Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Nasib Populisme Jokowi

31 Januari 2024   00:11 Diperbarui: 31 Januari 2024   00:15 519
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcRh6MkTyJeugQC9zfTpeph_2uKuj97X8MAb9w&usqp=CAU

Ancaman bagi Demokrasi 

Meski demikian, populisme model Jokowi berpotensi menggerogoti demokrasi Indonesia. Beberapa ancaman itu, antara lain:

1. Polarisasi Masyarakat

Menurut Singh (2020), “populisme cenderung mempertajam polarisasi sosial dan politik dengan meminggirkan suara-suara minoritas yang mengkritik”. Di era Jokowi, polarisasi antara pendukung pemerintah versus oposisi kian menguat. Polarisasi itu merembet ke persaingan di antara capres dan cawapres 2024.

2. Erosi Sistem Demokrasi Pancasila

Sistem demokrasi Indonesia yang mengedepankan musyawarah untuk mufakat (demokrasi Pancasila) mulai terkikis oleh budaya majoritarianisme yang dibawa populisme Jokowi. 

Dalam sistem demokrasi Pancasila, seharusnya keputusan politik diambil melalui musyawarah berbagai elemen bangsa untuk mencapai mufakat, bukan sekedar mengandalkan suara mayoritas belaka. Sayangnya, kecenderungan majoritarianisme yang identik dengan populisme kerap mendominasi proses politik di era Jokowi. 

Populisme itu juga mengesampingkan prinsip musyawarah untuk mufakat yang menjadi jiwa demokrasi Indonesia. Kondisi ini tentu saja sangat merisaukan dan berpotensi merusak sistem demokrasi Pancasila secara permanen.

Gambaran umum di atas menjelaskan bahwa populisme Jokowi lahir dari kondisi sosial-politik domestik Indonesia dan bertahan karena faktor pragmatisme para elit politik. Di satu sisi, populisme Jokowi sukses meningkatkan elektabilitas dan dukungan massa hingga tahun terakhir masa jabatannya. 

Namun di sisi lain, fenomena ini berpotensi merusak sistem demokrasi Pancasila dan melahirkan ketegangan sosial politik di Indonesia. Beberapa kontroversi politik sejak keputusan Mahkamah Konstitusi, Gibran menjadi cawapre, Kaesang menjadi Ketua PSI hingga Presiden bisa kampanye pada pemilihan presiden 2024 dianggap sebagai bentuk konkrit regresi demokrasi Indonesia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun