Dalam daftar nama 24 Penulis yang mengikuti cara itu ada satu nama yang amat menguras segala perhatianku melebihi perhatianku pada penulis idolaku sendiri, nama itu ada disana, itu berarti penulis itu turut hadir.Â
Aku meminta Tante Nadia untuk mengantarku keacara penulis itu. Lama kami mencari, menyibak kerumunan orang yang hadir, mencari di mana tempat terselenggaranya acara khusus penulis dengan kode R itu.Â
Tante Nadia turut berinisiatif bertanya kepada salah seorang panitia yang diketahuinya dari seragam dan ID card yang di gunakannya. Seseorang dengan penampilan setelan jas rapi itu menujukkan kami tempatnya.
Segera aku menarik tangan wanita berparas cantik itu mengikuti langkahku. Ruangan itu telah ramai, amat ramai. Pengunjung lebih didominasi usia dewasa dengan kisaran tiga puluhan keatas. Aku dan Tante Nadia menunggu hingga giliran kami tiba ketika pengunjung mulai beranjak pergi satu demi satu.Â
Aku menyodorkan buku yang sempat kubeli sebelumnya, buku karya penulis Raniara. Aku tak pedulikan apa judulnya yang terpenting adalah karya tulisannya untuk meminta tanda tangan dibuku yang baru saja aku beli, hadiah untuk kakek. Pasti beliau akan senang sekali dan akan berniat memberikan separuh warisannya pada cucu tercantiknya ini, eh, kok ke warisan.
"Jarang sekali ada remaja yang menghadiri acara Eyang, namanya siapa cantik? Sepertinya kamu satu-satunya penggemar Eyang yang berusia remaja."
Aku tersenyum kikuk sebenarnya aku bukan penggemarnya, aku penggemar Tereliye, tapi demi sopan santun yang telah diajarkan Ibu dan juga Om Tereliye dalam novel-novelnya aku mengangguk saja mengiyakan.Â
Aku mengatakan jika buku dengan tanda tangannya itu akan kuberikan pada Kakek, seketika matanya membelakak ketika aku memberitahu nama kakek, matanya seketika berkaca-kaca turut menggores tanda tangannya yang sedikit rumit di halaman kedua buku yang telah terbuka itu dengan tangan sedikit gemetar.
"Apa kabar lelaki tua itu, sehatkah? Apa dia masih suka membaca?"
Aku mengangguk untuk dua pertanyaannya yang menyerangku bertubi-tubi. Turut memeperhatikannya yang menuliskan sebuah kalimat di bawah tanda tangan miliknya.Â
Aku mencoba membaca namun kemampuan membacaku dari atas dengan posisi terbalik rasanya belum mumpuni hingga aku menyerah, nanti saja kubaca, aku punya banyak waktu untuk membaca kalimat itu. Itu pasti untuk kakek, atau jangan-jangan beliau dulu adalah mantan calon nenekku yang tidak jadi, eh, mikir apa aku.