Pemilu tahun 1971, Partai NU masih tetap dominan, menjadi runner up dengan 17% suara pemilih. Namun tak lama pemberlakuan kebijakan fusi penyederhanaan partai menjadi batu sandungan kancah politik Parpol NU yang sedang dipijaki. PSII, NU, Parmusi dan Perti harus bergabung menjadi satu di dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Mereka yang basis ideologinya nasionalis bergabung menjadi satu di Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Kemudian, untuk representasi orang-orang pemerintahan ketika itu Parpol Golongan Karya (Golkar) dibentuk (Dhakiri, 2013:55 dalam Nofiaturrahmah, 2014). Gerak kehidupan politik selama fusi partai diberlakukan, NU didalam tubuh PPP merasa tak nyaman, karena sering kali tak digubris dalam setiap urun rembuk pemikiran dan program kerja Parpol. Nasib demikian, sepertinya tak jauh beda ketika NU sama tak digubrisnya dalam Masyumi oleh kaum Islam modernis (Rifai, 2010 dalam Nofiaturrahmah, 2014). Pola komunikasi Parpol NU di tiap orde kepemimpinan berbeda, dulu ketika orde lama NU dianggap sebagai mitra strategis bagi elit birokrat. Tapi di era orde baru, elit birokrat justru menjauhi NU. Disitu mulailah, keretakkan antara NU dan pemerintah orde baru (Fealy, 2011:344 dalam Nofiaturrahmah, 2014).
Orde baru makin represif, NU makin dimusuhi, posisi tak menguntungkan di dalam PPP, diperparah kemudian oleh carut marutnya pola perilaku dan komunikasi politik yang dimainkan para kyai. Di tahun 1971, NU memutuskan kembali ke khittah NU 1926 (Salim, Fauzan & Sholeh, 1999:71 dalam Nofiaturrahmah, 2014). Berdasarkan ketepan Musyawarah nasional alim ulama NU no.11/MAUNU/1404/1983. Diperkuat kemudian oleh Hasil Putusan Muktamar NU ke 27 di Situbondo XXVII No.02/MNU/27/1984, NU resmi melepas identitas sebagai Parpol untuk kembali melanjutkan perjuangan yang sempat berhenti sejak tahun 1950 karena berpolitik, yakni pengabdian pada masyarakat (Feillord, 1999:282 dalam Warid, 2009).
Keretakan hubungan antara pemerintah orde baru dan NU makin runyam. Berbagai macam kebijakan muncul dari birokrasi orde baru cenderung merugikan masyarakat termasuk bagi NU sendiri. Beberapa kali, konstituen dari PPP yang berasal dari latar belakang NU dalam rapat paripurna di parlemen melakukan walk out (Achmad & Hendrawinoto, 2000:69 dalam Nofiaturrahmah, 2014). Akhirnya pemerintah geram, sisa-sisa politisi NU yang masih berada di PPP dibuang perlahan-lahan secara sistemik melalui orang dalam PPP yang berafiliasi erat dengan orde baru. Beberapa kali upaya represi itu ternyata orde baru menghendaki NU terpecah, salah satu kasusnya adalah ketika Muktamar NU tandingan yang dipimpin Abu Hasan (Rifai, 2010 dalam Nofiaturrahmah, 2014).Â
Pendanaan untuk fasilitas NU yang telah dikucurkan semasa orde lama, mendadak diputus. Pos leading sector yang dikuasai NU seperti Kementerian Agama perlahan oleh orde baru dibersihkan dari orang-orang NU. Dan rentetan represi pemerintah lainnya, NU pada akhirnya memutuskan untuk mengambil prinsip menjadi oposisi dari orde baru (Fealy, 2011:344 dalam Nofiaturrahmah, 2014). Keteguhan prinsipil semacam itu, dipilih oleh NU dalam rangka untuk menerapkan fungsinya sebagai implementasi fungsi kontrol kebijakan pemerintah orde baru. Karena hanya dengan cara demikian, kritik tajam untuk mengawasi kebijakan dapat dilakukan. Selama orde baru mengakar 32 tahun lamanya, NU tak pernah punya tempat dan kesempatan untuk menawarkan ide dan gagasan tentang politik kebangsaan dan kerakyatan. Semua itu tertutupi oleh politik trah kekuasaan, Soeharto adalah orang yang paling bertanggungjawab atas semuanya.
Politik Kyai-Santri Era Reformasi
Tahun  1998 hura-hara gelombang besar menuntut Soeharto mundur tak terkendali. Bahkan, kalangan cendekiawan yang kalangan elit politisi diluar lingkar orde baru menyingsingkan lengan baju untuk bersiap-siap membaca sekaligus mampu menerima segala bentuk kemungkinan yang terjadi. Gus Dur salah satu tokoh sentral, sekaligus Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama' (PBNU) waktu itu, menjelang masa genting yang tak lagi mampu membendung kerusuhan ibukota, tepatnya di Ciganjur mulai mengonsolidasikan pemikiran dan strategi untuk mempersiapkana diri menjelang jatuhnya orde kepemimpinan terlama itu dan menatap reformasi. Bersama Sri Sultan Hamengkubuwono X, Megawati, Akbar Tanjung dan Amin Rais konsolidasi bulat bagi kalangan akademis dan politis muda untuk menentukan sikap pada orde baru. Kalangan ulama, kyai, sesepuh, cendikiawan NU, badan otonom (Banom) NU taktis bersiap membaca keadaan. Hasilnya para kyai dan ulama sepuh tak tinggal diam, di Jawa Timur tepatnya di Pondok Pesantren Langitan dipimpin langsung oleh KH. Abdul Faqih, sepakat untuk memberikan pandangan tentang huru-hara 1998 di Jakarta, bahwa Pak Harto harus legowo (rela, red) mencopot jabatan presidennya itu (Rifai, 2010 dalam Nofiaturrahmah, 2014). Â
Sekelumit kisah menjelang detik-detik reformasi, peran kyai dan santri begitu progresif dalam membaca keadaan dan potensi terburuk yang kemungkinan besar akan terjadi. Politik gaya otoritarianisme, telah membuat jenuh masyarakat ditengah krisis moneter, mendadak merubah manusia yang perutnya lapar menjadi serigala. Kendati ketika itu politik NU meneguhkan diri untuk menjadi entitas oposan, NU tetap berupaya untuk memberikan yang terbaik bagi terselenggaranya politik kebangsaan dan kerakyatan di masa depan.
Episode Terakhir Politik Islam Gaya Kyai-Santri Pemilu 2009Â
Dominasi konstituen paska orba jatuh, ormas NU yang diwakili oleh PKB seringkali mengalami konflik internal di dalamnya. Perseteruan antar pimpinan yang notabene adalah ulama atau kyai, yang tentunya memiliki basis massa dari kalangan santri-santri pesantrennya, turut memperparah pecahbelahnya PKB. Muncul kemudian Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU), berisikan kyai-kyai sepuh dengan asumsi partisipasi warga NU makin semarak, namun tidak demikian adanya. Justru prosentase suara pemilu Parpol Islam jeblok (turun drastis, red)Â diluar kalkulasi diatas kertas. Kenyatan demikian, menandai Parpol Islam tidak lagi diminati masyarakat. Publik mengasumsikan bahwa Parpol Islam ternyata tidak mampu mengolah partai. Hal ini sekaligus menjadikan Parpol Islam tidak memiliki modal sosial yang mumpuni dimata masyarakat (Dhakiri, 2013 dalam Nofiaturrahmah, 2014).
Politik Kekuasaan Kyai-Santri Cara Meraih Politik Kebangsaan dan KerakyatanÂ
Syafiq Hasyim (2010) menyuplik dawuhnya KH. Sahal Mahfud yang menjelaskan tentang tiga jenis politik di NU. Dalam pertemuan di Rembang Jilid 2 itu, dengan dihadiri oleh sejumlah ulama NU struktural dan kultural, menyampaikan tujuh seruan kepada warga Nahdliyin sebagai panduan untuk menyikapi kondisi politik dalam tubuh organisasi yang akhir-akhir ini mengalami krisis. Pada butir pertama seruan tersebut menyebutkan tiga model politik yang selama ini dilakukan NU, yaitu politik kenegaraan, politik kerakyatan dan politik kekuasaan (Indo Pos, 1 Juli 2004) (Hasyim, 2010:3). Dalam pandangan NU, politik kerakyatan menempati posisi yang utama dibanding dua jenis politik yang lain. Menjelang pemilihan Presiden Juli 2004 terdapat fakta politik yang menampilkan gerakan dukung-mendukung kelompok santri pada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Kelompok santri yang mengaku dari sebelas Pesantren besar di Jawa Timur tergabung dalam Barisan Santri Pendukung Wiranto-Gus Sholah (BSPWGS) dan Asosiasi Santri Indonesia (ASI) yang beranggotakan para santri dari 100 pondok pesantren mendukung Mega-Hasyim. Hal ini menunjukkan bahwa poros yang jelas antar kyai dan santri NU dalam kancah politik begitu adaptif mewarnai pergolakan politik negeri ini.