Dalam panggung global yang terus berubah, kawasan Asia telah muncul sebagai pusat gravitasi baru bagi politik dan ekonomi dunia. Pergeseran ini tidak hanya mengubah keseimbangan kekuatan global, tetapi juga cara kita memahami dan mendefinisikan kawasan itu sendiri.Â
Istilah "Asia-Pasifik", "Indo-Pasifik", dan "Asia Tenggara" telah menjadi bagian integral dari leksikon geopolitik kontemporer. Masing-masing istilah membawa nuansa dan implikasi tersendiri yang mencerminkan kompleksitas hubungan internasional di era modern.
Seiring dengan kebangkitan ekonomi Asia dan pergeseran fokus strategis global, pemahaman publik tentang geografi politik kawasan ini terus berkembang. Transisi dari konsep "Asia-Pasifik" yang lebih tradisional ke "Indo-Pasifik" yang lebih luas, serta signifikansi berkelanjutan dari "Asia Tenggara" sebagai entitas regional, menggambarkan dinamika yang kompleks ini.Â
Esai ini mencoba mengeksplorasi evolusi, perbedaan, dan implikasi dari ketiga konsep tersebut. Lalu, bahasan esai ini juga menyoroti bagaimana perubahan dalam persepsi geografis telah mencerminkan dan membentuk realitas geopolitik yang lebih luas pada saat ini.
Asia-Pasifik: Fondasi Ekonomi Regional
Konsep Asia-Pasifik telah lama menjadi kerangka utama untuk memahami dinamika regional di kawasan ini. Menurut Medcalf (2018), istilah ini mulai mendapatkan popularitas pada tahun 1980-an, bertepatan dengan kebangkitan ekonomi yang pesat di negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, dan kemudian Cina.Â
Asia-Pasifik umumnya dipahami sebagai wilayah yang mencakup negara-negara di sepanjang tepi Samudra Pasifik, termasuk Asia Timur, Asia Tenggara, serta Australia dan Selandia Baru.
Beeson (2009) berpendapat bahwa munculnya konsep Asia-Pasifik mencerminkan pergeseran signifikan dalam pusat gravitasi ekonomi global dari Atlantik ke Pasifik. Ini juga menandai peningkatan interkoneksi ekonomi dan politik antara negara-negara di kedua sisi Samudra Pasifik, termasuk Amerika Serikat.Â
Manifestasi institusional yang paling nyata dari konsep ini adalah pembentukan Forum Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (Asia Pasific Economi Cooperation atau APEC) pada tahun 1989. Kerjasama ini bertujuan memfasilitasi pertumbuhan ekonomi, kerja sama, perdagangan, dan investasi di kawasan tersebut.
Namun, seperti yang ditunjukkan oleh Koldunova (2019), definisi pasti dari Asia-Pasifik tetap ambigu dan sering bervariasi tergantung pada konteks dan perspektif yang digunakan. Beberapa interpretasi memasukkan Amerika Utara dan bahkan bagian dari Amerika Selatan, sementara yang lain lebih fokus pada negara-negara Asia di tepi Pasifik.Â
Ambiguitas ini mencerminkan fluiditas konsep tersebut dan kemampuannya untuk beradaptasi dengan berbagai kepentingan dan perspektif.
Indo-Pasifik: Paradigma Strategis Baru
Dalam beberapa tahun terakhir, konsep "Indo-Pasifik" telah muncul sebagai istilah alternatif yang lebih luas dan strategis terhadap Asia-Pasifik.Â
Kuo (2018) mencatat bahwa istilah ini pertama kali digunakan secara signifikan oleh Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe pada tahun 2007, tetapi mendapatkan momentum yang lebih besar setelah diadopsi oleh pemerintahan Trump di Amerika Serikat pada tahun 2017.
Scott (2012) mendefinisikan Indo-Pasifik sebagai wilayah yang mencakup Samudra Hindia dan Samudra Pasifik, dengan penekanan khusus pada konektivitas maritim antara kedua wilayah tersebut. Konsep ini secara signifikan memperluas fokus geografis ke A barat, memasukkan India dan negara-negara di tepi Samudra Hindia ke dalam kerangka strategis regional.
Heiduk dan Wacker (2020) berpendapat bahwa adopsi istilah Indo-Pasifik mencerminkan pergeseran fundamental dalam pemikiran strategis, terutama di antara negara-negara seperti AS, Jepang, Australia, dan India. Mereka melihat konsep ini sebagai respons terhadap kebangkitan Cina dan upaya untuk mengimbangi pengaruh Beijing di kawasan yang lebih luas.Â
Indo-Pasifik, dengan demikian, membawa konotasi geopolitik yang lebih kuat dibandingkan dengan Asia-Pasifik yang lebih berorientasi ekonomi.
Namun, seperti diingatkan oleh Choong (2019), konsep Indo-Pasifik tidak diterima secara universal. Beberapa negara, terutama di ASEAN, tetap berhati-hati terhadap implikasi geopolitiknya dan lebih memilih untuk menggunakan istilah Asia-Pasifik yang dianggap lebih netral.Â
Keraguan ini mencerminkan ketegangan yang melekat dalam upaya untuk mendefinisikan kembali kawasan tersebut dan potensi dampaknya terhadap dinamika kekuasaan yang ada.
Identitas regional Asia Tenggara
Di tengah pergantian konsep yang lebih luas ini, Asia Tenggara tetap mempertahankan identitas regionalnya yang berbeda (distinct). Acharya (2012) mendefinisikan Asia Tenggara sebagai wilayah yang terdiri dari sebelas negara: Brunei, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand, Timor-Leste, dan Vietnam.Â
Identitas regional ini diperkuat dengan pembentukan ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) pada tahun 1967, yang telah menjadi platform utama untuk kerja sama regional.
Emmers (2018) menekankan peran sentral ASEAN dalam membentuk dinamika politik dan ekonomi di wilayah tersebut. Meskipun Asia Tenggara memiliki keragaman budaya, politik, dan ekonomi yang signifikan, wilayah ini telah mengembangkan sense of regionness yang kuat (Weatherbee, 2019).Â
Sentralitas ASEAN tercermin dalam prinsip-prinsip, seperti non-intervensi, konsensus, dan centralitas ASEAN dalam arsitektur regional yang lebih luas.
Implikasi dan tantangan
Perbedaan antara ketiga konsep ini memiliki implikasi signifikan bagi kebijakan luar negeri dan strategi negara-negara di kawasan. He (2018) berpendapat bahwa perbedaan dalam penggunaan istilah-istilah ini mencerminkan persaingan untuk mendefinisikan tatanan regional.Â
Sementara itu, AS dan sekutunya mempromosikan visi Indo-Pasifik, Cina cenderung menggunakan istilah Asia-Pasifik, yang dianggap kurang mengancam kepentingannya.
Dalam konteks ekonomi, Panda (2017) menunjukkan bahwa sementara APEC mencerminkan visi Asia-Pasifik tentang integrasi ekonomi trans-Pasifik, inisiatif seperti Belt and Road Initiative (BRI) Cina lebih selaras dengan konsep Indo-Pasifik, menghubungkan Asia, Afrika, dan Eropa melalui konektivitas infrastruktur.
Bagi negara-negara Asia Tenggara, tantangannya adalah untuk menavigasi antara konsep-konsep yang lebih luas ini sambil mempertahankan identitas regional mereka yang distinct. Emmers (2018) menekankan pentingnya bagi ASEAN untuk mempertahankan sentralitasnya dalam arsitektur regional yang berubah ini.
Evolusi dari Asia-Pasifik ke Indo-Pasifik, dan signifikansi berkelanjutan dari Asia Tenggara, mencerminkan kompleksitas lanskap geopolitik kontemporer. Pergeseran ini bukan hanya semantik, tetapi memiliki implikasi nyata bagi hubungan kekuasaan, aliansi strategis, dan pembangunan ekonomi di kawasan.
Sebagaimana ditekankan oleh Medcalf (2018), pemahaman kita tentang kawasan ini akan terus berevolusi seiring dengan perubahan dinamika geopolitik dan ekonomi global. Oleh karena itu, fleksibilitas dalam pemahaman dan pendekatan terhadap kawasan ini menjadi krusial bagi para pembuat kebijakan dan akademisi.
Pada akhirnya, navigasi yang sukses melalui kompleksitas ini akan memerlukan pemahaman yang nuanced tentang sejarah, budaya, dan aspirasi berbagai aktor di kawasan tersebut. Hanya dengan demikian kita dapat berharap untuk mengembangkan kerangka kerja regional yang benar-benar inklusif dan berkelanjutan untuk kerja sama dan stabilitas regional di era yang terus berubah ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H