Gejala populisme semakin marak di berbagai belahan dunia, tak terkecuali Indonesia. Populisme telah menjadi fenomena global dalam politik kontemporer dan Indonesia tak luput dari tren ini.
Salah satu tokoh yang kerap dikaitkan dengan populisme di Indonesia adalah Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Jokowi sering dianggap menjalankan kebijakan-kebijakan populis demi meraih dukungan politik dari konstituen masyarakat Indonesia.
Sebagai sebuah fenomena politik, populisme Jokowi telah menjadi topik hangat. Kemunculannya dapat ditelusuri kembali ke Pilpres 2014.
Ketika itu, Jokowi, seorang pengusaha tanpa latar belakang politik elit, berhasil merebut hati rakyat dengan citranya sebagai pemimpin yang sederhana dan merakyat. "Jokowi adalah kita" menjadi salah satu slogan paling populer pada pilpres 2019.
Gaya kepemimpinan Jokowi yang suka blusukan, turun ke bawah, dan berkomunikasi langsung dengan rakyat, menjadi ciri khas populisme yang dia usung. Strategi ini efektif dalam membangun basis massa yang loyal dan mengantarkannya ke kursi kepresidenan 2014 dan kembali ke kursi presiden pada Pilpres 2019.
Populisme
Populisme adalah gerakan politik yang berupaya menarik “rakyat” dengan meyakinkan mereka bahwa para pemimpinnya sendirilah yang mewakili mereka dan keprihatinan mereka, yang diabaikan oleh "kelompok elit". Populisme sering kali dipimpin oleh tokoh-tokoh dominan dan karismatik yang menampilkan diri mereka sebagai "suara rakyat". Gerakan populis ditemukan di spektrum politik ekstrem kanan dan kiri.
Populisme juga dapat didefinisikan sebagai ideologi prosedural yang lentur yang menegaskan pembelahan tajam antara “rakyat bermoral" dan “elit korup”. Elit itu kerap diasosiasikan sebagai kelompok penindas, tamak, selalu mementingkan diri sendiri, dan mengabaikan kehendak rakyat banyak.
Dengan kata lain, populisme lahir atas dasar persepsi rakyat biasa terhadap pengkhianatan elit atau sikap kontradiktif elit-elit politik. Kecenderungan elit berperilaku kontradiktif antara janji politik saat kampanye dan realisasinya pada saat berkuasa.
Populisme juga sering berdampingan dengan ideologi lain, seperti nasionalisme, liberalisme, atau sosialisme. Dengan demikian, populis dapat ditemukan di lokasi yang berbeda di sepanjang spektrum politik kanan dan kiri. Akibatnya, ada populisme sayap kiri dan populisme sayap kanan.
Selain itu, populisme dapat muncul dalam kedua sistem, baik demokratis maupun otoriter. Namun, cara mereka muncul dan beroperasi dalam kedua sistem tersebut bisa sangat berbeda. Dalam sistem demokratis, populisme sering kali muncul sebagai reaksi terhadap ketidakpuasan publik terhadap elite politik.
Pemimpin populis dalam sistem demokratis biasanya memanfaatkan mekanisme demokratis, seperti pemilihan umum, untuk mendapatkan dukungan. Contoh dari pemimpin populis dalam sistem demokratis adalah Donald Trump di Amerika Serikat dan Rodrigo Duterte di Filipina.
Dalam sistem otoriter, populisme ternyata bisa muncul sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan. Pemimpin populis dalam sistem otoriter sering kali menggunakan retorika populis untuk membenarkan tindakan otoriter mereka. Contoh dari pemimpin populis dalam sistem otoriter adalah Adolf Hitler di Jerman Nazi dan Kim Jong-un di Korea Utara.
Ada catatab penting bahwa meski populisme bisa muncul di kedua sistem tersebut, dampak dan konsekuensinya bisa sangat berbeda. Dalam sistem demokratis, ada mekanisme kontrol dan keseimbangan yang bisa membatasi kekuasaan pemimpin populis. Sementara dalam sistem otoriter, pemimpin populis bisa memiliki kekuasaan yang hampir tidak terbatas.
Munculnya Populisme Jokowi
Beberapa faktor dapat dikatakan telah memicu munculnya populisme Jokowi, antara lain:
1. Latar Belakang Sosial
Jokowi dikenal sebagai sosok pemimpin non-elit yang berasal dari kalangan menengah ke bawah. Menurut Mietzner (2015), “gaya kepemimpinan Jokowi yang sederhana dan egaliter sangat kontras dengan elite politik Jakarta yang cenderung korup dan arogan”. Citra merakyat inilah yang menjadi daya tarik Jokowi.
2. Kondisi Politik dan Ekonomi
Kemiskinan dan ketimpangan ekonomi tinggi di Indonesia turut menciptakan situasi yang kondusif bagi munculnya populisme. Dalam pandangan Hadiz (2014), “tingginya tuntutan redistribusi dan keadilan sosial di tengah stagnasi kesejahteraan sebagian besar penduduk Indonesia pasca-Orde Baru melahirkan potensi bagi munculnya pemimpin-pemimpin populis".
3. Strategi Politik
Jokowi memanfaatkan populisme sebagai alat pragmatis untuk meraih kekuasaan (Ambardi, 2019). Jokowi pandai membangun citra dirinya sebagai outsider yang dekat dengan rakyat jelata.
Ia pandai menampilkan gaya kepemimpinan sederhana dan egaliter yang kontras dengan kebanyakan politisi arus utama. Pendekatan inilah yang kemudian menjadi kunci sukses Jokowi dalam meraih dukungan suara mayoritas masyarakat menengah ke bawah dalam dua kali pemilihan presiden.
Jadi, populisme secara pragmatis digunakan Jokowi sebagai strategi politik untuk merebut dan mempertahankan kekuasaannya.
Sustainabilitas Populisme Jokowi
Setidaknya ada dua faktor utama yang mendorong populisme Jokowi tetap survive hingga kini:
1. Pendekatan Pragmatis
Menurut Ambardi (2019), “baik Jokowi maupun rivalnya Prabowo, sama-sama menggunakan pendekatan populis sebagai strategi pragmatis tanpa komitmen ideologis yang konsisten". Kedua tokoh ini pandai menyesuaikan diri dengan mengaplikasikan populisme secara fleksibel.
2. Dukungan Rakyat
Jokowi sukses memposisikan dirinya sebagai sosok pemimpin yang dekat dan peduli dengan rakyat. Dia berhasil merangkul dukungan mayoritas kelas bawah yang memandang Jokowi sebagai representasi harapan perbaikan nasib mereka.
Hingga 1 tahun terakhir kepemimpinannya, Jokowi masih mencatatkan lebih dari 75% tingkat kepuasan masyarakat. Capaian itu bahkan tidak bisa diraih oleh Presiden SBY di tahun terakhirnya.
Dukungan setinggi itu diharapkan Jokowi untuk bisa dikonversikan ke jumlah suara kepada calon presiden dan calon wakil presiden tertentu. Bahkan, dukungan itu diyakini berada di luar dari kelompok kritis kepada Presiden.
Ancaman bagi Demokrasi
Meski demikian, populisme model Jokowi berpotensi menggerogoti demokrasi Indonesia. Beberapa ancaman itu, antara lain:
1. Polarisasi Masyarakat
Menurut Singh (2020), “populisme cenderung mempertajam polarisasi sosial dan politik dengan meminggirkan suara-suara minoritas yang mengkritik”. Di era Jokowi, polarisasi antara pendukung pemerintah versus oposisi kian menguat. Polarisasi itu merembet ke persaingan di antara capres dan cawapres 2024.
2. Erosi Sistem Demokrasi Pancasila
Sistem demokrasi Indonesia yang mengedepankan musyawarah untuk mufakat (demokrasi Pancasila) mulai terkikis oleh budaya majoritarianisme yang dibawa populisme Jokowi.
Dalam sistem demokrasi Pancasila, seharusnya keputusan politik diambil melalui musyawarah berbagai elemen bangsa untuk mencapai mufakat, bukan sekedar mengandalkan suara mayoritas belaka. Sayangnya, kecenderungan majoritarianisme yang identik dengan populisme kerap mendominasi proses politik di era Jokowi.
Populisme itu juga mengesampingkan prinsip musyawarah untuk mufakat yang menjadi jiwa demokrasi Indonesia. Kondisi ini tentu saja sangat merisaukan dan berpotensi merusak sistem demokrasi Pancasila secara permanen.
Gambaran umum di atas menjelaskan bahwa populisme Jokowi lahir dari kondisi sosial-politik domestik Indonesia dan bertahan karena faktor pragmatisme para elit politik. Di satu sisi, populisme Jokowi sukses meningkatkan elektabilitas dan dukungan massa hingga tahun terakhir masa jabatannya.
Namun di sisi lain, fenomena ini berpotensi merusak sistem demokrasi Pancasila dan melahirkan ketegangan sosial politik di Indonesia. Beberapa kontroversi politik sejak keputusan Mahkamah Konstitusi, Gibran menjadi cawapre, Kaesang menjadi Ketua PSI hingga Presiden bisa kampanye pada pemilihan presiden 2024 dianggap sebagai bentuk konkrit regresi demokrasi Indonesia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI