Empat tahun berlalu tak banyak yang berubah dari kota tua ini. Pohon beringin tua di depan sana juga masih berdiri kokoh, meski mungkin saja empat tahun terakhir angin menggodanya begitu gencar.Â
Sayangnya, tak jua membuatnya roboh. Kafe ini juga masih sama seperti empat tahun lalu saat aku terakhir kali berkunjung. Berkunjung untuk mengucapkan selamat perpisahan pada seseorang.
Seseorang yang hari ini akan kembali kutemui untuk mengucapkan kata selamat yang lain. Seseorang yang sudah sejak lama kukenal dengan baik, bukan dari penuturan orang lain melainkan penuturannya sendiri. Ah, setelah empat tahun terakhir tak bertemu akan seperti apa pertemuan yang kami rencanakan hari ini.
"Mau pesen apa, Kak?"
Aku menyebutkan salah satu minuman, pramusaji itu mengangguk mengiyakan. Sembari menunggu tak ada salahnya menengguk segelas kenangan itu seorang diri.
Bagaimana rasanya dicintai balik? Semenyenangkan itu kah? Mungkinkah hal itu seindah prosa yang banyak dituliskan para pujangga. Atau mungkinkah seberwarna sebuah lukisan yang dilukis sebagai bias akan buncahnya sebuah perasaan.
Seindah dan semenyenangkan apapun itu, hanya pemiliknya yang tahu. Kau mungkin tahu jawabannya, nanti akan kutanyakan jika kau sampai dihadapan.
Benar saja, pintu kafe yang terbuka menampilkan sosok yang kini semakin terlihat berwibawa dibandingkan dengan empat tahun. Aku reflek melambaikan tangan, kau menyambut dengan senyum sumringah dan mata berbinar.
Tebakanku benar, kau akan menggunakan stelan lengkap jas hitam di pertemuan kali ini. Kau memberitahu, akan langsung pergi begitu rapat di kantor selesai. Seniat itukah kau meminta bertemu saat tahu aku kembali ke kota tua ini. Seniat itukah kau meminta ucapan selamat dariku, wahai.
"Kau makin kusut, Ra. Apa studi S2 dan pameran lukisanmu sejahat itu, heh?"