Hal-hal yang biasa dibanding-bandingkan bisa berupa masalah rasial (kulit putih vs kulit hitam atau kulit berwarna), jenis kelamin (laki-laki vs perempuan), status sosial ekonomi (kaya vs miskin, kelas pekerja vs pemilik modal), agama (Islam vs non Islam kalau di Indonesia, Kristen vs non Kristen kalau di negara-negara Barat), kemampuan fisik (disabilitas vs non disabilitas) dan sebagainya. Termasuk juga masalah pribadi.
Saya kadang menyebutnya sebagai adu penderitaan. Ada pula orang-orang yang menyebutnya sebagai adu nasib.
Istilah Oppression Olympics pertama kali diperkenalkan oleh Elizabeth Martinez, seorang aktivis asal Amerika Serikat pada awal tahun 90-an.Â
Ia menggunakan istilah ini untuk mendeskripsikan perbandingan antara bagaimana supremasi kaum kulit putih (white supremacy) dan patriarki yang menindas kelompok marjinal dengan penindasan yang mereka alami.
Hal ini didasari oleh adanya ketakutan bahwa ketika kita fokus pada isu atau masalah yang menimpa suatu kelompok, isu atau masalah yang dialami oleh kelompok lain akan diabaikan. Namun hal ini dinilai kurang tepat karena permasalahan yang dihadapi oleh setiap individu atau kelompok berbeda-beda, unik dan membutuhkan perlakuan serta penyelesaian yang berbeda pula.
Misalnya, ketika ada yang menyuarakan kepedulian atas konflik Palestina-Israel, ada pula yang dengan sinis berkomentar, "Ngapain sih kita ngurusin Palestina segala? Di sini aja masih banyak masyarakat hidup di bawah garis kemiskinan, anak putus sekolah, pemerintah korup..." dan sebagainya.
Mungkin dipikirnya kalau kita menyuarakan isu Palestina-Israel, kita telah melupakan nasib saudara-saudara sebangsa dan setanah air yang kurang beruntung. Dikiranya kita lebih peduli pada nasib warga negara lain daripada warga negara sendiri. Dan tentu saja tuduhan ini tidak benar.
Selain itu, suatu isu bisa jadi begitu penting dan bermakna bagi suatu kelompok.
Misalnya, gerakan Black Lives Matter (BLM) tentu memiliki makna lebih bagi kaum kulit hitam di seluruh dunia karena diskriminasi rasial yang kerap mereka terima.
Terlepas dari apakah kaum kulit putih merasa hal itu terlalu dibesar-besarkan, atau ada di antara mereka yang kemudian bersikap sinis karena barangkali pernah mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari black people, sehingga merasa menjadi kelompok yang terzalimi.
Hal itu tidak akan mengubah fakta bahwa ketertindasan yang dialami oleh black people sudah berlangsung selama ratusan tahun dan bersifat struktural. Bahkan masih berlangsung hingga hari ini. Dan itu berarti pengalaman mereka valid.