Karena menurut nasihat yang pernah saya dengar, perilaku atau tindakan adalah output dari isi hati dan pikiran kita. Kalau perilakunya baik, hati dan pikirannya juga dipenuhi kebaikan. Kalau perilakunya buruk, hati dan pikirannya juga dipenuhi keburukan.
Pada kasus Han So Hee, di dunia nyata terjadi juga hal serupa. Kalau Anda tidak percaya, coba lihat kelakuan emak-emak penggemar sinetron. Giliran ada adegan tokoh antagonis menyakiti tokoh protagonis---yang notabenenya adalah tokoh utama---beuh, jengkelnya sampai ke ubun-ubun. Menghayati banget sampai ngomel-ngomel sendiri.
Saking menghayatinya sampai-sampai tidak bisa lagi membedakan mana kenyataan mana yang cuma akting.
Sama saja dengan yang terjadi pada Reemar Martin. Jangankan di sosial media, di dunia nyata sering ditemukan perempuan bersikap sinis atau memusuhi perempuan lain karena perebutan kekuasaan dan pasangan. Jika Anda sering membaca artikel saya, mungkin Anda akan ingat betapa saya sering menyinggung hal ini.
Maka, buat yang berpikir bahwa jadi cewek cantik itu enak, nyatanya hidup tidak melulu seindah parasnya.
Nampaknya kita juga sering gagal paham dalam membedakan antara mengkritik dan menghina.
Mengutip dari KBBI daring, kritik (n) adalah kecaman atau tanggapan, atau kupasan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat dan sebagainya.
Ada kecaman, tanggapan, kupasan lalu pertimbangan baik buruk. Berarti kalau komentarnya berisi kata-kata kasar yang menghina fisik, kondisi ekonomi dan hal lain yang sifatnya personal, ditambah dengan ancaman kematian (death threats) tidak seharusnya disebut kritik.
Sekecewa dan semarah apapun warganet Indonesia atas insiden All England, harusnya tidak perlu senorak itu.
Kalau pun mau berdalih dengan alasan nasionalisme, nasionalisme macam apa yang sedang kita tunjukkan dengan melayangkan ujaran kebencian pada atlet-atlet negara lain dan ancaman kematian pada presiden BWF?
Hasil survei DCI oleh Microsoft seharusnya menjadi pengingat akan pentingnya etika dalam bermedia sosial. Kita seharusnya introspeksi dan memperbaiki kesalahan bukan malah memelihara kebodohan.