Mohon tunggu...
Luluk Marifa
Luluk Marifa Mohon Tunggu... Penulis - Read, read and read. than write, write and write.

Menulislah, hingga kau lupa caranya menyerah dan pasrah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Masih tentang Orang yang Sama

4 Juli 2024   20:25 Diperbarui: 28 Juli 2024   15:12 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi buku. (Freepik/rawpixel)

"Kakek suka baca buku beliau ya?" tanyaku ketika menemukan beberapa tumpuk buku dengan nama penulis yang sama yang sedang kakek packing kedalam satu kardus besar. 

Sudah lama kuketahui bahwa Kakek suka membaca, terbukti dari banyaknya buku koleksinya di rumah tua ini, dari mulai buku-buku agama, motivasi, puisi dan banyak sekali novel. 

Mungkin saja kegemaranku membaca menurun dari dirinya, saat kutau Ayah dan Ibu sama sekali tak mempunyai koleksi satu bukupun di rumah. 

Selain tumpukan kertas-kertas dengan data, grafik dan entah apa aku tak faham, jangankan untuk mengetahui apa isi kertas-kertas itu mendekatinya pun aku tak berani, atau jika saja tanganku yang suci ini tak sengaja merusaknya maka aku akan menerima konsekuensi uang jatah bulananku untuk jajan dan beli buku akan dipotong dengan kejam.

"Sudah semua Yah?"

Ayahku muncul dari balik pintu yang terbuka bertanya memastikan jika kakek sudah selesai mengemas barangnya untuk segera dipindahkan keatas pick up dan diangkut ke kota. 

Sudah lama sekali ayah membujuk agar kakek mau tinggal di kota bersamanya, Agar kekhawatiran itu tak terus mengusik tenangnya saat orang tua yang sudah berusia senja itu tinggal jauh dari jangkauan dan seorang diri mengurus segala perlu. 

Ketika kesanggupan meninggalkan rumah tua itu keluar dari lisannya, Ayah reflek memeluk Ibu yang sudah lelah untuk membujuk dengan segala macam cara, binar bahagia itu begitu kentara menghiasi wajah teduh kedua orang yang berniat bakti pada orang tua yang masih tersisa.

Sampai di rumah, ibu memerintahkanku untuk membantu Kakek menata barang-barangnya di kamar yang telah disediakan khusus. Di sudut kanan dua rak buku tersusun berderet, tempat untuk meletakkan buku-buku koleksi kakek, satu lemari pakaian di dekat pintu masuk, dan satu nakas di dekat tempat tidur untuk kuletakkan beberapa foto keluarga dan menyisakan ruang kosong untuk meletakkan piring buah dan gelas minum di hari-hari berikutnya.

"Apa yang kakek suka dari penulis ini?" kuperhatikan dengan seksama buku yang tengah kupegang, membaca sebentar sinopsis yang ada di cover belakang, mengangguk perlahan, sepertinya menarik. 

"Raniara," aku mengulang membaca nama penulisnya yang tertera di setiap cover depan buku-buku itu, mengalihkan pandang pada kakek yang tengah duduk di tepi ranjang yang sedari tadi melihatku berberes, istirahat rasanya cukup adil untuknya yang lelah melakukan perjalanan jauh.

"Bacalah salah satunya, nanti kamu akan tau kenapa kakek sangat menyukai karya-karyanya."

Aku mengangguk menyanggupi, tapi nanti dulu setelah kuselesaikan membaca novel terbaru Tereliye yang berjudul 'Janji', hadiah dari Tante Nadia yang baik hati dan tidak sombong, adik Ibu satu itu, semoga segera menemukan jodohnya, kasian sekali setiap ada perkumpulan keluarga besar dari pihak Ibu, dirinya selalu diejek jomblo.

***

Balkon lantai dua ini menjadi tempat favoritku untuk menghabiskan sepotong senja yang menjingga di ujung cakrawala dengan novel di hadapan aku khusyuk membaca kelanjutan kisah Bahar, seorang yang dicap nakal sebagai pemabuk dan tukang marah yang pernah meledakkan pesantren tempatnya menuntut ilmu dengan peledak yang dirakitnya sendiri hingga menewaskan salah satu santri peyandang disabilitas. Merasa tak sanggup mendidiknya Kiyai mengeluarkan Bahar dari pesantren.

Tiga kali sang Kiyai bermimpi seolah dia berada di padang pasir yang panas ketika semua orang terlihat kepayahan dan kepanasan begitu juga dengan sang Kiyai. 

Pada saat seperti itu, berhentilah pedati terbang yang amat mewah dengan berhiaskan sesuatu yang kemilau dan menyejukkan mata, dan amat terkejutlah Kiyai ketika mengetahui bahwa Bahar yang ada di dalam pedati mewah tersebut, menyebut takzim namanya dan memintanya untuk turut menaiki pedati mewah itu agar tak lagi dalam kungkungan hawa panas yang amat mencekik.

Ketika terbangun sontak Kiyai panas dingin, badannya gemetar, pertanda apakah ini, santri yang di usirnya karena ulahnya yang tak dapat ditoleransi lagi hadir dalam mimpinya dengan sebuah pedati mewah yang menolongnya dari tengah padang pasir panas, ada apa dengan Bahar?

"Cucu kakek serius sekali bacanya." Kakek berucap mengusap pucuk kepalaku lantas mengambil tempat duduk di seberang meja, meletakkan satu buku yang semula ditangannya ke atas meja. Sekilas aku meliriknya, itu buku kumpulan puisi, masih nama 'Raniara' yang tertera sebagai penulisnya.

"Begitulah Yah, Aira kalau sudah baca novel Tereliye bisa lupa segalanya." Ibu turut menyahuti perkataan kakek tanpa menoleh, tangannya masih fokus dengan bonsai-bonsai kesukaannya, entah, mungkin ibu mencari uler keket disana.

"Sama kaya' Ayah lah, kalau udah baca buku yang penulisnya Rani, Rara lah siapa itu namanya, juga bisa lupa segalanya. Kakek sama cucu sama saja." Kali ini suara berat Ayah yang ikut nimbrung dari dalam, baru saja sampai rumah sudah maen serobot topik aja.

Kali ini kakek tertawa, membenarkan perkataan Ayah maupun Ibu, aku hanya melenguh pelan. Kesal karna suasana yang tadinya hening berubah jadi ramai, aku tak dapat fokus membaca, tolonglah.

"Raaa."

"Airaaa, Aira mana kak?"

Ayah menunjukku dengan kode dari gerak matanya, yang segera disusul kehadiran Tante Nadia yang menambah riuh suasana, dia membawa satu kabar yang membuat bibirku tadinya mengerucut sebal karena aktivitas membaca novelku terganggu menjadi tersenyum lebar. Bagus, tak sia-sia Tante cantik ini jomblo, eh apa hubungannya dengan jomblo, aku menepuk jidat pelan, apasih aku.

***

Aku dengan semangat mematut diriku di cermin yang dengan baik hati menampilkan pantulan diri yang amat terlihat sempurna dengan rambut diurai dengan sedikit kepangan di kedua sisi yang disatukan di belakang lantas diberi pita berwarna senada dengan gaun yang kukenakan, pink. Ibu memang penyedia salon dengan servis terbaik dengan tatanan model rambut terupdate yang lahir dari jemarinya yang lentik. 

Tak lama Tante Nadia membunyikan klakson mobil yang menyusup sayup-sayup ditelinga, aku segera berlari menuruni anak tangga berpamitan dengan setengah berteriak pada Ayah dan Kakek yang berada di ruang tengah, tentunya setelah berpamitan takzim dengan ibu di dalam kamar, kuharap Ayah memaklumi kelakuan remaja putrinya yang cantik, meski sedikit labil.

Jakarta Convention Center terlihat amat ramai, acara Indonesia Internasional Book Fair (IIBF) yang merupakan pameran buku yang sudah diselenggarakan sejak tahun 1980 oleh IKAPI ini dihadiri oleh 24 penulis Indonesia termasuk Tereliye, sebagaimana yang dikabarkan dengan antusias oleh Tante Nadia Kemaren. 

Sebenarnya ini bukan kali pertamanya aku akan bertemu dengan Tereliye, namun rasa antusias itu tak pernah berkurang barang semilipun untuk bertemu dengannya, menatapnya dan dapat berbincang sepatah dua patah kata dengannya dari dekat seolah aku sedang berhadapan langsung pada setiap tokoh utama yang ada di novelnya, yang hebat-hebat. Sebenarnya setiap tokoh utama dimanapun juga hebat sih, pokoknya ini beda titik.

Seperti Kak Rey tokoh utama yang amat setia, hidup sekali jatuh cinta pun sekali di novel Rembulan Tenggelam di Wajahmu, atau seperti Tegar Karang yang dapat mewujudkan sahabat jadi cintanya di novel Sunset untuk Rosie, Abang Borno pemuda dengan hati paling lurus di sepanjang Sungai Kapuas, Bujang si Babi Hutan dan Thomas, dua bad boy dari keluarga shadow economi yang jago sekali berkelahi dengan segala trik, atau Soke Bahtera dan Ali yang super genius, Kak Laisa dan Ibu Sri ningsih yang begitu tangguh menginspirasi dalam kisahnya dan masih banyak lagi, sungguh aku amat kagum pada para tokoh setiap novelnya, apalagi penulisnya.

Dalam event itu para penulis akan berbagi pengalaman serta praktik nyata dunia keliterasian seperti bedah buku, kepenulisan, pengembangan diri, budaya, sastra, karir dan masih banyak lagi termasuk diskon besar-besaran untuk pembelian produk buku dilokasi acara dan juga promo ekslusif di Gramedia Official Shop, bukankah amat menarik acara ini, Tante Nadia emang ter the best diseluruh galaksi Bima Sakti.

Dalam daftar nama 24 Penulis yang mengikuti cara itu ada satu nama yang amat menguras segala perhatianku melebihi perhatianku pada penulis idolaku sendiri, nama itu ada disana, itu berarti penulis itu turut hadir. 

Aku meminta Tante Nadia untuk mengantarku keacara penulis itu. Lama kami mencari, menyibak kerumunan orang yang hadir, mencari di mana tempat terselenggaranya acara khusus penulis dengan kode R itu. 

Tante Nadia turut berinisiatif bertanya kepada salah seorang panitia yang diketahuinya dari seragam dan ID card yang di gunakannya. Seseorang dengan penampilan setelan jas rapi itu menujukkan kami tempatnya.

Segera aku menarik tangan wanita berparas cantik itu mengikuti langkahku. Ruangan itu telah ramai, amat ramai. Pengunjung lebih didominasi usia dewasa dengan kisaran tiga puluhan keatas. Aku dan Tante Nadia menunggu hingga giliran kami tiba ketika pengunjung mulai beranjak pergi satu demi satu. 

Aku menyodorkan buku yang sempat kubeli sebelumnya, buku karya penulis Raniara. Aku tak pedulikan apa judulnya yang terpenting adalah karya tulisannya untuk meminta tanda tangan dibuku yang baru saja aku beli, hadiah untuk kakek. Pasti beliau akan senang sekali dan akan berniat memberikan separuh warisannya pada cucu tercantiknya ini, eh, kok ke warisan.

"Jarang sekali ada remaja yang menghadiri acara Eyang, namanya siapa cantik? Sepertinya kamu satu-satunya penggemar Eyang yang berusia remaja."

Aku tersenyum kikuk sebenarnya aku bukan penggemarnya, aku penggemar Tereliye, tapi demi sopan santun yang telah diajarkan Ibu dan juga Om Tereliye dalam novel-novelnya aku mengangguk saja mengiyakan. 

Aku mengatakan jika buku dengan tanda tangannya itu akan kuberikan pada Kakek, seketika matanya membelakak ketika aku memberitahu nama kakek, matanya seketika berkaca-kaca turut menggores tanda tangannya yang sedikit rumit di halaman kedua buku yang telah terbuka itu dengan tangan sedikit gemetar.

"Apa kabar lelaki tua itu, sehatkah? Apa dia masih suka membaca?"

Aku mengangguk untuk dua pertanyaannya yang menyerangku bertubi-tubi. Turut memeperhatikannya yang menuliskan sebuah kalimat di bawah tanda tangan miliknya. 

Aku mencoba membaca namun kemampuan membacaku dari atas dengan posisi terbalik rasanya belum mumpuni hingga aku menyerah, nanti saja kubaca, aku punya banyak waktu untuk membaca kalimat itu. Itu pasti untuk kakek, atau jangan-jangan beliau dulu adalah mantan calon nenekku yang tidak jadi, eh, mikir apa aku.

***

Aku antusias berteriak mencari Kakek saat belum sempurna kakiku menyapa bumi, hingga akhirnya aku terhuyung, terjerembab hingga gaun pinkku kotor, sial.

"Apa ini?"

Aku mengedikkan bahu ketika Kakek bertanya, bukankah dia sudah tau jika itu sebuah buku, pun disitu tertulis besar-besar nama Raniara, mantannya, upps.

Mata Kakek berkaca-kaca membuka cover depan, itu buku kumpulan puisi yang ditulis Eyang Rani-begitulah para penggemar menyebutnya. Kakek mengusap tanda tangan itu, pun dengan tulisan di bawahnya, Kakek membacanya dengan suara pelan.

"Jika kau bertanya, masihkah sama tokoh utamanya? Maka akan ku jawab masih."

Kali ini kakek tersedu dalam tangisnya setelah membaca kalimat yang ditulis penulis buku itu. Aku memandang Tante Nadia yang baru tiba diruangan itu, matanya melotot, 'kamu apakan Kakek sampe nangis gitu?' begitulah maksud tatapan mata tajamnya. Aku mengedikkan bahu, mungkin teringat penulis itu, sang mantan.

"Beruntung sekali tokoh utama dalam setiap cerita dan puisimu, terima kasih telah mengajarkanku kesetiaan itu, terima kasih telah mengembalikanku kepada cinta sejatiku. Aku juga merasa beruntung, Dewi, terimakasih banyak, telah tulus mencintaiku. Tunggu aku, aku pun menyayangimu setulusnya."

Aku menyerngitkan dahi, loh-loh yang disebut kok nama Nenek-Dewi, bukan Raniara gitu, jadi bagaimana ini maksud nya? Apa yang dimaksud tokoh utama itu masih sama bukan merujuk pada Kakek?

"Rani sahabat baikku mari menunggu saat-saat terbaik menemui cinta masing-masing di surga-Nya," tangannya kembali mengelus buku itu seolah kakek baru saja menemui seseorang yang amat ia kasihi di duni anyata. 

"Bisa temukan kakek dengan beliau Ra, dia sahabat baik Kakek sedari kecil. Dia wanita tangguh yang memiliki cinta tulus untuk satu orang yang diabadikan dalam setiap tokoh pada tulisannya, dia yang telah kembali kepangkuan Tuhan puluhan tahun lalu?"

Aku menggaruk kepalaku yang tiba-tiba gatal, ternyata aku salah sangka.

Lantas terdiam dalam fikir. Ah, sial, aku melewatkan kesempatan untuk bertemu Tereliye, Tante Nadia harus tanggung jawab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun