Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Tidak Ada yang Menang dan Kalah dalam "Oppression Olympics"

22 Juni 2021   17:46 Diperbarui: 22 Juni 2021   21:35 726
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Oppression Olympics | Sumber: pexels/Nappy

Pernahkah ketika Anda curhat ke teman, teman tersebut malah menganggap remeh masalah Anda dan membanding-bandingkan dengan masalahnya yang ia anggap lebih berat? 

Alih-alih fokus pada masalah yang sedang dibahas (masalah Anda), orang ini justru membelokkan pembicaraan ke hal lain, yaitu tentang dirinya. 

Pernah dalam sebuah forum diskusi, saya temukan ada seseorang yang mengungkapkan tentang ketidakberesan sistem pendidikan di Indonesia. 

Salah satu yang ia ungkapkan adalah adanya kewajiban bagi siswa kelas akhir (6 SD, 9 SMP, 12 SMA) untuk masuk sangat pagi, seperti jam 06.15 atau 06.30 (tergantung kebijakan guru di setiap sekolah) untuk mengikuti tambahan pelajaran. Itu pun masih ada tambahan pelajaran lagi nanti sepulang sekolah hingga sore hari.

Menurutnya, hal ini rentan membuat siswa stres karena fisik dan pikiran yang terlalu diforsir. Belum lagi jika siswa tersebut masih harus ikut les di bimbingan belajar (bimbel), tentu akan sangat melelahkan.  

Banyak yang mendukung pendapatnya, bersimpati bahkan merasa relate karena punya pengalaman serupa. Tapi ada juga yang memandang remeh dengan mengatakan kurang lebih begini, "Alah, lebay amat. Masih mending tuh cuma disuruh masuk jam 06.15. Saya dulu di pesantren pelajaran lebih banyak. Sebelum subuh harus udah bangun terus ada kegiatan A, B, C, D dst sampai malam. Lebih berat mana coba?"

Kuncinya ada pada "masih mending kamu... lha saya...".

Intinya adalah orang itu sedang membandingkan siapa yang nasibnya lebih buruk, menyedihkan dan menderita.

Mengenal Oppression Olympics

Fenomena seperti contoh di atas itu dikenal dengan istilah Oppression Olympics.

Oppression olympics dapat diartikan sebagai tindakan membanding-bandingkan antara satu individu dengan individu lain atau satu kelompok dengan kelompok lain, siapa yang lebih tertindas di antara mereka.

ilustrasi oppression olympics | sumber gambar : coloradosun.com
ilustrasi oppression olympics | sumber gambar : coloradosun.com

Hal-hal yang biasa dibanding-bandingkan bisa berupa masalah rasial (kulit putih vs kulit hitam atau kulit berwarna), jenis kelamin (laki-laki vs perempuan), status sosial ekonomi (kaya vs miskin, kelas pekerja vs pemilik modal), agama (Islam vs non Islam kalau di Indonesia, Kristen vs non Kristen kalau di negara-negara Barat), kemampuan fisik (disabilitas vs non disabilitas) dan sebagainya. Termasuk juga masalah pribadi.

Saya kadang menyebutnya sebagai adu penderitaan. Ada pula orang-orang yang menyebutnya sebagai adu nasib.

Istilah Oppression Olympics pertama kali diperkenalkan oleh Elizabeth Martinez, seorang aktivis asal Amerika Serikat pada awal tahun 90-an. 

Ia menggunakan istilah ini untuk mendeskripsikan perbandingan antara bagaimana supremasi kaum kulit putih (white supremacy) dan patriarki yang menindas kelompok marjinal dengan penindasan yang mereka alami.

Hal ini didasari oleh adanya ketakutan bahwa ketika kita fokus pada isu atau masalah yang menimpa suatu kelompok, isu atau masalah yang dialami oleh kelompok lain akan diabaikan. Namun hal ini dinilai kurang tepat karena permasalahan yang dihadapi oleh setiap individu atau kelompok berbeda-beda, unik dan membutuhkan perlakuan serta penyelesaian yang berbeda pula.

Misalnya, ketika ada yang menyuarakan kepedulian atas konflik Palestina-Israel, ada pula yang dengan sinis berkomentar, "Ngapain sih kita ngurusin Palestina segala? Di sini aja masih banyak masyarakat hidup di bawah garis kemiskinan, anak putus sekolah, pemerintah korup..." dan sebagainya.

Mungkin dipikirnya kalau kita menyuarakan isu Palestina-Israel, kita telah melupakan nasib saudara-saudara sebangsa dan setanah air yang kurang beruntung. Dikiranya kita lebih peduli pada nasib warga negara lain daripada warga negara sendiri. Dan tentu saja tuduhan ini tidak benar.

Selain itu, suatu isu bisa jadi begitu penting dan bermakna bagi suatu kelompok.

Misalnya, gerakan Black Lives Matter (BLM) tentu memiliki makna lebih bagi kaum kulit hitam di seluruh dunia karena diskriminasi rasial yang kerap mereka terima.

Terlepas dari apakah kaum kulit putih merasa hal itu terlalu dibesar-besarkan, atau ada di antara mereka yang kemudian bersikap sinis karena barangkali pernah mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari black people, sehingga merasa menjadi kelompok yang terzalimi.

Hal itu tidak akan mengubah fakta bahwa ketertindasan yang dialami oleh black people sudah berlangsung selama ratusan tahun dan bersifat struktural. Bahkan masih berlangsung hingga hari ini. Dan itu berarti pengalaman mereka valid.

Betapa Menyebalkannya Oppression Olympics

Orang yang suka mengadu nasib siapa yang lebih menderita justru menunjukkan bahwa ia tidak benar-benar peduli pada masalah yang dihadapi oleh orang atau kelompok lain. Ia menganggap bahwa suatu masalah yang dihadapi seseorang atau suatu kelompok tidak lebih penting dari masalah yang dihadapi orang atau kelompok lain.

Hal ini juga sering ditemukan ketika kita curhat ke teman. Saat kita berharap dengan curhat ke teman akan membuat hati lebih lega karena bisa menumpahkan uneg-uneg, ternyata respon yang diberikan malah, "Masih mending lah itu, lha aku...". Kalau sudah begini, alih-alih lebih lega dan tenang, kita malah jadi emosi.

Saya beberapa kali mengatakan dalam artikel saya bahwa orang curhat itu tidak semuanya sedang butuh nasihat dan saran. Ada yang curhat hanya karena ingin didengar.

Terlepas dari apapun alasan ia curhat pada kita, apa yang dia rasakan itu valid sehingga mengadu nasib siapa yang lebih ngenes antara dia atau kita, menandakan bahwa kita tidak peka dan peduli pada keadaannya.

Wasana Kata

Penderitaan dan ketertindasan yang dialami seseorang atau suatu kelompok tidak seharusnya diperlakukan seperti kompetisi untuk menentukan siapa yang lebih tertindas. Membanding-bandingkan antara siapa yang lebih tertindas adalah tindakan konyol dan nirfaedah.

Namanya ketertindasan, siapa pun yang mengalami, pantas untuk mendapat perhatian dan pertolongan. Dan siapa pun dapat menjadi pihak tertindas maupun penindas.

Alih-alih saling mengadu penderitaan, mengapa kita tidak belajar menumbuhkan sikap empati dan saling memahami agar dapat mencari solusi bersama yang saling menguntungkan?

Referensi : 1, 2

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun