Namun secara akademis, dilarang terjebak pada penafsiran istilah yang variabel teorinya tidak jelas, tentang politisasi agama. Lalu bagaimana mensiasatinya, ketika sudah menggejala menjadi fakta sosial yang marak dimasyarakat?
Menurut Munawir Sjadzali, ada 3 jenis pandangan yang munculnya dari kelompok ulama sekaligus cendikiawan atau filsuf yang memiliki karakteristik pemahaman tentang Islam dan negara, yakni; 1) Kelompok yang berisikan tokoh seperti Rashid Rida, Sayyid Qutb dan Al-A'la Al Maududi. Memandang Islam merupakan ajaran yang menyangkut ketuhanan termasuk menyangkut pula seluruh entitas alam dan agama-agama. 2) Kelompok yang berisikan tokoh seperti Ali Abd al-Raziq dan Toha Husayn. Berpandangan bahwa Islam hanyalah urusan tentang perkara agama semata, tanpa menghiraukan perkara politik. 3) Kelompok yang diisi oleh tokoh Husayn Haykal. Berpandangan bahwa Islam memang diakui sebagai ajaran yang tidak lengkap, namun tidak serta merta memisahkan masalah kehidupan manusia, termasuk ketika hidup bernegara (Sukardjo, 2002:191-223 dalam Hasan, 2014).
Ketiga kelompok tersebut, berpandangan secara berbeda tentang bagaimana penyikapan Islam terhadap politik, tentu pandangan ketiga kelompok tersebut memahami keberadaan politik dan negara di dunia ini sebagai salah satu perkara yang patut diperbincangkan dengan nas al-Quran dan nalar berfikir Islam. Artinya secara garis besar, jika memilih kedua pandangan yang pro terhadap implementasi nilai islam untuk diterapkan dalam kehidupan berpolitik dan bernegara, Islam sebagai sistem nilai universal dalam ukuran khusus yang terus menerus diijtihadkan oleh para ulama dan ditafsirkan terus-menerus mengikuti kontek zamannya, Islam menjadi sistem nilai yang ideal dalam memandu cara berfikir manusia untuk mengerti, memahami sekaligus memaknai politik dan negara.
Apabila, staus ontologi dari kedua entitas universal itu telah terurai, maka sekarang, bagaimana Islam sendiri berfikir secara teoritik tentang penerapan proses politik kenegaraan. Agama dan kekuasan dalam perspektif politik Islam, menurut Ignas Kleden (2000) meliputi; 1) Kekuasaan dan ideologi bersifat saling menguatkan. 2) Ideologi adalah upaya mereligiofikasi konsep ideologi. Dan religiusitas adalah upaya mengideologisasikan ajaran agama. 3) Hubungan politik dan agama jika terjadi sungguhan, dapat dipastikan akan muncul perluasan sosial. 4) Hubungan politik dan agama, juga menandai persaingan antara keduanya dalam hal peran dan fungsi di dalam negara. 5) Agama didalam negara akan memiliki fungsi ganda menjadi corak berfikir negara dalam mewujudkan kesejahteraan sosial, keadilan atau pengurai konflik. Ketika berada dalam ruang-ruang personal peribadatan, membuat psikologis manusia tenang, arif dan bijaksana dalam kehidupan. 6) Ketika muncul konflik, agama mampu berperan sebagaimana situasi konflik menghendaki, entah untuk berwatak ideologis mirip seperti negara. Ataupun berwatak utopia menyelesaikan konflik dengan cara-cara baru yang mustahil bisa dilakukan negara (Kleden, 2000:21-32 dalam Hasan, 2014). Secara garis besar, upaya ijtihad menggunakan akal untuk membaca nas agama, dalam memberi tafsir pertimbangan tentang baik buruknya Islam bersentuhan dengan politik. Agama turut meredusir menjadi satu kebaikan-kebaikan yang ada, dan mengijtihadkan kembali kemungkinan mudharat yang diprediksi akan muncul. Artinya agama, politik dan ketatanegaraan dalam arti universal saling berkelindan satu sama lain sesuai pemaknaan yang diinginkan suatu masyarakat di sebuah negara.
Bukan Mental Intelektual Bila Masih Meminta Tips dan Solusi Ces-Pleng Atasi Kronik Politik di Negeri Ini
Tiba saatnya kita pada gerbang bibir post-modern. Disadari atau tidak kita telah menuju jauh kebelakang kerongkongannya. Era post-modern, suka atau benci, senang atau muak, tahu atau tidak, belakangan memporak-porandakan sistem sosial, tata nilai, produk hukum, pemaknaan normatif dan lain sebagainya, yang semula kita pahami telah baku, paten, absolut dan tak akan pernah berubah sampai kapanpun, kini berubah menjadi tidak baku, relatif, temporal, elastis dan moderat. Begitu halnya dengan politik, yang mana didalamnya bukan sekedar tata nilai, etika dan konsep dasar para ilmuwan, mendadak berubah menjadi sesuatu yang lain, tak dikenal, kontroversial, aneh bahkan absurd. Gerak kehidupan zaman, dari segala sisi makin relatif, konstruk teoritik yang semula paten dalam ilmu pengetahan, seni, politik bahkan agama, terus-menerus diijtihadkan kembali, ditafsirkan ulang lagi, dengan cara pemaknaan baru yang berbeda sama sekali, post-modern adalah era dimana cara berfikir lama, mendadak menjadi tak bergairah untuk memaknai realitas baru dimana dirinya berada (Best & Kellner, 1991:5 dalam Ritzer & Goodman, 2011).
Dalam keluh kesah kita soal politik, bibir jaman itu, telah mengoyak lantas menelan kita hingga membuat kita menjadi lupa akan nilai-nilai etika politik yang semula telah baku, kini berupa menjadi tidak baku, esensial kini menjadi non-esensial. Yang semula kita paham, tanpa berbelit pakai paradigma agama atau hukum pidana, cukup dengan nalar normatif biasa, bahwa mencuri ayam adalah suatu tindakan yang merugikan orang lain, juga diri sendiri, kini telah berubah bahwa mencuri ayam adalah biasa, selama tidak ketahuan, selama si pencuri sesegera mungkin menjual hasil curiannya. Mencuri tidaklah masalah. Sama halnya dengan korupsi, kini diartikan bukan sebagai perilaku pencurian, selama rasionalisasi melalui laporan pertanggungjawaban (LPJ) dan manipulasi surat menyurat bisa dibuktikan secara sah mirip surat aslinya dan rasional penggunaan anggarannya. Kata korupsi tidaklah ada. Berarti, kesimpulannya adalah mencuri ayam atau korupsi uang rakyat adalah lumrah biasa dan tak masalah.
Mengapa kita sebut pengecut, naif dan absurd jika ada seorang akademis atau intelektual yang gemar meminta pendapat secara konkret, tergesa-gesa, inginya ces pleng untuk mengetahui bagaimana caranya memungkasi problem politik bangsa ini yang terjadi beberapa hari ini. Jawabannya gampang. Baca buku-buku dasar ilmu politik, disana tertera semua. Artinya jawabannya atas masalah anda, selesai. Tentunya bukan itu yang hendak kita maksud. Cendikiawan adalah seorang yang berani mengurai realitas yang bermasalah, ketika masyarakat yang bukan akademis takut  memahami realitas itu. Kondisi yang tak pernah ada tentang politik amoral hari ini, bagi kalangan cendikiawan hendaknya secara fundamental dan berani untuk mendalami itu lebih dalam, untuk menemukan apa kiranya problem mendasar dari perilaku para elit secara individu dan kelompok begitu amoral cara berpolitiknya. Atau, jika dimungkinkan, butuh suatu bentuk kesadaran yang mati-matian dipupuk agar membuat nyali diri anda berani, ketika masuk kedalam politik praksis menjadi partisipan konstituen di parlemen entah melalui Parpol atau tidak, lalu didalamnya anda mengubah secara radikal traktat dan dasar hukum dengan mencabut UU  dan menariknya peraturan-peraturan pemerintah yang saat ini, yang dinilai tidak pro-rakyat. Pertanyaan ini harus dijawab oleh para akademis, bagi yang kebetulan membaca atau mendengar ini; Anda berani atau tidak?
Satu temuan menarik dari dinamika politik ulama NU dalam historisitas yang pernah terjadi di era orde baru, dengan berani menjadi oposisi. Bagi penulis, merupakan satu pesan politik yang biasa saja dalam kancah politik nasional, namun sarat akan makna.
Oposisi, jika kita membaca status ontologinya. Adalah suatu bentuk kegiatan parlementarian yang paling terhormat dalam negara demokrasi (Gerung, 2008). Mengapa? Karena secara terang-terangan pihak oposan memilih untuk keluar dari parlemen, menghindar dari jaring laba-laba kekuasaan, untuk duduk di kursi tribun stadion dan menonton. Apa yang ditonton? Adalah demokrasi negara yang sedang dirawat oleh segelintir elit yang merepresentasi mayoritas publik di parlemen. NU ketika itu dapat diartikan, memahami betul, dan memiliki prediksi panjang untuk masa depan bahwa demokrasi di Indonesia tengah berada pada keadaan buruk, karena dipelihara oleh cara otoritarianisme kekuasaan. Oleh karenanya NU memilih untuk keluar dan meneguhkan diri sebagai oposisi. Demokrasi itu sebenarnya rentan akan mayoritarianisme, entah dalam pengertian mayoritarianisme agama atau mayoritarianisme kelompok kesukuan. Yang jelas, cara menyelamatkan demokrasi yang mengalami kekacauan macam itu, hanya mampu diselesaikan dengan keluar dari rumah besar itu dan berdiri tepat diluar batas pagar, untuk menjadi oposisi.
Tentu yang dilakukan NU ketika itu, bukan semata-mata akibat rasa geram dan keinginan balas dendam atas beberapa konstituennya di tendang pelan-pelan oleh orde baru lewat orang dalam kader PPP, atau hilangnya penguasaan leading sector utama, yakni kementerian agama yang pelan-pelan orang NU ditelanjangi oleh orde baru menggunakan tangan orang-orang Islam modern. Atau karena beberapa kali Soeharto, ikut campur acara sakral ke-NU-an di prosesi Muktamar NU, dengan maksud memecah belah NU dari dalam. Tapi satu hal, yang kita pahami betul hanya dengan cara itu demokrasi terjamin netralitasnya dan terhindar dari mayoritas yang memonopoli kebenaran. Artinya, NU memilih oposisi dalam rangka agar fungsi kontrol terhadap pemerintah dapat senantiasa menyeimbangkan tendensi otoriter yang terjadi pada orde baru. Namun tidak semata-mata oposisi dapat diartikan sebagai legalnya hak untuk mengkritik pemerintah yang berkuasa, namun agar terjamin pula partisipasi popular publik dalam setiap pengambilan keputusan yang dilakukan parlemen (Gerung, 2008).