Kartini adalah perempuan dengan pedalaman pikiran dan batin yang kompleks.Â
Itu kesan yang saya tangkap setelah membaca surat-suratnya yang terangkum dalam buku berjudul Emansipasi, Surat-surat kepada Bangsanya 1899-1904Â (2018) yang diterjemahkan oleh Sulastin Sutrisno.
Kartini kerap mengkritisi adat-istiadat Jawa tapi akhirnya ia takluk jua.
Saat cita-citanya untuk sekolah di negeri Belanda bersama adiknya, Roekmini, dikabulkan, kedua gadis itu justru batal berangkat. Padahal antusiasmenya untuk bersekolah di sana begitu besar.
Beberapa bulan kemudian, Kartini akhirnya menikah dengan laki-laki pilihan orangtuanya, yang ternyata adalah seorang penganut poligami. Suatu hal yang mati-matian ditentangnya selama ini.
Mengapa Kartini akhirnya lebih memilih pernikahan? Mungkinkah ia takut menyakiti keluarganya, terutama ayah yang begitu dicintainya?
Saya tiba-tiba teringat bagaimana Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya yang berjudul Jejak Langkah (melalui penuturan tokoh utama, Minke) menyebut Kartini sebagai "gadis yang menjadi tahanan kasih sayang orangtuanya". Ya, kasih sayang yang teramat sangat memang bisa "membunuh" perlahan-lahan.
Apakah Kartini mengalah karena takut akan merusak ekspektasi keluarga dan masyarakat?
Terkait ini, Kartini hanya menyatakan bahwa ia takut kalau dengan kepergiannya ke negeri Belanda akan semakin menjauhkan dirinya dari lingkungan dan masyarakatnya. Ia tidak ingin dianggap sebagai perempuan Jawa yang keeropa-eropaan.
Kawannya, Stella Zeehandelaar bahkan menilai bahwa pembatalan keberangkatan dan pernikahan Kartini merupakan konspirasi pemerintah kolonial. Rencana studi Kartini dan Roekmini ke Belanda dinilai tidak sesuai dengan kepentingan mereka.
Mungkinkah pemerintah kolonial menganggap Kartini terlalu berani dan "berbahaya" sehingga harus dibungkam lewat pernikahan?