Bagaimana dengan perusahaan kecil yang untuk bagian tertentu, seperti administrasi atau keuangan, hanya dijalankan oleh 1 orang? Siapa yang harus mengerjakan pekerjaannya jika ia cuti dalam waktu yang lama?
2. Masih terkait dengan nomor 1, apakah harus merekrut tenaga kerja baru untuk mengisi kekosongan akibat karyawati yang cuti melahirkan?
Jika iya, apakah ini berlaku untuk sementara sampai karyawati yang cuti itu kembali?Â
Bukankah kalau merekrut tenaga kerja baru tapi tetap mempertahankan karyawati yang lama, pengeluaran perusahaan untuk gaji karyawan meningkat? Masa iya, mempekerjakan orang (meski temporer) tapi tidak memberi upah?Â
Sementara perusahaan masih harus menggaji karyawatinya yang cuti dengan ketentuan 3 bulan pertama dibayar penuh dan 3 bulan terakhir dibayar 70% (berdasarkan RUU KIA)
3. Adanya kekhawatiran dari beberapa pihak jika RUU ini disahkan akan membuat perusahaan semakin enggan merekrut tenaga kerja perempuan karena dirasa rugi secara finansial dan kurang produktif
Jauh sebelum RUU ini santer dibicarakan, keengganan sebagian perusahaan untuk merekrut tenaga kerja perempuan memang nyata.
Cukup sering saya menemukan lowongan pekerjaan yang mensyaratkan calon karyawati harus masih lajang dan bersedia untuk tidak menikah selama jangka waktu tertentu apabila diterima.Â
Calon karyawati yang sudah menikah atau punya anak kadang cenderung tidak diprioritaskan meski secara kualifikasi dan pengalaman bisa jadi lebih baik.
Selain masalah cuti berbayar, karyawati yang resign setelah menikah atau memiliki anak, membuat perusahaan harus mencari pengganti.Â
Mencari karyawan pengganti yang cocok bagi perusahaan pun tentu tidak mudah. Buang waktu, buang tenaga, buang uang. Itu sebabnya, perusahaan terkadang lebih suka merekrut tenaga kerja laki-laki daripada perempuan.Â