Masih ingatkah Anda dengan kasus Baiq Nuril Maknun---mantan guru honorer SMAN 7 Mataram Nusa Tenggara Barat (NTB)---korban pelecehan seksual yang dikriminalisasi oleh atasannya sendiri?
Kejadian itu bermula sejak medio 2012, di mana Baiq Nuril yang masih berstatus sebagai pegawai honorer di SMAN 7 Mataram, ditelepon oleh atasannya.
Percakapan berlangsung selama kurang lebih 20 menit, dengan 5 menit membahas soal pekerjaan, selebihnya atasannya malah membahas mengenai pengalaman seksualnya dengan perempuan yang bukan istrinya.
Dalam percakapan di telepon itu, sang atasan juga kerap melontarkan kata-kata bernada pelecehan terhadap Baiq Nuril. Dan hal tersebut terjadi berulang kali.
Merasa tidak nyaman, ia berinisiatif merekam percakapan tersebut. Ia juga sempat bercerita kepada rekan kerjanya, Imam Mudawin, mengenai rekaman itu.
Namun, rekaman itu malah disebarkan oleh Imam Mudawin ke Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Mataram.
Baiq Nuril akhirnya dilaporkan ke polisi atas dasar Pasal 27 Ayat (1) Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Selanjutnya, dalam putusan kasasi Mahkamah Agung (MA), ia justru dinyatakan bersalah karena menyebarkan rekaman bermuatan asusila dan dihukum 6 bulan penjara serta denda Rp 500 juta
***
Sekarang mari kita tengok kasus serupa yang terjadi di dua kampus di kota pelajar, Yogyakarta.
Malam itu mungkin menjadi malapetaka baginya. Agni (bukan nama sebenarnya)---mahasiswi PTN terkenal di Yogyakarta---menjadi korban pemerkosaan yang dilakukan oleh rekan setimnya sendiri saat sedang menjalani program KKN di Pulau Seram, Maluku.
Korban yang berusaha mencari keadilan harus terbentur dengan birokrasi kampus yang berbelit-belit.Â
Ketika menceritakan apa yang dialaminya saat KKN kepada pihak kampus, ia justru disalahkan. Seolah-olah kasus perkosaan itu terjadi karena kesalahannya.
Belum cukup sampai disitu, entah apa alasannya, Agni cuma diberi nilai C pada mata kuliah KKN. Sementara rekan-rekan setimnya mendapat nilai A. Padahal kontribusi yang dilakukan Agni sewaktu mengikuti program KKN sama baiknya dengan rekan-rekan setimnya yang lain.
Pelaku, alih-alih mendapat sanksi yang setimpal, justru dapat melenggang bebas begitu saja sehingga bisa tetap lulus, diwisuda dan mendapat ijazah sarjana.
***
Pada bulan puasa 2020 lalu, grup Whatsapp angkatan heboh oleh desas-desus pelecehan seksual yang dilakukan oleh alumni salah satu kampus swasta Islam ternama di Kota Gudeg, berinisial IM.
Kabarnya, alumni yang sealmamater juga dengan saya itu telah melakukan pelecehan terhadap sejumlah perempuan yang mayoritas berasal dari kampus yang sama dengan kami.
Hingga 4 Mei 2020, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta telah menerima sedikitnya 30 aduan korban dugaan pelecehan seksual yang dilakukan oleh IM. Tiga puluh aduan itu merupakan peristiwa yang terjadi pada tahun 2016 hingga 2020.
Pelecehan tersebut dilakukan, baik secara verbal, seperti melalui chat dan video call, sampai yang menjurus pada tindak perkosaan.
Dari penuturan beberapa korban, peristiwa tersebut ada yang terjadi saat IM belum lulus.
Seluruh civitas akademik kampus yang bersangkutan tentu merasa tercengang. Pasalnya pelaku selama ini dikenal sebagai pribadi yang cerdas, sopan, dan saleh.
Sederet prestasi pernah diraihnya, mulai dari tingkat nasional sampai internasional. Ia pun pernah menyandang gelar mahasiswa berprestasi tahun 2015.
Ia juga dikenal sebagai motivator dan pendakwah. Bahkan dikandidatkan sebagai salah satu dosen di almamaternya.
***
Mengapa Kekerasan Seksual di Dunia Pendidikan Masih Terjadi?
Lembar Fakta Komnas Perempuan yang ditulis pada Oktober 2020 menyatakan bahwa pada periode 2015 hingga Agustus 2020 ada 51 kasus kekerasan seksual terjadi di institusi pendidikan.
Namun, lanjutnya lagi, jumlah tersebut belum mencerminkan fakta di lapangan yang diperkirakan lebih besar karena banyaknya kasus yang tidak dilaporkan.
Kekerasan seksual di dunia pendidikan terjadi di semua jenjang, mulai dari pendidikan usia dini hingga perguruan tinggi.
Kampus menempati urutan tertinggi sebagai institusi pendidikan yang paling banyak terjadi kekerasan seksual, yaitu sebesar 27%. Di urutan berikutnya adalah pesantren atau lembaga pendidikan berbasis Islam sebanyak 19%, SMA/SMK sebanyak 7% dan TK, SD, SLB serta SMP masing-masing 3%.
Bentuk kekerasan seksual bisa berupa kekerasan secara fisik maupun verbal dengan menggunakan relasi kuasa.
Sementara di lingkungan pesantren atau lembaga pendidikan berbasis Islam, hal ini biasa dilakukan melalui pemaksaan perkawinan disertai ancaman akan terkena azab, tidak lulus dan hafalan akan hilang.
Lalu, mengapa di institusi yang merupakan tempat penggemblengan peserta didik menjadi generasi intelektual masa depan malah dinodai dengan kasus-kasus kekerasan seksual?
Pertama, adanya relasi kuasa.
Relasi kuasa menyebabkan pelaku, sebagai pihak yang memiliki otoritas jabatan, keilmuan, dan nama besar bisa melakukan kekerasan seksual dan menakut-nakuti serta mengancam korbannya sehingga korban tidak kuasa melawan.
Misalnya, kekerasan seksual yang dilakukan oleh guru terhadap muridnya atau seorang dosen pembimbing skripsi terhadap mahasiswa bimbingannya. Guru atau dosen ini lantas mengancam jika tidak memenuhi permintaannya, maka akan diberi nilai jelek dan tidak lulus.
Kedua, adanya victim blaming
Korban kekerasan seksual seringkali justru disalahkan dan dicibir habis-habisan ketika menceritakan pengalamannya (victim blaming)
Mereka yang speak up sering dianggap sedang bikin sensasi, cari perhatian, panjat sosial, dan mencemarkan nama baik.
Seolah-olah yang dikatakan oleh korban itu kebohongan belaka. Selain itu, orang-orang juga masih suka mewajarkan tindakan laki-laki yang melakukan kekerasan seksual pada perempuan.
Korban kerap disalahkan dan dituding berpakaian terbuka, berperilaku genit dan menggoda, suka keluyuran malam-malam, pergi atau pulang lewat jalan sepi sehingga mengundang laki-laki untuk berbuat tidak senonoh.
Kalau begini, ibarat sudah jatuh tertimpa tangga masih diinjak pula.
Ketiga, penegakan aturan atau hukum yang belum berpihak pada korban
Banyak kasus kekerasan seksual yang kemudian berakhir secara "kekeluargaan" dalam penyelesaiannya.Â
Entah pelaku hanya disuruh meminta maaf pada korban atau pelaku dan korban malah disuruh menikah untuk menutupi aib.
Di dunia pendidikan, korban kekerasan seksual yang berstatus sebagai peserta didik bisa dikeluarkan dari sekolah. Apalagi kalau korbannya hamil.
Dalam praktiknya, kasus kekerasan terhadap anak perempuan peserta didik biasanya diselesaikan dengan dasar hukum UU Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 yang merupakan perubahan atas UU Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002.
Namun, peraturan ini hanya berlaku sampai anak berumur 18 tahun sehingga peserta didik berusia 18 tahun ke atas (mahasiswa, misalnya) belum mendapat perlindungan khusus.
Belum lagi birokrasi kampus yang ruwet, seperti pada kasus Agni, membuat penanganan kasus jadi lambat dan bertele-tele.
Lagi-lagi pelaku lah yang lebih diuntungkan dengan keadaan ini.
Mewujudkan Dunia Pendidikan yang Melindungi Perempuan dari Kekerasan SeksualÂ
Baiq Nuril, Agni, dan perempuan-perempuan korban IM, menambah panjang deretan perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual di dunia pendidikan Tanah Air.
Sekolah atau kampus yang sejatinya menjadi pusat dari aktivitas keilmuan malah menjadi neraka bagi perempuan yang sedang menuntut ilmu.
Institusi pendidikan yang umumnya berisi orang-orang berpendidikan justru menodainya dengan tindakan-tindakan yang jauh dari cerminan orang berpendidikan.
Jadi, apa yang bisa kita lakukan untuk mencegah hal tersebut terulang?
Pertama, tegakkan peraturan atau kebijakan yang berpihak pada korban
Di ranah pemerintah, saya harap RUU PKS segera disahkan.
Saya tidak habis pikir mengapa RUU ini pengesahannya lama banget. Mana pakai dicabut dari daftar Prolegnas 2020 pula.
Saya juga cuma bisa mengerutkan kening ketika ada beberapa pihak yang menilai bahwa RUU PKS pro perzinahan. Parahnya lagi yang mengatakan adalah sosok berpendidikan tinggi.
Lalu, sekolah atau kampus, bisa menerapkan sanksi akademik yang lebih tegas bagi pelaku.
Seperti yang dilakukan oleh pihak kampus tempat IM pernah kuliah, misalnya, di mana mereka akhirnya mencabut gelar mahasiswa berprestasi IM.
Sanksi dapat diterapkan bertahap dan beragam. Mulai dari pengurangan nilai, skorsing hingga di-drop out (DO).
Kedua, pihak sekolah atau kampus dapat menyediakan layanan konseling dan konsultasi bagi korban untuk dapat mengadukan masalahnya
Sekolah atau kampus juga bisa memberi dukungan secara psikologis kepada korban dan mendampingi jika korban ingin membawa kasus tersebut ke jalur hukum.
Ketiga, berikan pendidikan seks sejak dini
Menurut saya inilah yang paling penting dilakukan sebagai tindakan preventif.
Pendidikan seks bukan sesuatu yang tabu. Bukan pula bermaksud mengajarkan seks bebas pada anak-anak.
Pendidikan seks sejatinya mengajarkan anak-anak untuk mengenal, menghargai, dan menjaga tubuhnya serta orang lain dari hal-hal yang tidak patut.
Anak-anak akan memahami mana bagian tubuhnya yang boleh dilihat atau disentuh dan siapa saja yang boleh melihat atau menyentuhnya. Sekaligus memahami mana yang merupakan sentuhan sayang dan mana sentuhan nakal.
Mereka akan belajar bahwa setiap tubuh berhak untuk dihormati sehingga meraba-raba tubuh orang lain without any consent itu namanya kurang ajar. Apalagi jika disertai pemaksaan.
Dengan pendidikan seks yang baik, anak-anak bahkan tahu bagaimana menolak ajakan seks bebas dan tahu risiko yang akan dihadapinya jika hal itu dilakukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H