Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

RUU KIA dan Dilema Kebijakan Cuti Melahirkan 6 Bulan bagi Dunia Kerja

22 Juni 2022   09:02 Diperbarui: 23 Juni 2022   01:14 1066
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Iilustrasi perempuan hamil bekerja dari rumah (Sumber damircudic via www.parapuan.co)

Kabar mengenai pembahasan RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) oleh DPR RI sedang hangat dibicarakan. Salah satu isinya adalah tentang penambahan cuti melahirkan, dari yang awalnya 3 bulan menjadi 6 bulan. 

Dikutip dari detik.com, anggota DPR dari Fraksi PKB, Luluk Nur Hamidah juga mengungkapkan bahwa draft RUU ini akan disahkan atau ditetapkan di rapat paripurna sebagai RUU inisiatif DPR sebelum dibahas bersama pemerintah. 

Rekannya dari fraksi yang sama, Anggia Ermarini menyatakan bahwa RUU ini merupakan bagian dari upaya yang dilakukan pemerintah untuk menurunkan angka stunting dan mendukung keterlibatan perempuan di ruang publik. (1)

Selain itu, RUU KIA juga menjadi semacam panduan dalam menyusun rencana dan target penurunan angka kematian ibu dan anak di Indonesia yang masih cukup tinggi dibandingkan dengan negara lain. 

Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia tahun 2017 diketahui mencapai 177 per 100.000 kelahiran hidup. 

Angka ini bahkan lebih tinggi dari rata-rata di negara-negara Asia Tenggara, seperti Malaysia (29), Brunei (23), Thailand (37) dan Filipina (121). Dibandingkan dengan negara di kawasan Asia lainnya, seperti India (AKI = 145), AKI Indonesia juga masih lebih tinggi. 

Berdasarkan data Sampling Registration System (SRS) yang dirangkum dalam laman sehatnegeriku.kemkes.go.id, sekitar 76% kematian ibu terjadi di fase persalinan dan pasca persalinan, dengan rincian sebanyak 36% saat persalinan dan 40% setelah persalinan. Sementara sebanyak 24% kematian ibu terjadi pada masa kehamilan. 

ilustrasi cuti hamil dan melahirkan 6 bulan bagi pekerja perempuan-photo by Garon Piceli from pexels
ilustrasi cuti hamil dan melahirkan 6 bulan bagi pekerja perempuan-photo by Garon Piceli from pexels

RUU yang bertanggal 6 Desember 2021 ini terdiri atas 9 bab dan 42 pasal yang di dalamnya memuat mulai dari definisi tentang kesejahteraan ibu dan anak, definisi ibu yang lebih egaliter, hak dan kewajiban (cuti melahirkan 6 bulan, cuti keguguran 1,5 bulan, cuti pendampingan suami 40 hari, akses layanan kesehatan dan psikolog, edukasi tentang kesehatan reproduksi dan kehamilan, dsb) hingga kewajiban pemerintah, baik pusat maupun daerah dalam memberikan jaminan pelayanan kesehatan, penggunaan fasilitas umum, perlindungan dan/atau bantuan sosial serta layanan dan bantuan hukum bila diperlukan. (Draft RUU KIA dapat dibaca di sini). 

Mengapa RUU KIA Penting? 

ilustrasi cuti melahirkan 6 bulan dan manfaatnya bagi ayah maupun ibu-photo from pexels
ilustrasi cuti melahirkan 6 bulan dan manfaatnya bagi ayah maupun ibu-photo from pexels
RUU ini diharapkan dapat menjadi angin segar sekaligus menjawab kebutuhan dasar pekerja perempuan atas kondisi biologisnya. 

Masa kehamilan, melahirkan hingga pasca melahirkan seringkali menjadi masa-masa berat dan sulit bagi seorang perempuan. 

Mereka butuh asupan gizi seimbang, pelayanan kesehatan yang layak dan pendampingan psikologis dari orang-orang terdekat, terutama pasangan. 

Cuti melahirkan 6 bulan ditujukan agar para ibu pekerja dapat memberikan ASI eksklusif pada bayinya. 

Sementara cuti bagi suami ditujukan agar suami dapat mendampingi dan memberikan dukungan moral bagi istrinya dalam melahirkan, menyusui dan mengasuh anak di 1000 Hari Pertama Kehidupannya. Sebab, inilah masa-masa kritis dan periode emas untuk memperbaiki tumbuh kembang anak, baik secara fisik maupun kognitif. 

Dilema RUU KIA bagi Dunia Kerja 

RUU KIA menjadi ramai dibicarakan setelah Ketua DPR RI, Puan Maharani memberi bocoran sejumlah isi dalam RUU ini kepada awak media pada Senin, 13 Juni 2022. 

Ide tentang cuti melahirkan diubah menjadi 6 bulan disambut dengan pro dan kontra oleh sejumlah pihak. 

Tak dapat dipungkiri bahwa dunia kerja atau para pelaku usaha menjadi salah satu pihak yang khawatir dengan kebijakan ini. Kekhawatiran itu antara lain meliputi. 

1. Siapa yang akan menggantikan pekerjaan karyawati tersebut jika ia cuti dalam waktu yang lama?

Jika disahkan, perusahaan tidak berhak memberhentikan karyawati yang cuti melahirkan. Apabila melanggar, perusahaan bisa dikenakan sanksi. 

Namun, pemberian cuti melahirkan selama 6 bulan ini membuat perusahaan berpikir mengenai siapa yang akan menggantikan pekerjaan karyawati tersebut.

Jika dilakukan oleh pekerja lain, apa pekerja yang bersangkutan mau dan sanggup menggantikan selama itu, mengingat ia juga punya pekerjaan-pekerjaannya sendiri yang harus diselesaikan? 

Bagaimana dengan perusahaan kecil yang untuk bagian tertentu, seperti administrasi atau keuangan, hanya dijalankan oleh 1 orang? Siapa yang harus mengerjakan pekerjaannya jika ia cuti dalam waktu yang lama?

2. Masih terkait dengan nomor 1, apakah harus merekrut tenaga kerja baru untuk mengisi kekosongan akibat karyawati yang cuti melahirkan?

Jika iya, apakah ini berlaku untuk sementara sampai karyawati yang cuti itu kembali? 

Bukankah kalau merekrut tenaga kerja baru tapi tetap mempertahankan karyawati yang lama, pengeluaran perusahaan untuk gaji karyawan meningkat? Masa iya, mempekerjakan orang (meski temporer) tapi tidak memberi upah? 

Sementara perusahaan masih harus menggaji karyawatinya yang cuti dengan ketentuan 3 bulan pertama dibayar penuh dan 3 bulan terakhir dibayar 70% (berdasarkan RUU KIA)

3. Adanya kekhawatiran dari beberapa pihak jika RUU ini disahkan akan membuat perusahaan semakin enggan merekrut tenaga kerja perempuan karena dirasa rugi secara finansial dan kurang produktif

Jauh sebelum RUU ini santer dibicarakan, keengganan sebagian perusahaan untuk merekrut tenaga kerja perempuan memang nyata.

Cukup sering saya menemukan lowongan pekerjaan yang mensyaratkan calon karyawati harus masih lajang dan bersedia untuk tidak menikah selama jangka waktu tertentu apabila diterima. 

Calon karyawati yang sudah menikah atau punya anak kadang cenderung tidak diprioritaskan meski secara kualifikasi dan pengalaman bisa jadi lebih baik.

Selain masalah cuti berbayar, karyawati yang resign setelah menikah atau memiliki anak, membuat perusahaan harus mencari pengganti. 

Mencari karyawan pengganti yang cocok bagi perusahaan pun tentu tidak mudah. Buang waktu, buang tenaga, buang uang. Itu sebabnya, perusahaan terkadang lebih suka merekrut tenaga kerja laki-laki daripada perempuan. 

Wasana Kata 

Cuti melahirkan merupakan salah satu bagian dari isu kesetaraan gender di dunia kerja yang menjadi perhatian sejak dulu. 

Di beberapa negara maju, cuti melahirkan yang diberikan bisa mencapai satu tahun dan berbayar. Cuti yang diberikan pun tidak hanya untuk ibu tapi juga ayah sehingga keduanya bisa bersama-sama merawat dan mengasuh bayi mereka di awal-awal kelahirannya. 

Perusahaan yang hendak menerapkan cuti melahirkan 6 bulan bisa menghitung terlebih dulu, berapa cost yang bakal dikeluarkan.

Benarkah secara finansial merugikan perusahaan? Jika iya, berapa kerugiannya? 

Apa dampaknya bagi perusahaan dalam jangka panjang (selain dari segi finansial) jika kebijakan ini diterapkan/tidak diterapkan?

Bagaimana solusinya? 

Semoga wacana ini dapat menjadi bahan permenungan bersama.

Referensi :1, 2, 3, 4, 5

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun