Namun berbeda bagi Ibn Khaldun, yang memandang politik sebagai suatu entitas masyarakat yang besar dalam sebuah negara, yang akan terikat dengan kedekatan yang sifatnya lebih sempit dan sederhana antar kelompok kecil (Ashabiyah) di dalamnya. Artinya solidaritas antar sesama dalam kelompok, lebih adaptif dan mampu menjadikan kedekatan itu sebagai basis otoritas politik. Ibn Khaldun menerangkan, jika otoritas politik inilah yang akan memudahkan urusan orang-orang di dalam kelompok menjadi lebih tertata. Dilain sisi, dampak buruk dari konsepsi bernegara yang tampuk kekuasaan didominasi oleh kelompok terkuat, akan selalu berhadapan dengan mereka kelompok-kelompok kecil lain yang akan berupaya merebut dan menggulingkan si penguasa. Kemungkinan terburuk itu, bukan sebatas menjadi suatu ramalan. Sebuah negara tak mustahil akan hancur, jika kelompok masyarakat didalamnya saling berebut kuasa (El-Affendi, 1994:7 dalam Hasan, 2014).
Pola semacam ini sering ditemui pada situasi birokrat disuatu pemerintahan yang terdiri dari faksi-faksi Parpol. Perseteruan dan konflik memperebutkan politik kekuasaan, mobilisasi politik hanya terpusat pada parlemen dan tidak menyentuh sama sekali pada kepentingan mendasar publik. Imbasnya, alienasi yang berbentuk hilangnya partisipasi publik dalam mengonsolidasikan kepentingan untuk menjadi dasar pertimbangan pembentukan kebijakan, adalah gejala awal dari demokrasi yang tengah sakit. Tidak mustahil yang tertinggal dari negara bernasib semacam itu, hanyalah reruntuhan sisa peradaban.
Otoritas politik kata Ibn Khaldun, menghendaki negara menjadi pelayan rakyat. Segala sesuatu yang menyangkut hajat hidup rakyat negara tersebut menjadi tanggungjawab pemerintah. Bukan semata-mata menggunakan kekuasan untuk mengonsolidasikan kepentingan pribadi atau tuntutan pragmatisme kelompok atau Parpol (Schaumann, 2005:101 dalam Hasan, 2014). Problematika dasar kita membaca aras dinamika politik negara Indonesia, terletak pada orientasi dasar bahwa politik kekuasaan menjadi kecenderungan yang tak terelakkan dan telah mengakar didalam pikiran bawah sadar (consiousness) individu kader Parpol. Oleh karenanya, John Stuart Mills (1950), justru menganggap lumrah jikalau para elit politisi akan mencurahkan energinya dalam rangka mempertahankan kekuasaan. Negara akan berupaya sekeras mungkin secara hegemonik untuk meciptakan alat-alat produksi sebagai upaya mendulang surplus dan income pendapatan siluman yang akan masuk kantong pribadi atau kas Parpolnya sendiri. Kekuasaan yang menyajikan kemewahan semacam itu, tak ayal membuat elit birokrat akan berupa bagaimanapun caranya untuk mengukuhkan dominasi dan menjadikan setiap kebijakan adalah absolut. Upaya rasionalisasi semacam itu, sangat mungkin untuk dimanfaatkan oleh mereka yang berasal dari kelas penguasaan untuk senantiasa mengeruk untung dari aktivitas pasar komoditasnya dengan memanipulasi pemahaman nilai moralitas yang dibalut oleh argumen konstitusi negara (Maliki, 2004:17 dalam Hasan, 2014).
Politik kekuasan basis dasar pikirannya adalah sebagai alat, bukan tujuan. Kini dipersempit pengertiannya secara sporadis, menjadi politik yang bertujuan memperebutkan kekuasaan itu sendiri (Budiardjo, 2004:35 dalam Hasyim, 2009). Kekuasaan oleh elit politik akan dirawat sebaik mungkin untuk terus mempertahankan dan mengukuhkan dominasi. Â Upaya rasionalisasi politik kekuasaan akan mewarnai gerak politis yang muncul, tak terkecuali mempengaruhi substansi tiap kebijakan yang diedarkan kepada publik. Rasionalisasi untuk memelihara aset politik, pada hakikatnya kerap bersinggungan dengan kepentingan publik. Artinya rasionalisasi politik kekuasaan sebenarnya tidak koheren, dan kerap berseberangan dengan kebijakan publik yang berorientasi pada kebaikan bersama. Max Webber menyebut pola politik kekuasaan ini dengan istilah "sangkar besi" yang mengurung dan menindas masyarakat sendiri (Althrusser, 2004 dalam Hasan, 2014). Membuat masyarakat tidak lagi mempercayai apa itu yang dimaksud cita-cita bersama yang muncul dari mulut penguasa (Hardiman, 1993 dalam Hasan, 2014).
Dalam cara pandang empiris, kemungkinan Parpol tanpa sadar berperilaku politik untuk mencapai kekuasaan didasari oleh dua kategori; 1) Adanya pragmatisme di dalam Parpol, suatu bentuk perilaku konkret dari para elit untuk memilih jalan lain yang berbeda dari Parpol asalnya. 2) Pudarnya orientasi ideologi dan mulai untuk berfikir pragmatis pada Parpol, disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya; lemahnya pelembagaan, lemahnya disiplin Parpol, biaya politik tinggi, politik uang, rendahnya elektabilitas di mata masyarakat, dan tingginya tuntutan populis dimata media (Makhosin, 2016). Pembacaan pada kemungkinan nomor dua, sangat mendasar menjelaskan perilaku para elit Parpol. Secara metodologi, bagaimana Parpol berkoalisi didalam politik kekuasaan, menggunakan pendekatan office Seeking, kita akan mendapati bahwa politik kekuasaan yang diterapkan oleh Parpol cenderung bergerak dengan penuh pertimbangan dan kalkulasi mengenai untung rugi, dan hanya peduli pada usaha untuk mendapatkan kekuasaan (Back, 2005:2 dalam Makhosin, 2016).
Kendati demikian, bagi Anthonio Gramsci, kekuasan semacam itu sebenarnya dirawat oleh ide untuk memanipulasi kepercayaan masyarakat bahwa ada suatu bentuk argumen yang bersifat absolut tanpa boleh dikritik, yang muncul dari negara. Melalui politik, sosial budaya dan ekonomi, hegemoni tanpa sadar terjadi. Politik kekuasaan tidak menghendaki rasionalisasi nilai, bagi Jurgen Habermas, justru lebih menghendaki rasionalisasi politik kekuasaan untuk dijadikan sebagai totalitas historis yang memenjarakan rakyat (Maliki, 2004:24 dalam Hasan, 2014). Setelah pergulatan panjang itu, masyarakat mulai lelah, kebanyakan dari mereka mengetahui ada yang bermasalah dari negara yang digerakkan oleh para elitnya, tapi sayangnya mayoritas masyarakat tidak pernah mampu membacanya, karena masyarakat hakikatnya adalah bodoh, mudah ditipu, tak beraturan dan pelupa. Dalam arti lain, masyarakat punya kesibukkan yang lebih penting, menyita tenaga dan waktu, diluar memikirkan kondisi politik tanah air. Kendati demikian, kebohongan dan absurditas politik yang "meminjam tangan sebelah" rakyat itu telah diketahui seksama, sepertinya ada suatu kehendak yang mendesak bahwa entitas politik macam itu harus dibongkar, mengingat masih ada keniscayaan politik kekuasaan akan berganti. Yakni, dengan mobilisasi militer (Hasan, 2014). Pertanyaannya, apakah rakyat punya kuasa atas gerakkan melibatkan angkatan bersenjata disaat genting seperti sekarang? Tentu mustahil.
Alienasi merupakan fakta sosial dari dunia politik, yang mustahil kita menutup mata darinya. Suasana canggung dari perilaku politik kita, belakangan ditafsirkan "biasa saja" ketika warga negara mulai apatis dengan kehidupan politik. Entah dalam proses Pemilu atau penerapan kebijakan tertentu yang datangnya dari mulut birokrasi pemerintah. Masyarakat lambat laun akan menganggap apatisme dan ketidakpedulian soal politik menjadi lumrah dan tak masalah. Namun pembacaan lain, akan menyebutkan perilaku demikian adalah ancaman bagi terselenggaranya demokrasi di negara ini. Lantas siapa yang salah?
Kita persempit saja. Yang salah adalah para elit birokrat pemerintahan. Etika politik pejabat publik makin merosot, tantangan di masa depan begitu menuntut keberanian; untuk menjawab kritik dari kelompok Islam dengan pemahaman ajaran agama fundamental, yang belakangan tak lagi sungkan menawarkan, bahkan meneriakkan Khilafah sebagai pengganti Pancasila. Lalu kita mau apa?
Terjadinya alienasi ini, tentu kita dapat menafsirkan itu sebagai suatu bentuk penurunan gairah partisipasi publik dengan segala bentuk kehidupan politik yang ada. Menurunnya kegairahan itu, tak lama lagi akan berubah menjadi kebencian. Ketika itu terjadi, pada saat itulah demokrasi akan berhenti, dan kekacauan, konflik, pertumpahan darah pasti terjadi. Karena alienasi adalah pertanda, publik tidak lagi mau buka mulut untuk bersuara, untuk  sekedar meluapkan aspirasi, apresiasi atau keluhan. Lalu apa yang membuat mereka tak mau bersuara? Adalah karena tak lagi ada yang mau mendengar (Gerung, 2008). Artinya negara dan elit birokrasinya disinyalir telah gagal merawat pohon bernama demokrasi, yang mana partisipasi penuh publik menjelma sebagai pupuk komposnya agar tanaman demokrasi bisa tetap tumbuh dan menjadi rindang. Bagi Offe dan Preuss, alienasi yang menyebabkan partisipasi publik luntur, diakibatkan adanya jarak sosial yang panjang, dan tentunya mengganggu antara rakyat dan para politisi. Jarak itu yang mengakibatkan mandat yang berisikan suara hati rakyat begitu lambat menjadi keputusan secara konstitusional oleh parlemen dan legislatif sebagai perwujudan upaya untuk mencapai kebijaksanaan dalam suatu Polis (Held, 1991: 164-165 dalam Gerung, 2008).
Alienasi politik yang terjadi pada masyarakat kita beragam bentuknya. Bagi meraka yang tak pernah memiliki kesempatan untuk mengakses langsung birokrasi politik, menjadi lumrah jika pada akhirnya memilih Golput dalam setiap kali Pemilu terselenggara. Namun bagi mereka yang juga termasuk pelaku birokrasi pemerintahan secara non-partisipatoris, beberapa diantaranya memilih untuk menjadi oposisi. Tanpa bermaksud, mengindahkan pembacaan secara struktural tentang dua potensi perilaku alienasi politik tersebut, namun secara terang bahwa itu petanda, bila demokrasi telah tiba pada kehancurannya.
Politik Masa Depan Butuh Entitas Baru, tapi Bukan Partai Politik