Eduard mengangkat bahu. Ia lalu menegakkan kursi Stella, "maaf, tapi apalagi yang bisa kuperbuat? Aku harus bertindak keras supaya dia cepat mengaku. Kalau benar dia anggota MI5, keadaan sungguh mendesak."
    Arabel lalu menarik Eduard keluar kamar.
***
    Lamat - lamat Stella mendengar mereka berbicara.
    "Kita harus meninggalkan London," terdengar suara Arabel dari luar, "tak perlu lagi menginterogasi gadis itu. Kurasa MI5 sudah tahu jati diri kita."
    "Tapi Berlin melarang kita mundur. Harus ada izin dari Fuehrer dulu," Eduard menyela, "dan kau tahu sendiri tidak mudah memperoleh izin seperti itu."
    "Fuehrer lagi, Fuehrer lagi ...," Arabel berjalan mondar - mandir dengan gelisah, "kenapa semua keputusan harus melalui Fuehrer. Tak bisakah sedikit fleksibel?"
    Stella mendengar pembicaraan itu, namun tak paham. Ia tak lulus mata pelajaran bahasa Jerman.
    "Baiklah kalau begitu." Arabel mengepalkan telapak tangan. "Akan kuhubungi 'papa'. Biar 'papa' yang membujuk Fuehrer!"
Bersambung
(Kisah ini ditayangkan tiap senin - rabu)