Pertama, adanya relasi kuasa.
Relasi kuasa menyebabkan pelaku, sebagai pihak yang memiliki otoritas jabatan, keilmuan, dan nama besar bisa melakukan kekerasan seksual dan menakut-nakuti serta mengancam korbannya sehingga korban tidak kuasa melawan.
Misalnya, kekerasan seksual yang dilakukan oleh guru terhadap muridnya atau seorang dosen pembimbing skripsi terhadap mahasiswa bimbingannya. Guru atau dosen ini lantas mengancam jika tidak memenuhi permintaannya, maka akan diberi nilai jelek dan tidak lulus.
Kedua, adanya victim blaming
Korban kekerasan seksual seringkali justru disalahkan dan dicibir habis-habisan ketika menceritakan pengalamannya (victim blaming)
Mereka yang speak up sering dianggap sedang bikin sensasi, cari perhatian, panjat sosial, dan mencemarkan nama baik.
Seolah-olah yang dikatakan oleh korban itu kebohongan belaka. Selain itu, orang-orang juga masih suka mewajarkan tindakan laki-laki yang melakukan kekerasan seksual pada perempuan.
Korban kerap disalahkan dan dituding berpakaian terbuka, berperilaku genit dan menggoda, suka keluyuran malam-malam, pergi atau pulang lewat jalan sepi sehingga mengundang laki-laki untuk berbuat tidak senonoh.
Kalau begini, ibarat sudah jatuh tertimpa tangga masih diinjak pula.
Ketiga, penegakan aturan atau hukum yang belum berpihak pada korban