Sebuah survei yang dilakukan oleh InterNations pada tahun 2019 terhadap 20.259 ekspatriat yang mewakili 182 negara dan tinggal di 187 negara atau wilayah, menempatkan Indonesia di peringkat 8 dalam jajaran negara paling ramah di dunia.
Seolah kontradiktif dengan survei InterNations, belum lama ini Microsoft merilis hasil survei tentang tingkat kesopanan warganet dalam interaksi daring. Hasilnya, Indonesia menempati peringkat 29 dari 32 negara dengan skor 76%. Itu artinya Indonesia termasuk negara dengan tingkat kesopanan warganet yang memprihatinkan.
Adapun peringkat pertama diraih oleh Belanda dengan skor 51%. Disusul oleh negara lain yang termasuk dalam peringkat lima besar, yaitu Inggris (55%), Amerika Serikat (56%), Singapura (59%) dan Taiwan (61%). Jadi, semakin kecil skor atau persentasenya, berarti tingkat kesopanan warganetnya semakin baik.
Pikiran saya langsung dipenuhi beberapa pertanyaan. Kalau Indonesia termasuk negara paling ramah di dunia, mengapa tingkat kesopanan warganet justru rendah? Apakah survei Microsoft salah? Atau jangan-jangan keramahan kita hanya kepalsuan belaka?
Betapa Barbar nya Warganet Indonesia
Pecinta K-Drama pasti tidak asing dengan drama berjudul "The World of The Married" yang sempat booming di Tanah Air beberapa waktu lalu.
Han So Hee, aktris asal Korea Selatan, menjadi sasaran kemarahan dan hujatan warganet hanya karena perannya sebagai pelakor dalam drama tersebut. Warganet negara +62 menyerangnya di sosial media dengan kata-kata kasar.
Lain lagi dengan yang dialami oleh gadis remaja asal Filipina, Reemar Martin. Gadis remaja yang populer lewat video-video TikTok-nya ini menjadi korban perundungan warganet Indonesia yang mayoritas pelakunya adalah perempuan. Perempuan-perempuan tersebut melontarkan ujaran kebencian karena merasa tidak terima pasangannya mengidolakan Reemar Martin.
Kelakuan barbar warganet Indonesia juga tampak saat insiden kontingen Indonesia dipaksa mundur  dari ajang All England 2021 bulan Maret lalu. Warganet yang kecewa dan marah menumpahkan emosinya dengan menyerang akun Instagram All England. Sampai-sampai akun resmi All England di Instagram, @allenglandofficial, mendadak hilang pada Sabtu, 20 Maret 2021.
Tiga kasus di atas hanyalah sebagian kecil contoh dari keganasan warganet Indonesia. Namun hal tersebut cukup memberi gambaran bahwa survei DCI oleh Microsoft itu benar adanya.
Tak lama setelah hasil survei itu dirilis, gantian akun Instagram Microsoft lah yang diserang oleh warganet Indonesia. Nah!
Keramahan Semu
Barangkali ada yang berpikir bagaimana mungkin orang yang di dunia nyata begitu ramah, murah senyum dan bersahabat, seketika menjadi beringas di dunia maya?
Di dunia maya pun warganet ternyata bisa menunjukkan kepribadian yang berbeda-beda. Modis di Instagram, kocak di YouTube, bijak di Facebook tapi di Twitter galaknya naudzubillah setan.
Sosiolog Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Tantan Hermansyah, sebagaimana dikutip dari voi.id (27/02/2021), mengatakan bahwa keramahan masyarakat Indonesia didasari oleh motif kompromi.
Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan budayanya yang masing-masing dapat dibagi lagi ke dalam sub-sub budaya. Seluruh budaya dan sub budaya itu saling terlibat dalam suatu interaksi yang mendorong tumbuhnya sifat tenggang rasa dan saling menghargai yang tinggi. Tujuannya adalah agar eksistensinya terjaga secara alami. Tanpa itu semua, suatu sub budaya atau budaya akan musnah.
Seiring dengan kemajuan zaman, karakter masyarakat Indonesia yang ramah masih bertahan, motif komprominya lah yang berubah. Dari yang awalnya bertujuan untuk saling menjaga eksistensi suatu sub budaya dan budaya, berubah karena keinginan untuk meraih keuntungan tertentu (baca : materi dan popularitas).
Dari yang awalnya didasari oleh nilai-nilai luhur bangsa berubah menjadi didasari oleh ada tidaknya imbalan yang akan didapat.
Jika dikembalikan pada pertanyaan di awal sub bab ini, mungkinkah kita memelihara mental pengecut stadium lanjut, sehingga beraninya main keroyokan di sosial media? Karena ketika kita memaki orang lain di dunia nyata, bisa-bisa kita babak belur dihajar orang yang kita caci maki.
Ketika kita bersikap kasar pada orang lain di dunia nyata, orang bisa melihat langsung siapa pelakunya. Beberapa orang bisa saja mengenal identitas kita. Risikonya, kalau tidak jadi buah bibir tetangga ya viral di dunia maya.
Sementara di sosial media, kita bisa memaki, menipu, memfitnah bahkan melakukan pembunuhan karakter dengan bersembunyi di balik akun bot.
Atau jangan-jangan---hipotesis ngawur saya---keberingasan mereka itu adalah cerminan hati, pikiran bahkan perilaku dalam kehidupan sehari-hari (?)
Karena menurut nasihat yang pernah saya dengar, perilaku atau tindakan adalah output dari isi hati dan pikiran kita. Kalau perilakunya baik, hati dan pikirannya juga dipenuhi kebaikan. Kalau perilakunya buruk, hati dan pikirannya juga dipenuhi keburukan.
Pada kasus Han So Hee, di dunia nyata terjadi juga hal serupa. Kalau Anda tidak percaya, coba lihat kelakuan emak-emak penggemar sinetron. Giliran ada adegan tokoh antagonis menyakiti tokoh protagonis---yang notabenenya adalah tokoh utama---beuh, jengkelnya sampai ke ubun-ubun. Menghayati banget sampai ngomel-ngomel sendiri.
Saking menghayatinya sampai-sampai tidak bisa lagi membedakan mana kenyataan mana yang cuma akting.
Sama saja dengan yang terjadi pada Reemar Martin. Jangankan di sosial media, di dunia nyata sering ditemukan perempuan bersikap sinis atau memusuhi perempuan lain karena perebutan kekuasaan dan pasangan. Jika Anda sering membaca artikel saya, mungkin Anda akan ingat betapa saya sering menyinggung hal ini.
Maka, buat yang berpikir bahwa jadi cewek cantik itu enak, nyatanya hidup tidak melulu seindah parasnya.
Nampaknya kita juga sering gagal paham dalam membedakan antara mengkritik dan menghina.
Mengutip dari KBBI daring, kritik (n) adalah kecaman atau tanggapan, atau kupasan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat dan sebagainya.
Ada kecaman, tanggapan, kupasan lalu pertimbangan baik buruk. Berarti kalau komentarnya berisi kata-kata kasar yang menghina fisik, kondisi ekonomi dan hal lain yang sifatnya personal, ditambah dengan ancaman kematian (death threats) tidak seharusnya disebut kritik.
Sekecewa dan semarah apapun warganet Indonesia atas insiden All England, harusnya tidak perlu senorak itu.
Kalau pun mau berdalih dengan alasan nasionalisme, nasionalisme macam apa yang sedang kita tunjukkan dengan melayangkan ujaran kebencian pada atlet-atlet negara lain dan ancaman kematian pada presiden BWF?
Hasil survei DCI oleh Microsoft seharusnya menjadi pengingat akan pentingnya etika dalam bermedia sosial. Kita seharusnya introspeksi dan memperbaiki kesalahan bukan malah memelihara kebodohan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H