Sementara dalam suratnya yang lain, yaitu kepada Rosa Manuela Abendanon-Mandri tahun 1901, Kartini mengeluh, "Kami, gadis-gadis Jawa, tidak boleh memiliki cita-cita, karena kami hanya boleh mempunyai satu impian, dan itu adalah dipaksa kembali atau esok dengan pria yang dianggap patut oleh orangtua kami".Â
Namun, sekeras apapun Kartini membenci poligami dan menentang perjodohan, pada akhirnya ia tetap menikah dengan Bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adiningrat, yang sudah beristri tiga dan memiliki anak. Tidak heran jika kemudian orang berpikir bahwa keputusannya menerima perjodohan dan pernikahan ini bertentangan dengan isi surat-suratnya.
Sampai di sini, pertanyaan mencuat, apakah Kartini masih bisa disebut sebagai feminis atau pahlawan emansipasi?
Selain yang berkaitan dengan pendidikan dan emansipasi, berbagai sumber di internet juga membahas tentang keislaman Kartini. Narasinya adalah mengenai perjalanan spiritualitas Kartini dalam menemukan Islam.
Kartini sempat mengungkapkan kekecewaan dalam salah satu suratnya kepada Stella Zeehandelaar betapa para pemuka agama pada saat itu hanya mengajarkan cara membaca Al-Quran tanpa tahu artinya sehingga orang jadi tidak bisa memahami Islam dan kitab yang dibacanya. Bagi Kartini ini sesuatu yang gila.
Dituliskan pula bahwa Kartini akhirnya menemukan Islam setelah mendengar tafsir Surat Al-Fatihah yang disampaikan oleh Kyai Sholeh Darat dalam suatu pengajian. Kyai Sholeh Darat juga memberikan kitab tafsir Al-Quran sebagai hadiah pernikahan Kartini.
Pertanyaan menarik lainnya adalah, apakah Kartini seorang nasionalis?
Sebab ia begitu menyanjung peradaban Eropa yang memberikan banyak kebebasan kepada perempuan. Bukan seperti adat Jawa yang membuatnya harus dipingit hingga datang laki-laki yang melamarnya. Atau aturan yang melarang perempuan tertawa terbahak-bahak. Kalau bicara harus dengan suara lemah lembut macam orang berbisik. Begitu pula dengan cara berjalan yang gemulai dan pelan sekali seperti siput.
Namun, benarkah seandainya saya katakan bahwa Kartini mengalami perubahan pemikiran? Atau saya katakan saja bahwa Kartini memang menyanjung peradaban Eropa, bahkan berkawan dengan orang-orang Belanda, tapi tetap kritis terhadap pengetahuan yang ia terima?
Misalnya dalam suratnya kepada Nyonya R.M. Abendanon-Mandri tertanggal 27 Oktober 1902 berikut.
"Maafkan kami mengatakan hal itu. Tetapi sempurnakah masyarakat Eropa menurut pendapat nyonya? Kamilah barangkali yang paling akhir, yang tidak akan mengakui dengan rasa syukur kebaikan dalam dunia nyonya yang banyak, sangat banyak. Tetapi apakah nyonya akan mengingkari, bahwa banyak sesuatu yang bagus, besar dan luhur dalam masyarakat nyonya yang acap kali bertentangan dan justru menjadi bahan cemooh dalam peradaban?"