ASEAN, sebagai organisasi regional di Asia Tenggara, telah lama diakui sebagai aktor penting dalam menjaga stabilitas dan perdamaian di kawasan. Berbagai krisis global hingga pandemi Covid-19 telah menempatkan ASEAN dalam posisi sulit untuk memberikan respon kolektif regional.
Meski begitu, perjalanan ASEAN hingga pertemuan Menteri Luar Negeri se-ASEAN 2024 menjadi bukti kemampuan survival organisasi regional itu. Prediksi beberapa pakar organisasi regional yang merujuk pada Uni Eropa bahwa ASEAN akan kehilangan relevansinya dan tidak akan survive menghadapi berbagai krisis global terbukti tidak benar.
Namun, di tengah dinamika geopolitik yang semakin kompleks, efektivitas ASEAN dalam menjalankan perannya ini memang pantas dipertanyakan kembali. Beberapa pertanyaan menarik bisa diajukan, misalnya: apakah efektifitas ASEAN berkaitan dengan keberhasilan menyelesaikan krisis regional dan konflik lain di kawasan ini? Apa ukuran keberhasilan ASEAN? Apakah pengalaman Uni Eropa bisa menjadi tolok ukur untuk menilai ASEAN berhasil atau gagal?
Masih terlalu banyak pertanyaan yang bisa diajukan untuk menilai kehadiran ASEAN di tengah masyarakat ASEAN. Misalnya, sejauh mana kita menyadari ada ASEAN di sekitar kita? Esai ini tentu saja tidak akan membahas itu semua. Esai ini lebih fokus pada upaya melihat lagi peran ASEAN dalam konteks tantangan kontemporer, sambil mempertimbangkan kritik dan potensi perbaikan untuk masa depan.
Sejak pendiriannya pada tahun 1967, ASEAN telah berhasil menciptakan lingkungan yang relatif stabil di Asia Tenggara. Acharya (2014) berpendapat bahwa ASEAN telah berkontribusi pada perdamaian regional dengan menciptakan kebiasaan dialog dan konsultasi di antara para elit regional. Â Pencapaian ini tidak bisa diremehkan begitu saja mengingat sejarah konflik dan ketegangan di kawasan sebelum pembentukan ASEAN.
Beberapa konflik dapat dimediasi dan mencapai kesepakatan. Namun, ada banyak konflik di tingkat domestik dan antar-negara di kawasan ini yang tidak mudah dijangkau ASEAN untuk diselesaikan alias menjadi konflik laten berkepanjangan.
Kritik
Kritik terhadap ASEAN muncul ketika organisasi ini tampak kurang efektif dalam menangani krisis kontemporer. Kasus yang sering disorot adalah konflik berkepanjangan di Myanmar dan ketegangan di Laut China Selatan. Jones dan Hameiri (2022) mengamati bahwa respons ASEAN terhadap krisis Myanmar menunjukkan keterbatasan pendekatan 'jalan ASEAN' yang berbasis konsensus. Kritik ini menyoroti dilema ASEAN dalam menyeimbangkan prinsip non-intervensi dengan kebutuhan untuk merespons krisis secara efektif.
Kritik lain juga menyasar pada kurang tegasnya ASEAN dalam menghadapi kekuatan besar, seperti China dan Amerika Serikat. Ba (2019), misalnya, mengungkapkan bahwa strategi ASEAN untuk melibatkan kekuatan besar sambil menjaga otonominya telah menjadi semakin sulit di tengah persaingan Amerika Serikat (AS) dan China yang semakin intensif.
Ada usulan untuk memanfaatkan AS dalam menghadapi China, tetapi tentu saja usulan itu mengandung risiko yang signifikan. Goh (2007) memperingatkan bahwa strategi semacam itu dapat menempatkan negara-negara Asia Tenggara dalam posisi yang rentan jika terjadi konfrontasi langsung antara kekuatan besar.
Filipina menjadi contoh nyata dalam menggunakan kedekatannya dengan AS untuk menghalau provokasi militer China di Laut China Selatan. Sedangkan, negara-negara seperti Kamboja, Laos, Myanmar memiliki kedekatan tradisional dengan China, sehingga strategi menggunakan AS akan beresiko.