***
Pranggg !!! Prangggg !!!
"Boleh gak aku jelaskan ? atau aku hancurkan semua isi rumah ini !!!" teriak Sinta berusaha menghentikan ocehan suaminya
"Gak perlu dijelaskan lagi !" nada suara Andi satu oktaf lebih tinggi dari teriakan Sinta
"Dasar kolot, otak konslet selalu menyudutkan orang dari asumsinya sendiri !" jawab Sinta sambil terus membanting barang-barang yang ada di ruang kerja suaminya sebagai pelampiasan rasa kesalnya atas tuduhan yang tanpa bukti.
Setelah puas dengan aksi banting-bantingnya, Sinta lari ke kamar anaknya di lantai atas sambil membanting pintu kamar sekeras-kerasnya. Air matanya sudah kering. Tidak ada lagi air mata yang keluar dari mata sipitnya kalau berantem dengan suaminya. Kesal, kecewa, marah campur aduk. Permasalahan sepele di rumah tangganya tidak pernah ada solusi. Selalu ditarik untuk bahan berantem mereka berdua. Suaminya yang seorang lawyer selalu menjadikan istrinya sebagai obyek pelatihan adu argument. Sungguh terlalu...
***
"Ayah, kurang apa lagi pengorbanan mama ?" Tanya Cila kepada ayahnya saat sarapan pagi bersama
"Tidak ada, hanya ayah merasa tidak dihargai sebagai seorang suami." Jelas Andi kepada anaknya
"Tidak dihargai gimana maksud ayah ?" Tanya Cila semakin tidak paham jalan pikiran ayahnya
"Ya, Mama kamu kemarin ijin hanya mau ke Cikampek, tapi kenapa anter kamu ke apartment gak ijin ke ayah ?" Imbuh Andi
"Yaelahhhh...Cila kan sudah ngomong berulang-ulang. Cila ada tugas yang belum selesai ayah, jadi minta dianter ke apartment sekalian dari pada harus balik lagi ke rumah." Cila menanggapi penjelasan ayahnya dengan enteng
"Tapi kayaknya memang ayah mau bikin gara-gara saja nih ke mama, ya kan ?" sanggah Cila ke ayahnya tanpa peduli muka ayahnya memerah padam menahan amarah, tapi tidak mampu untuk berkata-kata.
"Cila selalu menyimak pertengkaran ayah dengan mama, tapi kalau ditarik kesimpulan...tidak ada tuhhh sebenernya yang harus diributkan sampai sedahsyat itu...please dehhh ayah pahami tingkat setress mama. Di kantor harus memikirkan 700 orang lebih, seharusnya ayah paham...biarkan mama di rumah tenang, jangan menambah bebannya dengan hal-hal yang gak penting untuk diributkan." Cila semakin menyudutkan ayahnya dan tidak memberi kesempatan untuk menanggapi ocehannya.
Rumah serba putih megah dua lantai berpilar empat diteras rumah hari  itu tanpa suara. Musik yang biasa mengalun di ruang kerja Drs. Andi Sandjaya, SH. MM tidak terdengar. Mobil silver milik Sinta Carollina, SE juga tidak tampak parkir di halaman rumah. Pertanda rumah kosong tidak ada penghuninya. Cila Agatha juga tidak tampak di teras rumah seperti hari-hari sebelumnya, selalu ngobrol dan bermain dengan kucing-kucing lucunya. Sepertinya Cila Agatha juga sudah kembali ke Apartment miliknya di kota Depok yang ditempati sejak aktif kuliah di Universitas Indonesia. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di rumah putih itu.
***
"Mama sudah capek Cila, ngadepin ayah kamu..." Sinta membuka obrolan dengan Cila di apartmentnya "Selama menikah dengan ayahmu, semua beban rumah tangga mama yang handle. padahal seharusnya tugas dia sebagai kepala rumah tangga...tapi mama tidak pernah protes." Lanjutnya sambil mengambil potongan buah semangka yang disuguhkan Cila.
"Ya sudah...sekarang mama maunya gimana ?" Tanya Cila sambil memeluk pundak mamanya "Cila hanya ingin melihat mama bahagia, tanpa tekanan dari ayah. Hidup tenang menikmati aktivitas mama sehari-hari." Lanjut Cila
"Sementara waktu, mama tidak pulang ke rumah dulu Cila...untuk mengurangi obrolan dengan ayahmu. Mama sementara tinggal bersama tante Lisa dulu ya...kalau Cila ada perlu, bisa ke rumah tante Lisa." Jelas Sinta
"Oke Ma...tapi jangan ikut-ikutan tante Lisa ya...diet ketat yang belum tentu sesuai dengan kondisi badan mama." Cila mengingatkan
"Gak laaahhhh...buat apa juga mama diet ketat." Sahut Sinta sambil tersenyum
Malam semakin larut, Sinta sudah terlelap di kamar Cila. Sedangkan Cila masih asik belajar di depan laptopnya. Mempersiapkan bahan untuk presentasi esok hari. Sambil sesekali melirik mamanya yang tertidur pulas. "Ya Allah...berikan kekuatan dan kesehatan untuk mama." Doa Cila dalam hati. Memang benar, Cila belum pernah sekalipun melihat ayah membahagiakan mama...dari urusan kecil sampai besar, semua mama yang menyelesaikan. Dari urusan membayar iuran lingkungan sampai biaya hidup sehari-hari, semua mama yang memikirkan sendiri. Gak tau uang hasil ayah membela para klien di persidangan untuk apa...Hhhuuufffttt orang lebih mengenal cewek yang matre, jarang orang membicarakan cowok materialistis. Sungguh gak adil dunia ini. Pikiran Cila ngelantur, akhirnya ditutup laptopnya karena belajarnya terganggu dengan isi kepala yang berkecamuk tak menentu. Cila pun menyusul mamanya untuk istirahat mengumpulkan energy untuk esok hari.
***
"Haahhhh...yang bener Sin ?" Lisa terkejut melihat screen shoot dari ponsel Sinta
"Kapan sih aku pernah bohong ke kamu Lis ?" ujar Sinta kepada sahabat karibnya yang sudah seperti saudara sendiri
"Jadi..." Lisa melongo menunggu respon Sinta
"Iya Lisa bawel...jadi karena ini yang selalu aku tanyakan ke Mas Andi, yang ujungnya selalu berantem." Jawab Sinta sambil menepuk pipi Lisa yang masih melongo "Menurut Mas Andi, hanya salah ketik saja...kan gak mungkin petugas KTP ketik status orang menjadi cerai mati, padahal jelas-jelas aku masih hidup."
"Oke, aku paham sekarang...kamu tenang saja, fokus urus Cila dan karir kamu. Ini urusanku !" Jawab Lisa tegas, matanya berbinar tajam penuh kemarahan. "Dasar laki-laki tidak tau diri.." Gumamnya dalam hati.
Ada beban mental pada diri Lisa, karena perkenalan Sinta dengan Andi adalah atas rekayasa dia saat itu. Sinta yang wanita karir, sangat dingin menanggapi semua pria yang mendekat kepadanya. Kebetulan saat itu Sinta menghadapi kasus pemalsuan data dirinya yang disalah gunakan untuk pengajuan kredit usaha oleh kakak kandungnya, maka diberikanlah referensi teman lawyernya untuk mendampingi selama kasus hukum berjalan. Dan dari sanalah Lisa makin mendekatkan Andi ke sahabatnya agar berjodoh. Namun dengan berjalannya waktu, Andi semakin dibutakan oleh harta yang dimiliki oleh Sinta. Sifat serakahnya mulai muncul diawal-awal pernikahan mereka. Lisa pernah memberikan saran agar Sinta menggugat cerai saja ke suaminya, apabila hidup berumah tangga dengannya tidak sesuai dengan harapan. Akan tetapi Sinta selalu berdalih kasihan anaknya nanti kalau menanyakan keberadaan ayahnya. Saat ini, sudah waktunya Lisa memback-up Sinta untuk melawan Andi si perampok yang berkedok sebagai lawyer itu. Toh sekarang Cila sudah dewasa, sudah bisa melihat mana yang benar dan mana yang salah. Batin Lisa berkecamuk hebat.
***
Senin pagi seperti biasa Sinta berangkat ke kantor lebih awal dari hari biasanya. Sinta sudah rapi dengan seragam kerjanya, menikmati seduhan bee pollen dan madu sebagai pengganti sarapan di meja makan. Terheran-heran melihat Lisa yang masih pakai daster dan belum mandi.
"Ehhh tante galak...sudah jam berapa ini ?" Tanya Sinta dengan nada heran
"Mau barengan gak ? atau mau kerja setengah hari saja ?" Lanjut Sinta
"Aku kurang enak badan Sin, kamu berangkat sendiri aja ya..." Jawab Lisa lesu sambil menuang air panas ke cangkir yang sudah terisi energen rasa coklat kesukaannya. Dilihatnya Sinta menganggukkan kepala tanda setuju.
"Oke, aku jalan dulu ya...keburu kena macet. Bye !" Buru-buru Sinta ambil tas kerja dan menuju ke garasi rumah Lisa
Tak lama kemudian bunyi klakson mobil sinta berbunyi, tanda untuk Lisa segera menutup garasi rumahnya. Â Lisa beranjak dari tempat duduknya menuju ke garasi untuk menutup pintu dan bergegas action atas rencana yang telah disusunnya semaleman.
***
Terik matahari membuat hati Lisa semakin mendidih berada di dalam mobil yang sengaja dia parkir dekat pintu keluar tempat parkir kusus mobil di Pengadilan Negeri kota Tangerang. Dari kejauhan Lisa sudah melihat mobil Fortuner coklat metalic B 888 DV bergerak untuk meninggalkan tempat parkir. Lisa segera menghidupkan mobil Jazz merahnya dan bersiap-siap untuk mengikuti Fortuner coklat metalic yang perlahan lewat di depannya.
"Hhhmmm...arah ke Tangerang Selatan rupanya." Gumam Lisa sambil terus mengikutinya dari belakang sambil mengambil foto mobil di depannya, sebagai rangkaian laporan ke Sinta nantinya.
Dari arah jembatan layang mobil coklat metalic terus melaju menuju ke arah cluster Giri Loka, tanpa disadari mobil Jazz merah terus mengikuti dari belakang. Dan akhirnya masuk ke halaman rumah minimalis modern. Lisa dengan gesitnya selalu mengabadikan semua yang dia lihat. Setelah mobil coklat metalic terparkir sempurna, terlihat seorang wanita muda berdaster dengan diikuti dua balita kakak beradik menyambut Andi Sandjaya yang turun dari mobil.
"Sabar Lisa...sabar Lisa..." Gumam Lisa menenangkan hatinya yang membara.
Setelah beberapa foto berhasil Lisa abadikan, tak perlu waktu lagi untuk berlama-lama berada di cluster Giri Loka dan mobil Jazz merahpun meluncur meninggalkan rumah minimalis itu menuju Bogor.
***
"Maunya jam berapa besok ?" Tanya Sinta dengan santai setelah melihat semua laporan dan dokumentasi hasil jepretan Lisa
"Kok kamu gak emosi jiwa yak ?" Lisa balik bertanya ke Sinta
"Gini lhooo tante galak...buat apa aku emosi jiwa ? kalau rasa cinta ataupun sayang saja gak ada dalam hatiku ? aku sudah paham dengan tipu daya dia selama ini... daaaannnn aku hanya mengharapkan ketegasan dia sebagai pria. Tapi kalau tetap tidak bisa tegas, it's ok kita mainkan permainanmu itu." Jelas Sinta dengan ekspresi tetap datar
"Okay bestie, selamat tidur semoga mimpi indah ya..." kata Lisa sambil menuju ke kamar tidurnya
***
Sabtu pagi sengaja Sinta memesan grab car dengan tujuan ke Giri Loka Tangerang Selatan. Sengaja menggunakan jasa grab car agar kedatangan mereka tidak dikenali.
"Selamat pagi..." sapa Sinta kepada wanita muda berdaster yang sedang menyapu halaman.
"Selamat pagi bu...cari siapa ya ?" tanya wanita berdaster kepada Sinta
"Apa betul ini rumah Pak Andi ? saya mau bertemu, ada urusan kantor yang belum selesai." Ujar Sinta
"Ooo..iya bu, sebentar saya panggilkan...silahkan duduk." Jawab wanita berdaster sambil berlalu dari hadapan Sinta dan Lisa
"Hhhhmmm...perempuan rumahan ternyata seleranya, biar tidak bisa melawan angkuhnya." gumam Lisa ke telinga Sinta
Lisa dan Sinta pun sudah asik menikmati bunga-bunga anggrek yang ditanam di halaman rumah mungil itu. Di sudut halaman terdapat kolam ikan dengan air terjun klasik dari guci-guci yang seolah tumpah.Â
"Ada apa jeng ?" Suara barito yang sudah familiar di telinga Sinta terdengar di pintu ruang tamu
"Gak ada apa-apa, cuma memastikan saja kalau selama ini kamu menginapnya disini Mas..." Jawab Sinta santai sambil melihat raut wajah Andi pucat pasi seperti tanpa aliran darah segar. "Dan gak usah lagi menyulut perkara remeh temeh di rumah hanya karena ingin menghindar dari aku dan Cila, demi kedua anakmu itu." Lanjut Sinta dingin sambil menunjuk kedua bocah disampingnya
"Mbak, nama siapa ?" Tanya Sinta ke wanita muda berdaster yang ketakutan di sebelah Andi
"Saya Imas bu...tapi kata bapak istrinya sudah meninggal." Jawab Imas dengan nada ketakutan
"Imas, Silahkan ambil suamiku ! dan kamu Mas ingat baik-baik kembalikan mobil itu ke Cila !" Nada suara Sinta mulai meninggi
Sinta cepat-cepat berlalu dari hadapan mereka menuju grab car , takut emosinya meledak hebat. Lisa mengikuti sahabatnya untuk menenangkan. Setelah masuk ke dalam mobil, Sinta merebahkan kepalanya ke sandaran mobil sambil memejamkan mata. Tanpa air mata disudut-sudut matanya. Habis sudah kesedihannya terkuras hari demi hari, bulan demi bulan. "Innalillahi wainailaihi rojiun..... Ya Allah, aku ikhlas menerima takdirMU, ampunilah segala dosa dan Khilafku selama ini...Astagfirullahhh..." Doa Sinta dalam hati.
- T.A.M.A.T -
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H