Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Survei Digital Civility Index (DCI) dan Keramahan Semu Negara +62

19 Mei 2021   17:50 Diperbarui: 20 Mei 2021   05:00 3391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi hasil survei Digital Civility Index (DCI). Sumber: Microsoft

ilustrasi orang sedang bermain sosial media | sumber gambar: Shutterstock via suara.com
ilustrasi orang sedang bermain sosial media | sumber gambar: Shutterstock via suara.com

Barangkali ada yang berpikir bagaimana mungkin orang yang di dunia nyata begitu ramah, murah senyum dan bersahabat, seketika menjadi beringas di dunia maya?

Di dunia maya pun warganet ternyata bisa menunjukkan kepribadian yang berbeda-beda. Modis di Instagram, kocak di YouTube, bijak di Facebook tapi di Twitter galaknya naudzubillah setan.

Sosiolog Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Tantan Hermansyah, sebagaimana dikutip dari voi.id (27/02/2021), mengatakan bahwa keramahan masyarakat Indonesia didasari oleh motif kompromi.

Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan budayanya yang masing-masing dapat dibagi lagi ke dalam sub-sub budaya. Seluruh budaya dan sub budaya itu saling terlibat dalam suatu interaksi yang mendorong tumbuhnya sifat tenggang rasa dan saling menghargai yang tinggi. Tujuannya adalah agar eksistensinya terjaga secara alami. Tanpa itu semua, suatu sub budaya atau budaya akan musnah.

Seiring dengan kemajuan zaman, karakter masyarakat Indonesia yang ramah masih bertahan, motif komprominya lah yang berubah. Dari yang awalnya bertujuan untuk saling menjaga eksistensi suatu sub budaya dan budaya, berubah karena keinginan untuk meraih keuntungan tertentu (baca : materi dan popularitas).

Dari yang awalnya didasari oleh nilai-nilai luhur bangsa berubah menjadi didasari oleh ada tidaknya imbalan yang akan didapat.

Jika dikembalikan pada pertanyaan di awal sub bab ini, mungkinkah kita memelihara mental pengecut stadium lanjut, sehingga beraninya main keroyokan di sosial media? Karena ketika kita memaki orang lain di dunia nyata, bisa-bisa kita babak belur dihajar orang yang kita caci maki.

Ketika kita bersikap kasar pada orang lain di dunia nyata, orang bisa melihat langsung siapa pelakunya. Beberapa orang bisa saja mengenal identitas kita. Risikonya, kalau tidak jadi buah bibir tetangga ya viral di dunia maya.

Sementara di sosial media, kita bisa memaki, menipu, memfitnah bahkan melakukan pembunuhan karakter dengan bersembunyi di balik akun bot.

Atau jangan-jangan---hipotesis ngawur saya---keberingasan mereka itu adalah cerminan hati, pikiran bahkan perilaku dalam kehidupan sehari-hari (?)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun