritaskan meski secara kualifikasi dan pengalaman bisa jadi lebih baik.

Selain masalah cuti berbayar, karyawati yang resign setelah menikah atau memiliki anak, membuat perusahaan harus mencari pengganti. 

Mencari karyawan pengganti yang cocok bagi perusahaan pun tentu tidak mudah. Buang waktu, buang tenaga, buang uang. Itu sebabnya, perusahaan terkadang lebih suka merekrut tenaga kerja laki-laki daripada perempuan. 

Wasana Kata 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun