Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Menilik Kembali Peran ASEAN dalam Menjaga Stabilitas Kawasan

28 Juli 2024   21:13 Diperbarui: 31 Juli 2024   02:23 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

ASEAN, sebagai organisasi regional di Asia Tenggara, telah lama diakui sebagai aktor penting dalam menjaga stabilitas dan perdamaian di kawasan. Berbagai krisis global hingga pandemi Covid-19 telah menempatkan ASEAN dalam posisi sulit untuk memberikan respon kolektif regional.

Meski begitu, perjalanan ASEAN hingga pertemuan Menteri Luar Negeri se-ASEAN 2024 menjadi bukti kemampuan survival organisasi regional itu. Prediksi beberapa pakar organisasi regional yang merujuk pada Uni Eropa bahwa ASEAN akan kehilangan relevansinya dan tidak akan survive menghadapi berbagai krisis global terbukti tidak benar.

Namun, di tengah dinamika geopolitik yang semakin kompleks, efektivitas ASEAN dalam menjalankan perannya ini memang pantas dipertanyakan kembali. 

Beberapa pertanyaan menarik bisa diajukan, misalnya: apakah efektivitas ASEAN berkaitan dengan keberhasilan menyelesaikan krisis regional dan konflik lain di kawasan ini? Apa ukuran keberhasilan ASEAN? Apakah pengalaman Uni Eropa bisa menjadi tolok ukur untuk menilai ASEAN berhasil atau gagal?

Masih terlalu banyak pertanyaan yang bisa diajukan untuk menilai kehadiran ASEAN di tengah masyarakat ASEAN. Misalnya, sejauh mana kita menyadari ada ASEAN di sekitar kita?

Esai ini tentu saja tidak akan membahas itu semua. Esai ini lebih fokus pada upaya melihat lagi peran ASEAN dalam konteks tantangan kontemporer, sambil mempertimbangkan kritik dan potensi perbaikan untuk masa depan.

Sejak pendiriannya pada tahun 1967, ASEAN telah berhasil menciptakan lingkungan yang relatif stabil di Asia Tenggara. Acharya (2014) berpendapat bahwa ASEAN telah berkontribusi pada perdamaian regional dengan menciptakan kebiasaan dialog dan konsultasi di antara para elit regional.

Pencapaian ini tidak bisa diremehkan begitu saja mengingat sejarah konflik dan ketegangan di kawasan sebelum pembentukan ASEAN.

Beberapa konflik dapat dimediasi dan mencapai kesepakatan. Namun, ada banyak konflik di tingkat domestik dan antar-negara di kawasan ini yang tidak mudah dijangkau ASEAN untuk diselesaikan alias menjadi konflik laten berkepanjangan.

Kritik

Kritik terhadap ASEAN muncul ketika organisasi ini tampak kurang efektif dalam menangani krisis kontemporer. Kasus yang sering disorot adalah konflik berkepanjangan di Myanmar dan ketegangan di Laut China Selatan.

Jones dan Hameiri (2022) mengamati bahwa respons ASEAN terhadap krisis Myanmar menunjukkan keterbatasan pendekatan 'jalan ASEAN' yang berbasis konsensus.

Kritik ini menyoroti dilema ASEAN dalam menyeimbangkan prinsip non-intervensi dengan kebutuhan untuk merespons krisis secara efektif.

Kritik lain juga menyasar pada kurang tegasnya ASEAN dalam menghadapi kekuatan besar, seperti China dan Amerika Serikat. Ba (2019), misalnya, mengungkapkan bahwa strategi ASEAN untuk melibatkan kekuatan besar sambil menjaga otonominya telah menjadi semakin sulit di tengah persaingan Amerika Serikat (AS) dan China yang semakin intensif.

Ada usulan untuk memanfaatkan AS dalam menghadapi China, tetapi tentu saja usulan itu mengandung risiko yang signifikan.

Goh (2007) memperingatkan bahwa strategi semacam itu dapat menempatkan negara-negara Asia Tenggara dalam posisi yang rentan jika terjadi konfrontasi langsung antara kekuatan besar.

Filipina menjadi contoh nyata dalam menggunakan kedekatannya dengan AS untuk menghalau provokasi militer China di Laut China Selatan. Sedangkan, negara-negara seperti Kamboja, Laos, Myanmar memiliki kedekatan tradisional dengan China, sehingga strategi menggunakan AS akan beresiko.

Pendekatan ASEAN yang mengedepankan konsensus dan non-intervensi memang sering dikritik sebagai lambat dan kurang efektif. Namun, Narine (2018) menilai prinsip-prinsip ini telah memungkinkan ASEAN untuk menjembatani perbedaan ideologis dan sistem politik di antara anggotanya.

Pendekatan ini, meskipun tidak sempurna, telah berkontribusi pada stabilitas jangka panjang di kawasan.

Tantangan ASEAN dalam menghadapi agresivitas China di Laut China Selatan memang signifikan. Storey (2020) mengamati ketidakmampuan ASEAN untuk menghasilkan respons bersama yang kuat terhadap tindakan China telah melemahkan kredibilitas organisasi. Dia menunjukkan perlunya ASEAN untuk memperkuat mekanisme penyelesaian sengketa dan respons kolektifnya.

Mekanisme penyelesaian kolektif itu menjadi sangat mendesak mengingat ke-10 negara anggota ASEAN memiliki karakteristik berbeda. Apalagi kenyataan itu ditambah dengan kedekatan bilateral masing-masing negara anggota itu kepada AS dan China.

Membandingkan ASEAN dengan Uni Eropa (UE) memang bisa memberikan perspektif, tetapi perlu mempertimbangkan konteks yang berbeda. Perbedaan sejarah, budaya, dan tingkat pembangunan ekonomi antara Asia Tenggara dan Eropa membuat perbandingan langsung menjadi problematik.

Fakta mengenai kedekatan hampir semua negara anggota Uni Eropa (dan NATO) kepada AS juga menjadi faktor pembeda dengan anggota-anggota ASEAN, sehingga karakter dan dampak hubungan internasional dari kedua organisasi internasional itu juga tidak bisa diperbandingkan begitu saja.

Meskipun demikian, ASEAN bisa belajar dari beberapa aspek integrasi UE, terutama dalam hal koordinasi kebijakan ekonomi dan standardisasi regulasi. 

Beberapa penanganan isu-isu regional agak mencontoh cara Uni Eropa, misalnya penanganan regional dalam isu ancaman terorisme, asap dan polusi, keamanan siber, Hak Azasi Manusia, dan lain-lain.

Langkah konstruktif

Menghadapi kritik dan tantangan ini, beberapa langkah konstruktif dapat dipertimbangkan untuk memperkuat peran ASEAN:

1. ASEAN perlu meninjau kembali efektivitas mekanismenya dalam menanggapi krisis regional. Emmers dan Tan (2011) menyarankan adanya pengembangan protokol yang lebih jelas untuk intervensi dalam situasi krisis, sambil tetap menghormati sensitivitas kedaulatan.

2. Memperkuat kerja sama pertahanan dan keamanan di antara anggota ASEAN dapat meningkatkan kemampuan kolektif dalam menghadapi tantangan regional. Penguatan kapasitas pertahanan bersama ASEAN dapat meningkatkan posisi tawar organisasi dalam dinamika keamanan regional.

3. ASEAN perlu memperkuat kohesi internalnya, terutama dalam menghadapi isu-isu sensitif seperti Laut China Selatan. Salah satu persoalan pelik dalam isu kohesi di antara negara-negara anggota ASEAN adalah kesulitan membangun konsensus yang lebih kuat di antara negara-negara ASEAN sebelum bernegosiasi dengan kekuatan eksternal.

4. Untuk meningkatkan dukungan dan legitimasi, ASEAN perlu melibatkan masyarakat sipil dan meningkatkan transparansi proses pengambilan keputusannya.

Menurut Gerard (2014), keterlibatan yang lebih besar dari aktor non-negara dapat memperkaya proses kebijakan ASEAN dan meningkatkan relevansinya bagi masyarakat kawasan.

Perkembangan global demokratisasi atau keterbukaan politik mau-tidak mau memaksa ASEAN lebih membuka diri menjadi forum masyarakat ASEAN ketimbang sekedar forum pejabat pemerintah.

5. Penguatan kapasitas institusional: ASEAN perlu memperkuat sekretariatnya dan meningkatkan kemampuannya untuk mengimplementasikan keputusan. 

Nesadurai (2017) menyarankan "peningkatan sumber daya dan otoritas Sekretariat ASEAN untuk memfasilitasi implementasi kebijakan yang lebih efektif" (p. 567).

Meskipun ASEAN menghadapi kritik dan tantangan yang signifikan, organisasi regional ini tetap memiliki peran penting dalam menjaga stabilitas kawasan. Menjaga stabilitas kawasan tidak selalu berarti bahwa sumber-sumber instabilitas itu diselesaikan atau hilang dengan sendirinya.

Namun, menjaga stabilitas lebih terkait pada kapabilitas ASEAN untuk mengelola potensi-potensi konflik melalui berbagai inisiatif kerjasama regional. 

Walau krisis domestik, seperti di Myanmar, masih terjadi, ASEAN masih dianggap mampu mengelola konflik dan potensi-potensi konflik di kawasan ini dibandingkan kawasan-kawasan lainnya.

Adaptasi terhadap dinamika geopolitik kontemporer memang diperlukan, namun hal ini harus dilakukan dengan tetap mempertahankan prinsip-prinsip inti yang telah berkontribusi pada perdamaian regional selama beberapa dekade.

Satu hal penting adalah urgensi ASEAN perlu menemukan keseimbangan antara mempertahankan pendekatan konsensusnya yang khas dan meningkatkan efektivitasnya dalam merespons krisis dan tantangan regional.

Dengan melakukan penyesuaian strategis dan penguatan institusional, ASEAN diprediksi dapat mempertahankan relevansinya dan terus berkontribusi pada stabilitas dan kemakmuran Asia Tenggara di tengah lanskap geopolitik yang terus berubah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun