"Tolong jangan katakan pada siapapun bahwa aku Si Penembak Cepat." Lancelot menatap Stella dengan pandangan mengemis.
    Sementara angin bertiup kencang di tempat itu. Sejauh mata memandang, di sekeliling keduanya terlihat langit biru dan kumpulan awan. Apa mereka sedang terbang? Tidak, keduanya tengah berdiri di bangunan Tower Bridge. Dibawah mereka membentang sungai Thames yang keemasan tertimpa mentari pagi. Sungguh tinggi jembatan ini, seolah mereka berdiri di awang - awang.
    "Yang kulakukan itu salah ...," Lancelot bergumam, "seharusnya aku tak pernah datang ke London. Seharusnya aku tidak terlibat perang ini."
    "Jangan menyalahkan diri anda, tuan Green," Stella berkata, "semua sudah terjadi."
    Segera setelah rahasianya bocor, Lancelot menarik Stella untuk menyelinap keluar markas. Ia tak mau pembicaraan mereka didengar teman - teman satu skuadron.
    Stella hanya menurut sambil mengelus dada. Lancelot benar - benar pilot tanpa disiplin. Minggat dari markas dianggapnya sepele. Padahal sang komandan melarang anak buahnya keluar tanpa izin.
    "Aku benci warga London tapi malah melindungi mereka. Entah bagaimana hal itu bisa terjadi. Sampai - sampai lupa pada Arabel, si gadis dalam foto." Lancelot mendesah. "Rasanya begitu tolol. Hatiku justru terseret dalam perang ini. Benar - benar tidak konsisten dengan niatku semula."
***
    Selagi Lancelot dan Stella bercakap - cakap, ada orang lain yang berdiri di jembatan itu.
    Arabel tampak memegangi topi lebarnya. Ia takut angin nakal menerbangkannya ke sungai. Mata gadis cantik itu menyipit. Melindungi diri dari debu.
    Pagi ini Arabel bangun dengan kepala pusing. Semalam ia bermimpi buruk. Kenangan perjalanan keberangkatannya ke London tiba - tiba muncul. Waktu itu u-boot yang ditumpanginya bertemu kapal perusak Inggris dan dibombardir. Bom - bom laut berledakkan. Mengerikan. Arabel tak mau mengingatnya lagi. Untung dirinya bisa selamat dan terdampar di pantai.
    Arabel cepat - cepat mencari aspirin. Setelah menelan obat itu barulah pusingnya reda. Entah kenapa perasaan itu mendadak timbul. Ia ingin pulang ke Jerman. Arabel kesepian hidup di London.
    Tapi operasi Rajawali Hitler-Goering belum selesai. Dan entah kapan selesainya.Â
    Arabel bukan penganut Nazi seperti Eduard. Ia tak terlalu peduli pada perang. Gadis itu lebih tertarik seni drama daripada politik atau militer. Bisa dikatakan Arabel berbakat besar di bidang itu. Sejak remaja ia bermimpi pergi ke Amerika dan menjadi bintang Hollywood. Industri perfilman disana begitu gemerlap dan keren. Bila tidak kesampaian, Arabel ingin menjajal Broadway. Pertunjukkan di situ pun tak kalah terkenal.
    Lalu bertemulah Arabel dengan Wilhelm Canaris. Pria yang kini menjabat kepala dinas intelijen Jerman tersebut tertarik dengan kemampuan seni perannya. Tapi Canaris menghendaki hal mengejutkan. Ia menginginkan kemampuan 'menjadi orang lain' yang dipunyai Arabel demi tujuan intelijen. Menurutnya, kemampuan macam itu dibutuhkan mata - mata untuk menyaru di tengah musuh.
    Arabel menurut saja. Apalagi Canaris berjanji memuluskan jalan Arabel ke Hollywood lewat koneksi - koneksinya. Di Amerika, pria berkepribadian luwes tersebut memang punya banyak kenalan penting.
    Arabel beruntung bertemu Canaris. Pria itu begitu baik padanya. Arabel yang baru kehilangan orang tua karena kecelakaan, seperti mendapat keajaiban. Canaris dengan senang hati menanggung biaya hidupnya. Lama - lama Arabel menganggap Canaris sebagai ayahnya sendiri.
    Namun Hitler-Nazi kemudian bertingkah agresif. Arabel pun terseret ke dalam perang. Gadis itu terpaksa melupakan impiannya di dunia akting. Syukurlah di London ini Arabel bisa kembali menekuni seni drama. Meski hanya sebagai penyamaran, Arabel cukup menikmatinya.
    Tapi kini situasi semakin gawat. Sepertinya orang Inggris makin tajam mengendus jejaknya.Â
    Arabel menatap sungai Thames di bawah. Bila mengalami situasi seperti ini, ada suatu hal yang selalu dilakukannya. Dan sekarang entah kali keberapa ia akan melakukannya lagi.Â
***
    Lancelot bersandar pada pembatas jembatan. Matanya menerawang tanpa arti.
    Stella tergugah. Ia memberanikan diri mengutarakan pendapat. "Tuan Green. Apa anda tidak menyadarinya?"
    "Menyadari apa?" Lancelot menoleh.
    "Hati kecil anda," sahut Stella, "lama - lama tak bisa disembunyikan. Sesungguhnya anda lebih ingin melindungi London daripada mengejar seorang gadis. Ternyata penilaian saya tidak keliru. Anda tak seburuk yang dianggap orang." Stella berkata dengan gembira.
    Lancelot menatap Stella dengan tajam. Stella jadi gemetar. Wajah Lancelot lalu mendekat padanya. Begitu dekat. Stella dapat merasakan hembusan napas pria itu.
    "Tidak" Ucap Lancelot sambil membuang muka. "Hal itu tak boleh terjadi. Musuh tetaplah musuh. Aku tak akan melupakan pengusiran keluarga kami dari London!"
    Mulut Stella terkunci. Ia memang bukan gadis pemberani yang bisa berdebat. Meski begitu dicobanya juga untuk berkata - kata.
    "Tapi ... tapi sepertinya tidak begitu." Stella membantah. "Saya tidak tahu masalah anda dengan kota ini. Tapi anda harus berpikir jernih. Jangan terjebak rasa dendam."
    Arabel tak mendengar pembicaraan tersebut. Ia berdiri terlalu jauh. Gadis itu bahkan tak menyadari kehadiran Lancelot dan Stella.
    Arabel terus sibuk dengan pikirannya sendiri. Dikeluarkannya selembar kertas kemudian mulai menulis.
    Pundak Lancelot merebah. Emosinya memang tak stabil. Kadang naik ke ubun - ubun, tapi secepat kilat cepat padam. Stella kemudian meletakkan tasnya jauh - jauh.
    "Lihat ...," ujarnya, "mulai sekarang tak ada wawancara lagi. Saya bicara dengan anda sebagai sahabat. Tak perlu takut untuk bercerita."
    Suasana sejenak sunyi. Kemudian terdengarlah suara Lancelot.
    "Ayahku adalah Jonathan Green, dulu bekerja sebagai birokrat di London. Kau pernah mendengar nama itu?" Lancelot bertanya.
    Stella menggeleng. "Saya dulu tinggal di Manchester. Pindah ke London baru - baru ini."
    Lancelot mengangguk. Lalu dengan suara pelan diceritakannya kisah itu. Ketika ayahnya difitnah dan keluarganya diusir dari London. Stella mendengarkan dengan seksama.
    "Setelah pengusiran itu ayahku depresi dan sakit - sakitan. Tak lama kemudian beliau meninggal. Sejak itu keluarga kami tak terurus."
    "Saya ikut berduka." Sahut Stella.
    "Nah, kau sudah mendengar kisahku. Sekarang bagaimana menurutmu?" Lancelot bertanya. "Dengan penderitaan seperti itu, masih bisakah hatiku baik pada orang London? Seperti kaubilang tadi? Apa hati kecilku diam - diam ingin melindungi mereka?"
    Stella mengangguk. Ia lalu menjawab dengan yakin.
    "Mungkin awalnya memang anda enggan membantu London. Itu karena mereka telah berbuat buruk. Namun jati diri anda ternyata tak bisa menipu. Anda sebenarnya orang baik. Hati kecil anda samar - samar berniat melindungi kota ini."
    Lancelot tampak merenung. Ia memikirkan kata - kata Stella. Apa benar seperti itu?
    "Tak apa, tuan Green." Stella berkata, "terimalah apa adanya. Jangan biarkan dendam menghalangi perbuatan baik."
    Lancelot terdiam. Mereka berdua lalu membisu. Saat itulah sudut mata Lancelot menangkap kehadiran Arabel. Lancelot seketika menegakkan tubuhnya.
    Stella melihat perubahan pada diri Lancelot. Gadis itu ikut menoleh. Mereka melihat Arabel membuang sesuatu ke sungai Thames.
    Lancelot mengerutkan alis. Gadis cantik itu? Buang sampah sembarangan di sungai? What the he ...
    Arabel lalu melangkah. Menuju ke tempat Lancelot dan Stella. Sambil berjalan, terpancarlah segala pesonanya yang memabukkan.
    Stella memandang takjub. Dalam penglihatannya, gadis bertopi lebar dan bergaun putih itu begitu cantik. Bahkan lebih cantik dari Katharine Hepburn.
    Mulut Lancelot terkunci. Ingin berkata sesuatu namun tak bisa.
    Beradu pandang tak sengaja, Arabel pun mengangguk ramah. Lancelot membalas dengan anggukan pula. Menatap lekat - lekat mata Arabel. Mengharap sesuatu yang lebih. Tapi Arabel hanya menaikkan sedikit alisnya. Membuat wajahnya yang sudah cantik terlihat makin menawan. Itu saja. Kedua mata Arabel sendiri menunjukkan ketidakpahaman.
    Tiba - tiba perasaan tak enak menyusup di hati Lancelot.
    Arabel pun berlalu. Lancelot menatap dengan sayu dari belakang. Meski samar ia mengerti apa yang terjadi. Gadis itu sudah lupa. Arabel tak mengenali Lancelot lagi. Padahal mereka pernah bertemu. Sungguh sedih.
    Lancelot dan Stella menatap punggung Arabel. Tubuhnya makin menjauh. Seperti lazimnya gadis cantik dimanapun, ia tak tersentuh. Angkuh.
    Di bawah jembatan sebuah botol terapung - apung di sungai. Perlu keahlian melemparkannya dari ketinggian hingga tak pecah. Di dalamnya terlipat surat yang barusan ditulis Arabel.
    Arabel paham sungai Thames tersambung ke samudera Atlantik dan tentu saja juga .... Jerman. Kenyataan geografis yang menggodanya untuk berharap sesuatu. Berharap surat yang dihanyutkannya akan sampai ke tanah air.
    Romansa kekanak - kanakan yang mengharukan.
    Zu Antony Weber. Ich vermisse dich ...
Bersambung
(Kisah ini ditayangkan tiap senin - rabu)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H