Mohon tunggu...
Luluk Marifa
Luluk Marifa Mohon Tunggu... Penulis - Read, read and read. than write, write and write.

Menulislah, hingga kau lupa caranya menyerah dan pasrah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Masih tentang Orang yang Sama

4 Juli 2024   20:25 Diperbarui: 28 Juli 2024   15:12 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi buku. (Freepik/rawpixel)

"Raniara," aku mengulang membaca nama penulisnya yang tertera di setiap cover depan buku-buku itu, mengalihkan pandang pada kakek yang tengah duduk di tepi ranjang yang sedari tadi melihatku berberes, istirahat rasanya cukup adil untuknya yang lelah melakukan perjalanan jauh.

"Bacalah salah satunya, nanti kamu akan tau kenapa kakek sangat menyukai karya-karyanya."

Aku mengangguk menyanggupi, tapi nanti dulu setelah kuselesaikan membaca novel terbaru Tereliye yang berjudul 'Janji', hadiah dari Tante Nadia yang baik hati dan tidak sombong, adik Ibu satu itu, semoga segera menemukan jodohnya, kasian sekali setiap ada perkumpulan keluarga besar dari pihak Ibu, dirinya selalu diejek jomblo.

***

Balkon lantai dua ini menjadi tempat favoritku untuk menghabiskan sepotong senja yang menjingga di ujung cakrawala dengan novel di hadapan aku khusyuk membaca kelanjutan kisah Bahar, seorang yang dicap nakal sebagai pemabuk dan tukang marah yang pernah meledakkan pesantren tempatnya menuntut ilmu dengan peledak yang dirakitnya sendiri hingga menewaskan salah satu santri peyandang disabilitas. Merasa tak sanggup mendidiknya Kiyai mengeluarkan Bahar dari pesantren.

Tiga kali sang Kiyai bermimpi seolah dia berada di padang pasir yang panas ketika semua orang terlihat kepayahan dan kepanasan begitu juga dengan sang Kiyai. 

Pada saat seperti itu, berhentilah pedati terbang yang amat mewah dengan berhiaskan sesuatu yang kemilau dan menyejukkan mata, dan amat terkejutlah Kiyai ketika mengetahui bahwa Bahar yang ada di dalam pedati mewah tersebut, menyebut takzim namanya dan memintanya untuk turut menaiki pedati mewah itu agar tak lagi dalam kungkungan hawa panas yang amat mencekik.

Ketika terbangun sontak Kiyai panas dingin, badannya gemetar, pertanda apakah ini, santri yang di usirnya karena ulahnya yang tak dapat ditoleransi lagi hadir dalam mimpinya dengan sebuah pedati mewah yang menolongnya dari tengah padang pasir panas, ada apa dengan Bahar?

"Cucu kakek serius sekali bacanya." Kakek berucap mengusap pucuk kepalaku lantas mengambil tempat duduk di seberang meja, meletakkan satu buku yang semula ditangannya ke atas meja. Sekilas aku meliriknya, itu buku kumpulan puisi, masih nama 'Raniara' yang tertera sebagai penulisnya.

"Begitulah Yah, Aira kalau sudah baca novel Tereliye bisa lupa segalanya." Ibu turut menyahuti perkataan kakek tanpa menoleh, tangannya masih fokus dengan bonsai-bonsai kesukaannya, entah, mungkin ibu mencari uler keket disana.

"Sama kaya' Ayah lah, kalau udah baca buku yang penulisnya Rani, Rara lah siapa itu namanya, juga bisa lupa segalanya. Kakek sama cucu sama saja." Kali ini suara berat Ayah yang ikut nimbrung dari dalam, baru saja sampai rumah sudah maen serobot topik aja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun