Mohon tunggu...
Luhur Pambudi
Luhur Pambudi Mohon Tunggu... Staff Pengajar SOBAR Institute of Phylosphia -

Perut Kenyang Hatipun Senang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Negarawan dari Dapur Parpol atau Ponpes?

22 Oktober 2018   18:51 Diperbarui: 22 Oktober 2018   19:11 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh karenanya, sebagaimana yang dikemukakan bekas fungsionalis Partai Golongan Karya (Golkar) Poempida Hidayatullah, tentang pembuat gambar atau foto meme penghina Setya Novanto akan dipenjara (Felisiani, T. November 18, 2017). Tak lebih dari sebuah mekanisme pertahanan diri (defend mechanism, dalam istilah mahzab Psikoanalisis Freudian) seorang kader Parpol yang Parpolnya tengah ditelanjangi habis di muka publik, akibat ketua umumnya ditangkap aparat karena dugaan korupsi. Jangan pernah salahkan civil society, apalagi menggunakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 atau UU ITE untuk menangkap mereka yang mengeluh tentang boroknya dan bobroknya politik hari ini melalui media sosialnya atau dengan membuat gambar meme lucu dan lagu berlirik satire tentang Ketua DPR RI, Setya Novanto, karena kasus korupsi mega proyek Kartu Tanda Penduduk (KTP) Elektronik. 

Jangan pula salahkan para aktivis dan mahasiswa dengan pasal pencemaran nama baik pejabat pemerintahan, jika beberapa kesempatan harus tidak sopan menjadikan foto para pejabat publik sebagai objek hujatan dalam prosesi teatrikal di tengah jalan. Jangan pernah sekali-sekali menyalahkan mereka yang memutuskan golongan putih (Golput) dalam setiap pemilihan umum (Pemilu), karena hanya itu cara untuk menyehatkan akal fikiran mereka daripada menelan pil pahit silang-sengkarut politik para elit pemerintahan dan Parpol. Karena itu semua adalah dampak buruk alienasi politik yang tampil dari perilaku elit (Finifter, 1977 dalam Muluk, 2010).

Belum lagi silang-sengkarut politik terurai, belakangan aksi massa dengan format demonstrasi besar-besaran yang dipelopori oleh organisasi masyarakat (Ormas) Islam yang mengangkat isu-isu sensitif tentang dugaan pencemaran agama yang dilakukan oleh pejabat publik DKI Jakarta Basuki Tjahya Purnama alias Ahok, menambah deretan panjang kasus intoleransi dan ujaran kebencian bernada SARA. Kelompok Islam dengan pemahaman ajaran fundamental yang menampakkan wajah ekstremis radikal makin deras mengungkapkan kritik atas demokrasi sebagai sistem politik yang gagal merawat akal sehat politisi dan mewujudkan kemaslahatan bersama, menjadi bahaya laten yang tak dapat diabaikan begitu saja. Semua problematika politik, agama dan kebangsaan itu begitu mudah tersulut oleh kemajuan zaman dan silang-sengkarut arus perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, justru makin menambah runyam (parah, red) masalah. Tidak ada kata lain, selain pesimisme publik yang ditujukan pada elit politik pejabat pemerintahan yang tak mampu mengurai kerumitan masalah. Apakah benar politik mampu mengentaskan problem ini? Jika dalam waktu dekat politik dan birokrasi pemerintah tidak sesegera mungkin memperbaiki diri untuk menghadapi problematika yang lebih nyata mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kita patut bersiap gelombang besar protes bernada fundamentalisme Islam akan berupaya mengganti pondasi dasar bangunan Negara Indonesia menjadi negara teokratis.

Apa yang Gagal dari Politik Setelah 72 Tahun Merdeka

Percakapan kita melalui tulisan ini, lebih menitikberatkan pada fungsi partai politik sebagai salah satu pilar pendukung jalannya demokrasi di Negara Indonesia. Apakah turut mengurai masalah, atau justru menjadi sumber masalah. Kini kita bertanya, apakah benar politik kita ditahun 2017 sebelum menginjak tahun politik 2019 adalah politik yang gagal "merawat" dan "dirawat" oleh para elit politisi pemerintahan dan elit ideolog Parpol? Dengan segala bentuk amoralitas etika pejabat publik yang tak patut muncul sebagai wajah birokrasi pemerintahan kita. Tentu pertanyaan ini patut dijawab sebagai rumusan masalah dalam tulisan ini. Tapi tak berhenti disitu, adapun rumusan masalah lain yang meminta pula untuk dijawab; apakah benar demokrasi kita tengah gagal merawat politik akal sehat bangsa kita? Ketika kritik begitu deras muncul dari kelompok keagamaan Islam tertentu menghendaki digantinya konsep Pancasila dan demokrasi, dengan narasi besar negara teokratis. Sedangkan para elit birokrat sibuk bertukarpadu berebut kekuasaan, tanpa pernah berfikir bagaimana baiknya demokrasi di Indonesia dan Pancasila ke depan.

Sebelum beranjak meninggalkan tahun 2017 untuk pindah ke tahun politk 2019. Teringat kembali pada proposal yang ditulis Max Lane tahun 2013 menjelang tahun politik 2014 Indonesia, bertajuk "Who Will Be Indonesian President in 2014?". Disitu ia menulis, bahwa alienasi politik yang terjadi pada masyarakat Indonesia dalam menghadapi tahun Pemilu 2014 begitu kontras, sehingga Max Lane berani meramalkan bahwa Pemilu 2009 dan 2014 akan dimenangkan oleh Golongan Putih (Golput). Tafsir proposalnya begini, Pemilu 2014, secara kasat mata masih dinilai sebagai pemilu yang demokratis. Tapi sayang, demokratis yang bersifat elitis. Ditahun politik itu, masyarakat menilai bahwa Pemilu atau segala bentuk prosesi partisipasi politik yang diselenggarakan secara konstitusional, menurut Max Lane, tetap saja merupakan ajang bagi para politisi korup. Dilihat tiap periode elektoral, Pemilu 1999-2004, Pemilu 2004-2009 dan Pemilu 2009-2014, masih sama menyajikan wajah-wajah lama sisa orde baru (Orba), hanya saja dengan pakaian, mimik wajah dan gramatika bahasa politik yang baru. Masyarakat Indonesia bagi Max Lane sudah tidak lagi percaya, karena elit politik beserta Parpol yang menaunginya, tak lagi berfikir tentang kepentingan rakyat dalam setiap kebijakan yang diputuskan di meja Parlemen (Max Lane, 2013 dalam Indoprogres, 2014). Lalu bagaimana dengan Pemilu yang akan datang nantinya, tahun 2019 menuju 2024? 

Semenjak Orba ambruk oleh pengerahan massa tahun 1998, B.J. Habibie mengganti arah kebijakan politik dan pemerintahan ketika itu, menjadi lebih luwes daripada kebijakan sebelumnya. Dengan itikad untuk lari dan lepas dari kungkungan otoritarianisme ala Soeharto. Melalui UU No. 3 Tahun 1999 Tentang Partai Politik dan Pemilu, isinya memberi kebebasan bagi semua elemen kemasyarakatan yang berkepentingan dengan parlemen untuk membentuk Parpol-Parpol baru, dan bersiap untuk pesta politik yang sengaja dipercepat olehnya ditahun 1999. Kebijakan itu sekaligus membuka keran demokrasi, kebebasan berekspresi dan surga firdaus bagi media massa untuk memulai kembali bisnis penyiaran, kala itu. Sejak awal negara ini terbentuk hingga 1999, menurut Catatan Departemen Kehakiman dan Perundang-undangan Republik Indonesia, telah ada setidaknya 150 Parpol yang turut mewarnai pergulatan wacana dan ideologi dari awal kemerdekaan, namun ditahun politik 1999 ketika itu, hanya 48 Parpol saja yang lolos mengikuti Pemilu (Napir, 2014). Dulu, kategori lama untuk Parpol dibedakan dari karakteristik ideologinya, diantaranya; kategori Partai Islam, Partai Nasionalis Radikal, Partai Sosialisme Demokrat, Partai Tradisionalisme Jawa dan Komunisme (Feith & Castles, 1970:4 dalam Makhosin, 2016). Kemudian Daniel Dhakidae, memberikan kategori lain yang cukup padat, yakni; kategori Parpol Sekuler-Islam dan Parpol Kerakyatan-Pro Pasar (Sugiono & Mas'ud, 2008:21 dalam Makhosin, 2016).

Semenjak sistem multi partai diberlakukan oleh Presiden RI ke-3 tahun 1998, Parpol kini menjamur, partisipasi politik kader Parpol makin tumbuh subur. Namun, kesuburan partisipasi politik itu hanya nampak lebat dan seakan rindang, ketika masuk pada ruang politis parlemen semata, yang didalamnya tentu berisikan pertarungan memperebutkan kekuasaan dan jual-beli kepentingan. Justru lupa, jikalau Parpol memiliki posisi penting di tengah-tengah masyarakat untuk menjaring aspirasi dan mengkonsolidasikan gagasan tentang perubahan dan upaya pembangunan yang lebih baik bagi masyarakat, sebagaimana yang tertuang dalam UU No. 2 Tahun 2011, Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik. Tentu kita memahami bahwa Parpol merupakan entitas lain yang muncul dari ruang-ruang ideologi sebagai salah satu instrumen dimana demokrasi bisa bekerja dengan baik. Warga negara berhak masuk dan menjadi kader Parpol dengan suatu asas bahwa Parpol menjadi wadah aktualisasi gagasan dan aspirasi bagi publik (Alfa-SA, 2014). Konsep demokrasi tersebut, menghendaki Parpol untuk menjadi public educated bagi masyarakat yang ada di luar parlemen, sekaligus menyampaikan isi pesan dari lubuk hati masyarakat untuk para elit yang ada di dalam gedung parlemen. Namun, yang terjadi apa? Akibat dari kolaborasi birokrasi korup dengan para pemodal rakus, demokrasi belakangan menjadi usus besar korporasi, permainan politik kekuasaan yang memanfaatkan celah konstitusional untuk mendulang income kekayaan sebagai pendapat kas Parpol atau kantong perseorangan. Akhirnya Parpol menjelma sebagai dept-collector. Model demokrasi elektoral-elitis, mendadak tak diminati karena terbukti palsu adanya. Yang nampak justru oligarki dan plutokrasi. Model demokrasi yang tertuju pada keterwakilan, belakangan di negara lain mulai mengalami kemunduran, akibat Parpol-Parpol mengalami krisis. Kehilangan makna bagi publik, publik makin tak percaya, perlahan membenci. Nampak hanya sekedar mencari untung dan kepentingan kelompok semata, parahnya adalah konstitusi menjadi lapak dagang korporasi  (Indoprogress, 2014).

Franz-Magnis Suseno mengaku jenuh, masalah etika pejabat publik dari tiap rezim yang datang silih berganti, merekayasa pikiran publik dan hanya menyisahkan konflik, menandakan, bahwa diskursus tentang etika politik telah lama tiarap dan nampak tak berguna. Etika politik hanya sebatas accademic exercise, tak akan pernah bosan dari masa ke masa untuk dipergunjingkan di ruang akademis, dan nampaknya hanya itu fungsi diskursus etika politik. Kini kita dapati, politik tak pernah berubah, justru memburuk. Karena membiarkan politik tanpa etika tak ubahnya sebuah industri perfilman yang menayangkan sinetron demokrasi berepisode-episode, seakan sedang mencasting pemain film untuk berperan sebagai tokoh publik yang berani berbohong sepanjang hidup dan menulis naskah panjang pidato para demagog penjaja ide-ide utopis tentang perubahan yang tak pernah ada (Napir, 2014).

Disini menjadi terang, bahwa prosesi Pemilu, manuver Parpol dan sistem demokrasi mengalami malfungsi. Tak ayal jika parlemen, belakangan jarang kita dengar berdebat secara argumentatif (the force of the better argument) menawarkan gagasan atau ideologi satu melawan gagasan ideologi lainnya demi tercapainya konsensus bersama tentang bagaimana caranya hidup maslahat. Kini justru yang nampak, hanyalah transaksional antar faksi yang tengah berkonflik untuk memperebutkan kekuasaan. Dan dilain sisi, makin memperjelas  apatisme masyarakat dan alienasi membuat jarak pembeda yang tebal antara rakyat dan elit birokrat (Gerung, 2008).

Membaca berbagai macam penafsiran yang berkelebatan tentang politik kekuasaan. Nicolo Machiavelli, menganggap politik dengan begitu sinis, karena hanya menyediakan tempat bagi para elit untuk saling bertengkar demi berebut kekuasaan, apalagi harus memperjuangkan suatu ide atau gagasan yang mulia tentang kebijaksaan dan kesejahteraan bersama (El-Affendi, 1994:7 dalam Hasan, 2014). Thomas Hobbes juga demikian, politik kekuasaan menandaskan bahwa negara tidak lagi membutuhkan dasar pertimbangan moralitas dan religiusitas untuk menentukan segala bentuk kebijakan. Penguasa cenderung membenarkan segala bentuk tindak tanduknya, selama berkenaan dan sejalan dengan kepentingan kekuasaan. Lembaga-lembaga yang berkenaan dengan unsur politik birokrasi, hanya mengenal hak, tapi tak pernah melaksanakan kewajiban. Pandangan ini menandaskan jika politik kekuasaan adalah matinya humanisme, spiritualitas dan moralitas. Politik macam ini yang disebut Machiavelli sebagai politik gaya binatang, dan politik yang membentuk manusia menjadi serigala untuk memburu temannya (Homo Homini Lupus) kata Hobbes (Suhelmi, 2001 dalam Yusuf, 2012).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun