Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Tidak Ada yang Menang dan Kalah dalam "Oppression Olympics"

22 Juni 2021   17:46 Diperbarui: 22 Juni 2021   21:35 726
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hal-hal yang biasa dibanding-bandingkan bisa berupa masalah rasial (kulit putih vs kulit hitam atau kulit berwarna), jenis kelamin (laki-laki vs perempuan), status sosial ekonomi (kaya vs miskin, kelas pekerja vs pemilik modal), agama (Islam vs non Islam kalau di Indonesia, Kristen vs non Kristen kalau di negara-negara Barat), kemampuan fisik (disabilitas vs non disabilitas) dan sebagainya. Termasuk juga masalah pribadi.

Saya kadang menyebutnya sebagai adu penderitaan. Ada pula orang-orang yang menyebutnya sebagai adu nasib.

Istilah Oppression Olympics pertama kali diperkenalkan oleh Elizabeth Martinez, seorang aktivis asal Amerika Serikat pada awal tahun 90-an. 

Ia menggunakan istilah ini untuk mendeskripsikan perbandingan antara bagaimana supremasi kaum kulit putih (white supremacy) dan patriarki yang menindas kelompok marjinal dengan penindasan yang mereka alami.

Hal ini didasari oleh adanya ketakutan bahwa ketika kita fokus pada isu atau masalah yang menimpa suatu kelompok, isu atau masalah yang dialami oleh kelompok lain akan diabaikan. Namun hal ini dinilai kurang tepat karena permasalahan yang dihadapi oleh setiap individu atau kelompok berbeda-beda, unik dan membutuhkan perlakuan serta penyelesaian yang berbeda pula.

Misalnya, ketika ada yang menyuarakan kepedulian atas konflik Palestina-Israel, ada pula yang dengan sinis berkomentar, "Ngapain sih kita ngurusin Palestina segala? Di sini aja masih banyak masyarakat hidup di bawah garis kemiskinan, anak putus sekolah, pemerintah korup..." dan sebagainya.

Mungkin dipikirnya kalau kita menyuarakan isu Palestina-Israel, kita telah melupakan nasib saudara-saudara sebangsa dan setanah air yang kurang beruntung. Dikiranya kita lebih peduli pada nasib warga negara lain daripada warga negara sendiri. Dan tentu saja tuduhan ini tidak benar.

Selain itu, suatu isu bisa jadi begitu penting dan bermakna bagi suatu kelompok.

Misalnya, gerakan Black Lives Matter (BLM) tentu memiliki makna lebih bagi kaum kulit hitam di seluruh dunia karena diskriminasi rasial yang kerap mereka terima.

Terlepas dari apakah kaum kulit putih merasa hal itu terlalu dibesar-besarkan, atau ada di antara mereka yang kemudian bersikap sinis karena barangkali pernah mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari black people, sehingga merasa menjadi kelompok yang terzalimi.

Hal itu tidak akan mengubah fakta bahwa ketertindasan yang dialami oleh black people sudah berlangsung selama ratusan tahun dan bersifat struktural. Bahkan masih berlangsung hingga hari ini. Dan itu berarti pengalaman mereka valid.

Betapa Menyebalkannya Oppression Olympics

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun