Secara alamiah, tidak ada satu manusia pun yang tidak menghasilkan emisi karbon dalam kehidupannya.Â
Aktivitas sesepele bernafas saja tetap menghasilkan emisi karbon yang berkontribusi sebanyak 5,8% terhadap volume emisi karbon tahunan.Â
Namun gas karbon dioksida hasil pernafasan manusia masih dapat diserap oleh tumbuhan dan digunakan untuk menjalankan proses fotosintesis.
Kemajuan dan perubahan zaman turut mengubah pola hidup dan aktivitas masyarakat. Sebelum teknologi transportasi berkembang pesat, orang biasa bepergian dengan berjalan kaki, bersepeda atau naik kuda.
Setelah berkembangnya beragam moda transportasi, orang tidak lagi jalan kaki, bersepeda atau naik kuda jika bepergian jarak jauh.Â
Bahkan kini orang lebih suka mengendarai sepeda motor untuk sekadar belanja di warung yang jaraknya tidak sampai satu kilometer dari tempat tinggalnya.
Kehidupan masyarakat yang awalnya bercorak agraris mulai beralih menjadi industri. Eksploitasi sumber daya alam (bahkan secara tidak bertanggung jawab) seolah menjadi hal yang lazim dilakukan atas nama pembangunan ekonomi. Akibatnya banyak hutan rusak, udara kotor, perairan tercemar, degradasi tanah dan dunia mengalami pemanasan global.
Sebagai upaya untuk menekan laju pemanasan global dan mereduksi emisi karbon dioksida, dibuatlah Persetujuan Paris dalam Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa ke 21 (disebut juga dengan COP 21 atau CMP 21) yang diselenggarakan pada 30 November sampai 12 Desember 2015. Kesepakatan ini diberlakukan efektif mulai tahun 2020.
Target yang hendak dicapai oleh persetujuan ini adalah negara-negara industri dan maju dituntut untuk mencapai Net-Zero Emissions (NZE) atau nol bersih emisi pada tahun 2050 mendatang.
Sebenarnya net-zero emissions bukan merujuk pada berhentinya umat manusia memrproduksi emisi. Maksudnya lebih kepada emisi yang diproduksi  manusia bisa diserap secara alami, baik oleh pohon, laut maupun tanah, sehingga tidak terlalu banyak menguap ke atmosfer.
Saat ini konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer mencapai 414,3 part per million (ppm). Angka ini  maksudnya adalah jika kita mengerat satu juta molekul udara dari atmosfer, 414, 3 bagiannya adalah karbon dioksida sedangkan sisanya adalah gas rumah kaca lain.Â
Adapun gas rumah kaca lain selain karbon dioksida, yaitu nitrogen oksida (NOx), sulfur oksida (SOx), metana (CH4), Chlorofluorocarbon (CFC) dan hydrofluorocarbon (HFC).
Konsentrasi sebesar ini telah naik dua kali lipat dalam kurun 300 tahun dan menaikkan suhu bumi sebesar 1,2 derajat Celcius.
Para ahli menghitung, suhu bumi akan naik 2 derajat Celcius jika konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer tembus 500 ppm.
Angka 2 derajat Celcius inilah batas maksimal yang ditetapkan dalam Perjanjian Paris 2015. Itu sebabnya dunia diminta mengurangi emisi mereka hingga 45% pada 2030 agar peningkatan suhu bumi tidak mencapai lebih dari 2 derajat Celcius pada tahun 2100.
Indonesia sebagai negara yang telah meratifikasi Persetujuan Paris pada 2016 di New York ikut berkomitmen untuk mencapai net-zero emissions dengan melakukan berbagai langkah, seperti rehabilitasi hutan mangrove, pengembangan bahan bakar nabati, industri baterai litium, kendaraan listrik dan sebagainya.
Sebagai bagian dari masyarakat Indonesia dan dunia, kita juga bisa berkontribusi dalam mencapai net-zero emissions mulai dari lingkup terkecil, yaitu individu dan keluarga.
Adapun tindakan kecil dan sederhana yang telah saya lakukan sebagai bentuk dukungan terhadap komitmen net zero emissions sebagai berikut.
1. Hemat ListrikÂ
Ada enam jenis pembangkit listrik yang digunakan di Indonesia, yaitu tenaga uap, gas, diesel, panas bumi, air dan energi terbarukan.Â
Dari keenam jenis pembangkit ini, pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang sumbernya dari batu bara, masih mendominasi kapasitas pembangkit di Indonesia.
Selain membutuhkan waktu yang sangat lama untuk terbentuk, batu bara juga menimbulkan masalah lingkungan, seperti menimbulkan hujan asam; mencemari udara, tanah dan sumber air serta menimbulkan efek gas rumah kaca.
Mematikan lampu dan perlengkapan elektronik yang tidak digunakan, memanfaatkan penerangan alami di siang hari, menanam pepohonan agar udara lebih sejuk, mencabut pengisi daya apabila baterai sudah penuh adalah beberapa hal yang saya lakukan untuk menghemat listrik.
Dengan menghemat listrik kita telah menbantu mengurangi emisi karbon karena setidaknya lisrik yang dipasok tidak digunakan untuk sesuatu yang tidak bermanfaat.Â
2. Mengurangi konsumsi daging merahÂ
Daging merah berkontribusi menyumbang emisi karbon lebih banyak dibanding makanan lain, seperti daging ayam, ikan, telur, susu dan makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan.
Sebenarnya hal ini lebih disebabkan oleh proses pemeliharaan ternak sapi sendiri yang kadang belum ramah lingkungan, seperti pemberian pakan dan pengolahan limbah peternakan.
Peternakan hewan ruminansia, seperti sapi, domba dan kambing menghasilkan gas metana yang tinggi. Gas metana tersebut berasal dari sendawa dan kentut hewan ternak itu sendiri.Â
Selain mencemari lingkungan, produksi gas metana yang terlalu tinggi dapat menurunkan produktivitas ternak sehingga merugikan bagi peternak.Â
Oleh karena itu, pemberian pakan yang tepat penting dilakukan oleh peternak untuk mengurangi produksi gas metana yang tinggi.
Meskipun masih mengonsumsi makanan yang berbahan daging merah, saya membatasi konsumsi setidaknya seminggu sekali saja.Â
Sebagai gantinya saya biasa mengonsumsi sumber protein yang lain, seperti telur, tahu, tempe, ikan dan mengimbanginya dengan rutin konsumsi sayur.
3. Mengurangi food loss dan food waste
Food loss adalah sampah makanan yang berasal dari bahan pangan, seperti sayur, buah-buahan dan makanan yang masih mentah namun sudah tidak bisa diolah menjadi makanan dan akhirnya dibuang. Sementara food waste adalah makanan siap konsumsi yang menumpuk jadi sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Food loss bisa muncul sejak proses pra panen, pengemasan hingga ketika sudah di tangan konsumen.
Pada konsumen, food loss biasanya disebabkan oleh cara penyimpanan bahan makanan yang salah.Â
Oleh karena itu, penting untuk mengetahui cara penyimpanan bahan makanan yang benar, terutama untuk bahan makanan segar yang cenderung mudah rusak.
Sedangkan untuk mengurangi food waste, cara paling sederhana yang saya lakukan adalah dengan mengambil makanan secukupnya dan menghabiskannya.Â
Hal ini tidak hanya saya lakukan ketika di rumah tapi juga ketika makan di luar maupun di acara seperti pesta pernikahan atau hajatan.
4. Menerapkan gaya hidup minim sampah plastikÂ
Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) mencatat sampah plastik merupakan jenis sampah terbanyak kedua yang dihasilkan masyarakat setelah sampah sisa makanan.Â
Di masa pandemi, jumlah sampah plastik mengalami peningkatan karena banyaknya aktivitas belanja daring yang dilakukan selama di rumah saja.
Jumlah sampah plastik yang berlimpah telah menimbulkan berbagai masalah pada lingkungan. Sampah plastik yang hanyut hingga ke laut dan termakan oleh hewan-hewan laut, misalnya, dapat menyebabkan hewan-hewan tersebut mati.
Tindakan yang saya lakukan untuk meminimalisir sampah plastik adalah dengan membawa botol minum sendiri jika bepergian, membawa kantong belanja dan menyerahkan sampah plastik ke tempat daur ulang sampah.
5. Menghindari membeli pakaian terlalu seringÂ
Industri tekstil merupakan industri paling merusak lingkungan dengan emisi gas rumah kaca mencapai 1,2 miliar ton per tahun.
Hadirnya industri fast fashion di mana koleksi pakaian terbaru selalu muncul setiap minggu dan dijual dengan harga murah, menyebabkan penumpukan sampah tekstil karena kualitas pakaian yang kurang baik sehingga mudah rusak dan akhirnya dibuang.
Biasanya saya hanya membeli pakaian maksimal dua kali dalam setahun. Namun sejak dua tahun terakhir ini saya tidak membeli pakaian satu potong pun.Â
Saya juga selalu berusaha merawat pakaian-pakaian saya dengan baik agar tetap awet sehingga tidak perlu sering-sering beli pakaian baru.
Begitulah 5 tindakan kecil yang telah saya lakukan untuk mendukung net-zero emissions.
Jadi, mewujudkan net-zero emissions bukan hanya tanggung jawab negara-negara maju dan industri melainkan juga tanggung jawab setiap individu sebagai manusia yang memanfaatkan alam untuk memenuhi kebutuhannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H