Mohon tunggu...
LumbaLumba
LumbaLumba Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis

Mencoba berbagi kisah

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Gadis Tercantik di London (Perang Eropa)-24

9 April 2014   13:16 Diperbarui: 19 Februari 2016   01:49 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

        Anggota Polisi Rahasia Jerman itu mendekati Stella. Ia menggulung lengan kemejanya. Memperlihatkan tangan kekarnya yang siap memukul.

-------------------------             --------------------------

        Stella menatap sebuah mobil Peugeot yang terparkir.

        Tampak dua orang lelaki duduk bersantai di jok depan. Keduanya memakai topi Fedora serta jubah hitam. Mereka kelihatan aneh.

        Lelaki di belakang setir tampak asik merokok di dekat jendela. Sementara lelaki di sampingnya sedang membolak - balik halaman koran. Stella merasa curiga dengan keduanya. Meski mereka tampak tengah bersantai, namun entah kenapa rasanya janggal. Seolah kedua orang itu sedang menunggu sesuatu. Lebih - lebih Stella seperti pernah melihat mereka.

        Jangan - jangan dua pria itu adalah perampok yang menguntit korbannya.

        Stella lalu berputar ke belakang mobil Peugeot. Ia pun mengendap - endap. Bersembunyi sambil terus mengamati.

        Tak lama, sebuah mobil Lagonda Rapide datang dan berhenti dekat Peugeot. Penumpangnya, yaitu seorang pria berbadan tinggi- kurus, segera turun. Stella terkejut. Pria itu Lord Cavanaugh. Stella masih ingat wajah dan perawakannya.

        Pria di belakang setir Peugeot segera keluar, mematikan rokok, lalu membukakan pintu mobil untuk Cavanaugh. Sementara pria pembaca koran dalam Peugeot masih tenang - tenang saja. Ia berlagak seolah tak ada hal penting yang terjadi.

        Cavanaugh lalu masuk ke dalam Peugeot. Terjadi perbincangan serius di dalam mobil tersebut.

        "Keputusan yang tepat, tuan Cavanaugh." Pria yang tadi membaca koran, mengangguk, "London sudah hancur. Lebih baik bekerjasama dengan Jerman. Baiklah, mari kita bicara bisnis."

        Perbincangan itu berjalan singkat. Hanya berlangsung kira - kira 15 menit, setelah itu bubar.

        Cavanaugh kembali ke mobilnya dan pergi. Stella bernapas lega. Ternyata tidak terjadi hal buruk. Mungkin orang - orang dalam Peugeot adalah rekan bisnis Cavanaugh.

        Stella lalu keluar dan melangkah pergi. Namun baru sebentar berjalan, punggungnya serasa dipepet dari belakang. Stella tak berani menoleh. Keringat dinginnya menetes. Perasaannya mengatakan hal gawat sedang terjadi.

        "Ikut ke mobil kami, nona." Terdengar bisikan dari belakang Stella. Rupanya yang berbisik adalah pria yang tadi merokok dalam Peugeot. Langkah Stella terhenti. Tekanan logam yang kuat terasa di punggungnya. Pistol?

        Stella terpaksa menurut.

        Blam! Pintu Peugeot ditutup begitu gadis tersebut masuk. Mobil itu pun langsung tancap gas. Stella meringkuk ketakutan. Nyata bahwa ia baru saja diculik.

        Pria yang tadi membaca koran kini duduk di samping Stella. Ia lalu melepas topi Fedora-nya. Sejuntai rambut panjang pun tergerai. Stella tidak menyangka sama - sekali. Ternyata pria itu seorang perempuan!

        "Maaf, nona agen MI5. Demi menjaga kerahasiaan, kau harus tidur sebentar," perempuan yang ternyata adalah Arabel itu berkata cepat.

        MI5? Semua terasa membingungkan bagi Stella. Namun tak ada waktu berpikir untuknya. Arabel segera membekapnya dengan saputangan. Aroma memualkan obat bius merasuki napas Stella.

        Stella berusaha memberi perlawanan. Namun tubuhnya yang ringkih mudah sekali ditelan obat bius. Hanya tiga detik berlalu  dan kedua tangannya sudah terkulai.

        Gadis malang itu ambruk ke pangkuan Arabel.

***

        Lancelot melipat surat kabar Daily Herald.

        Angin dingin padang rumput Derbyshire berhembus lembut. Beberapa keranjang berisi apel yang baru dipetik, tergeletak di dekatnya.

        Lancelot tahu London diobrak - abrik Jerman. Ia baru saja membaca beritanya.

        Akhirnya tragedi itu datang juga. Lancelot tidak yakin Inggris dapat bertahan lebih lama. Para pilotnya banyak yang sudah gugur. Semua teman di skuadron 614 tentu juga sedang kepayahan. Bagaimana kabar mereka?

        Ada perasaan bersalah menyusup di hati Lancelot. Ia telah kabur begitu saja dari London. Tapi, tidak. Lancelot menggeleng. London bukan tempat yang cocok baginya. Penduduk kota itu tidak menyukainya. Lancelot juga tidak menyukai mereka. Jadi tak pantas dirinya menjadi pahlawan bagi London.

        Tapi bagaimana nasib mereka? Orang - orang yang dekat dengannya?

        Stella? Gadis polos itu jangan - jangan tertimpa bom. Jake, kawan dekatnya di skuadron, apakah baik - baik saja? Lalu bagaimana dengan Letkol Stewart? Pria gaek itu tak bosan - bosan selalu menasehati dirinya. Mampukah Stewart menghadapi para pilot Jerman?

        Lancelot menundukkan kepala.

        Sudah lama sekali ia berkubang dalam perasaan ini. Sebuah perasaan aneh yang sulit dimengerti. Orang - orang mengatakan dirinya frustrasi. Perasaan itu kentara sekali saat ia harus bergabung dengan RAF dan melindungi London. Berat rasanya melindungi penduduk kota yang 22 tahun silam telah menyengsarakan keluarganya.

        Namun rasanya juga kejam bila tidak melindungi mereka.

        Lancelot memang menyukai Arabel. Tapi semakin lama dirasakan, bukan dia satu - satunya alasan Lancelot datang ke London. Makin kentara bahwa dirinya lebih ingin bertempur demi melindungi semua orang. Lalu kenapa jadi begini? Kenapa ia jadi mencintai penduduk London yang jelas adalah musuhnya?

        Lancelot memegangi kepalanya yang pening. Dadanya terasa sesak.

        Sudahlah. Ia tidak peduli lagi.

        Lancelot lalu bangkit dari duduknya. Yang mana alasannya bukan masalah. Yang jelas sudah banyak orang celaka karena pemboman Nazi. Dan masih banyak lagi yang perlu dilindungi.

        Lancelot ingin menolong mereka. Hati kecilnya tidak tega membiarkan.

        Laki - laki itu pun masuk ke dalam rumah. Menyambar dompet serta jaketnya lalu berlari keluar. Dengan napas memburu Lancelot segera menaiki sepeda, memacunya menuju halte bus terdekat.

        "Stella, Jake, pak Stewart, semuanya ... aku datang!"

***

        Byur! Rasa dingin air menjalar di tubuh Stella.

        Stella membuka mata lalu menggeliat. Namun tak sejengkal pun anggota tubuhnya bisa bergerak. Beberapa saat kemudian barulah Stella sadar dirinya terikat pada sebuah kursi.

        "Kau sudah sadar, nona?" Eduard berdiri di depannya sambil meletakkan ember, "kini kita harus bicara. Siapa yang memerintahkanmu menguntit kami? MI5?"

        Stella tidak paham sama - sekali. Sekali lagi MI5 disebut - sebut. Apa yang sebenarnya terjadi? 

        "Tuan bicara apa? Aku bukan anggota MI5." Stella menjawab dengan suara serak. "Namaku Stella Watson, bekerja di Daily Herald."

        Buak! Sebuah pukulan Eduard mendarat di tubuh Stella. Membuat detak jantung gadis itu terguncang. Rasanya sungguh sakit. Namun Stella menguatkan diri untuk tidak menangis.

        "Selalu saja seperti ini ...," Eduard mendesis jengkel, "berlagak pilon dan berbelit - belit. Kenapa interogasi selalu menyusahkan. Lebih baik kau mengaku saja, nona Watson ... atau siapapun namamu."

        Sebelumnya Arabel telah menggeledah Stella. Beberapa barang yang ditemukan memang menunjukkan bahwa Stella bekerja untuk Daily Herald. Namun Arabel dan Eduard tetap tak percaya. Sikap paranoid mereka tak bisa dibendung. Keduanya yakin Stella sedang menyamar. 

        Kini Eduard menggulung lengan kemejanya, memperlihatkan tangannya yang kekar dan berbulu. Pria berwajah seram itu lalu mendekati Stella dan berbisik.

        "Asal kau tahu, aku anggota Gestapo. Aku tak pernah mengecewakan dalam 'melayani' tawanan bandel sepertimu." Eduard lalu berdiri tegak. "Kutanya sekali lagi. Siapa yang mengirim dirimu?"

        Stella menggeleng, "aku hanya ingin tahu dan kebetulan lewat. Aku tidak ... "

        Buak! Tinju Eduard kembali melesat. Kali ini mendarat di perut Stella. Gadis kelahiran Manchester itu jatuh terguling. Kursinya ambruk dan tubuhnya membentur lantai.

        Stella muntah tak tertahan lagi. Bau sisa obat bius masih terasa kental dalam napasnya. Perutnya nyeri bukan main. Namun sekali lagi ia berhasil menguatkan diri untuk tidak menangis.

        "Eduard! Apa yang kau lakukan? Dia bisa mati kau pukuli!," mendadak Arabel masuk ke dalam kamar.

        Eduard mengangkat bahu. Ia lalu menegakkan kursi Stella, "maaf, tapi apalagi yang bisa kuperbuat? Aku harus bertindak keras supaya dia cepat mengaku. Kalau benar dia anggota MI5, keadaan sungguh mendesak."

        Arabel lalu menarik Eduard keluar kamar.

***

        Lamat - lamat Stella mendengar mereka berbicara.

        "Kita harus meninggalkan London," terdengar suara Arabel dari luar, "tak perlu lagi menginterogasi gadis itu. Kurasa MI5 sudah tahu jati diri kita."

        "Tapi Berlin melarang kita mundur. Harus ada izin dari Fuehrer dulu," Eduard menyela, "dan kau tahu sendiri tidak mudah memperoleh izin seperti itu."

        "Fuehrer lagi, Fuehrer lagi ...," Arabel berjalan mondar - mandir dengan gelisah, "kenapa semua keputusan harus melalui Fuehrer. Tak bisakah sedikit fleksibel?"

        Stella mendengar pembicaraan itu, namun tak paham. Ia tak lulus mata pelajaran bahasa Jerman.

        "Baiklah kalau begitu." Arabel mengepalkan telapak tangan. "Akan kuhubungi 'papa'. Biar 'papa' yang membujuk Fuehrer!"

Bersambung

(Kisah ini ditayangkan tiap senin - rabu)

Di balik cerita :

Gestapo adalah Kesatuan Polisi Rahasia Jerman dalam Perang Dunia II.

Tindak - tanduk Gestapo dalam menginterogasi terbilang brutal. Hampir sama dengan perbuatan Kenpeitai pada masa pendudukan Jepang di Indonesia.

Karena itu terbayang betapa takutnya Stella saat Eduard menginterogasinya.

Cerbung ini mulai memasuki babak klimaks. Nasib Lancelot, Stella, dan Arabel akan segera ditentukan, lalu cerbung ini pun tamat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun