***
Aku antusias berteriak mencari Kakek saat belum sempurna kakiku menyapa bumi, hingga akhirnya aku terhuyung, terjerembab hingga gaun pinkku kotor, sial.
"Apa ini?"
Aku mengedikkan bahu ketika Kakek bertanya, bukankah dia sudah tau jika itu sebuah buku, pun disitu tertulis besar-besar nama Raniara, mantannya, upps.
Mata Kakek berkaca-kaca membuka cover depan, itu buku kumpulan puisi yang ditulis Eyang Rani-begitulah para penggemar menyebutnya. Kakek mengusap tanda tangan itu, pun dengan tulisan di bawahnya, Kakek membacanya dengan suara pelan.
"Jika kau bertanya, masihkah sama tokoh utamanya? Maka akan ku jawab masih."
Kali ini kakek tersedu dalam tangisnya setelah membaca kalimat yang ditulis penulis buku itu. Aku memandang Tante Nadia yang baru tiba diruangan itu, matanya melotot, 'kamu apakan Kakek sampe nangis gitu?' begitulah maksud tatapan mata tajamnya. Aku mengedikkan bahu, mungkin teringat penulis itu, sang mantan.
"Beruntung sekali tokoh utama dalam setiap cerita dan puisimu, terima kasih telah mengajarkanku kesetiaan itu, terima kasih telah mengembalikanku kepada cinta sejatiku. Aku juga merasa beruntung, Dewi, terimakasih banyak, telah tulus mencintaiku. Tunggu aku, aku pun menyayangimu setulusnya."
Aku menyerngitkan dahi, loh-loh yang disebut kok nama Nenek-Dewi, bukan Raniara gitu, jadi bagaimana ini maksud nya? Apa yang dimaksud tokoh utama itu masih sama bukan merujuk pada Kakek?
"Rani sahabat baikku mari menunggu saat-saat terbaik menemui cinta masing-masing di surga-Nya," tangannya kembali mengelus buku itu seolah kakek baru saja menemui seseorang yang amat ia kasihi di duni anyata.Â
"Bisa temukan kakek dengan beliau Ra, dia sahabat baik Kakek sedari kecil. Dia wanita tangguh yang memiliki cinta tulus untuk satu orang yang diabadikan dalam setiap tokoh pada tulisannya, dia yang telah kembali kepangkuan Tuhan puluhan tahun lalu?"