"Habiskan nduk nasinya...ntar nek kamu kurus, ibukku diomehi bu Dhe Dini...dikira kamu di Karang Anyar gak diopeni." Yani mulai menggoda Cinta, sambil menambahkan sambel penyet ke piringnya.
"Jare kamu kalau aku gendut itu jeleeekkk...piye to ?" ujar Cinta membela diri.
"Yo wes...aku ralat, kamu nek gendut malah sexy dari pada kerempeng kayak triplek gini." Yani paling bisa meledek adik sepupunya. "Wegah...nanti kamu gak kuat boncengin aku naik sepeda. Kan udah janji mau boncengin sepeda keliling kampung, terus beliin es kelapa muda." Cinta mengingatkan janji Yani yang akan mengajaknya bersepeda.
"Ooo...iya...hahaha...lali aku." Yani tertawa geli melihat muka Cinta dengan mulut manyunnya.
***
Pagi yang sejuk dengan halimun yang masih menyelimuti kampung Wanalela. Selalu mendamaikan hati Cinta. Berbeda dengan suasana komplek perumahan orang tuanya. Cinta kecil hidup nomaden, selalu tinggal berpindah pindah komplek perumahan. Mengikuti dimana bapaknya bertugas sebagai abdi negara.
"Mbak Yani...Cepetan !!!" Teriak Cinta memanggil Yani yang sedang ngobrol dengan ibunya di warung sebelah rumahnya.Â
"Sik to nduk...bocah kok gak sabaran." Jawab Yani sambil melihat Cinta yang sudah nangkring diatas sepeda mini dengan memakai kaos merah kesayangannya.
"Ayo...kamu yang gowes duluan ya...nanti kalau sudah nyampe jalan raya gantian aku." Lanjut Yani sambil lompat ke boncengan sepeda yang sudah jalan pelan.
"Nggih ndoro putri...hahaha...ndoro gendheng." Sahut Cinta sambil tertawa girang.
Dua remaja putri dengan semangat paginya mengayuh sepeda membelah kabut persawahan yang masih dingin sambil bernyanyi sahut sahutan, kemudian tertawa lepas gak jelas banget. Kadang saling mengolok-olok dan tertawa bareng. Mungkin orang yang sedang menanam padi di sepanjang pematang sawah yang mereka lalui merasa heran dengan tingkah polah dua remaja itu di pagi hari yang masih dingin.