Dalam bagian ini kami akan menguraikan mengenai Filsafat Dayak yang didalamnya terdiri dari : Siapa suku Dayak, Filosofi Dayak, dan Kosmologi Dayak.
Mengenal Suku Dayak Secara Umum
Beberapapakarberpendapat bahwa untuk mengetahui asal usul suatu suku bangsayang perlu diteliti adalah keanekaragaman bahasa yang ada di wilayahtersebut. Hasil penelitian terhadap suku dan bahasa Dayak di Kalimantan Baratmenunjukan bahwa ternyata subsuku dan bahasa Dayak di Kalimatan Baratmempunyai tingkat keanekaragaman yang tinggi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pulau Kalimantan adalahtanah asal usul orang Dayakdan Melayuyang berketurunan Dayak karena mengubah identitasnyapada sekitar tahun 1800-an karena berganti agama.Berdasarkan teori di atas maka dapat dipastikan bahwa Pulau Kalimantan adalah tanah asal usul suku (orang) Dayak.
Beberapa teori terdahulu menyatakan bahwa penduduk Pulau Kalimantanberasal dari migrasi suku bangsa Austronesia. Ada dua teori yang menjelaskan proses perpindahan suku bangsa tersebut. Teori pertama berasal dari P dan F Sarasin (1892-1893), yang kemudian didukung oleh Heine-Geldern (1932). Proses perpindahansuku bangsa Austronesia tersebut adalah sebagai berikut:
Suku-sukuasli di rantau ini kononnya orang Vedda.Mereka didesak oleh pendatang baru dari Benua Asia lebih kurang 5000 tahun yang lalu. Pendatang ini berhijrah ke pesisir Asia Tenggara, termasuk perpulauannya dan memencilkan suku asli tersebut. Penghijraan itu dinamakan Melayu Proto.Sesudah 3000 tahun, mereka pula yang didesak dengan gelombang penghijraan yang baru yang dinamakan Melayu Deutro. Karena kedua-duakelompok, Proto dan Deutro ini, berasal dari daerah dan sumber budaya dan bangsa yang sama maka mereka bergaul dan berpadu, kecuali di beberapa daerah pedalaman yang hingga kini masih memperlihatkan kebudayaan Melayu Proto.
Ahli lainnya seperti Henrik Kern (1889) menyatakan bahwa rumpun Austronesia berasal dari Cina Selatan atau bagian utara Vietnam berpindah ke arah selatanmenuju Asia Tenggara melalui beberapa buah sungai yang mengalir di tempat itu.
Sewaktu orang-orang Austronesia masuk pulau Kalimantan, mereka mendapati pulau ini masih berbentuk hutan belantara. Kemudian mereka hidup di dalam belantara ini, bergaul dengan alam dan menyatu dengan alam, hutan, sungai dan terbiasa dengan kekuatan-kekuatan alam.Dapat dimengerti apabila alam sangat berpengaruh dan paling banyak menentukan perkembangan budaya dan peradaban yang mereka miliki.
Berdasarkan kutipan J.U Lontaan dari tulisan Ch.F.H.Duman (1924)dikatakan, bahwa sukuDayaklahpenduduk asli pulau Kalimantan. Mula-mulamereka menduduki (mendiami) tepi sungai Kapuas dan laut Kalimantan, tetapidatangnya Melayu dari Sumatera dan dari tanah Semenanjung Malaka, terpaksaterdesaklah mereka ke hulu sungai.
Sebelum kedatangan orang-orang Austronesia di Nusantara termasuk di pulau Kalimantan, pulau Kalimantan sudah dihuni oleh sekolompok suku bangsa yangbelum diketahui identitasnya. King mengungkapkan ”We have Evidence of human habitation in Borneo going back at least 35.000 to 4000 years, the Austronesiaspeaking ancestors of today’s native population of the island only began to seatle there quite recently, probably 4500 years ago.”
Bukti-bukti arkeologi terkini yang ditemukan di Sabah dan Sarawak Malaysia, dapat dijadikan patokan untuk melihat keadaan pulauKalimantan pada masa purba. Misalnyapenemuanfosil tengkorak yang dianggap sebagai manusia modern (homo sapiens) oleh TomHarrison di Gua Niah Gunung Subis dekat Miri, Serawak. Umurtengkorak ini diperkirakan mempunyai rentang waktu antara 38.000 sampai 40.000 tahun.
Berbagai teori yang dikemukan di atas, mengokohkan kayakinan bahwa suku Dayakmemangtelah menjadi penghuni pulau Kalimantan sejak zaman permulaan, hal ini sejalan dengan cerita-cerita rakyat yang dituturkan secara lisan tentang asal usul suku Dayak.
FilosofiDayak
Filosofi Dayak yang sangat terkenal terkandung dalam salam Dayak atau kata pembukaan yang dirumuskan sejak beberapa puluh tahun yang lalu berbunyi: “Adil Ka’ Talino Ba Curamin Ka’ Saruga Ba Sengat Ka’ Jubata”. Filosofi ini akan kami uraikan secara sistematis untuk mengetahui Filsafat Dayak secara menyeluruh. Berikut ini penjelasan dari makana darai filisofi Dayak tersebut.
1.Adil Ka’ Talino, adalah kata yang mempunyai makna bahwa manusia Dayak itu harus hidup adil kepada sesama manusia. Cinta damai dan keadilan ini tertanam pada masyarakat Dayak dalam kehidupan didunia ini untuk mencapai kehidupan yang sempurna selama hidup. Kehidupan manusia Dayak tidak terlepas dari golongan yang satu dengan golongan yang lain, oleh sebab itu keadilan harus bisa dilestaraikan dan dijaga dalam setiap manusia Dayak.
2.Bacuramin Ka’ Saruga, adalah istilah yang digunakan masyarakat Dayak untuk menujuk kesempurnaan hidup manusia. Kata ini mempunyai makna bahwa manusia Dayak harus hidup berpadanan dengan kehidupan yang diatas atau hidup yang sempurna atau tertinggi yang sebagi contoh hidupmanusia Dayak.
3.Ba Sengata Ka’ Jubata, adalah hidup manusia Dayak didasarkat atas Yang Ilahi atau Realitas Mutlak yang dipercayai oleh manusia Dayak yang disebut Jubata. Masyarakat Dayak meyakini bahwa Jubata yang memebrikan kehidupan dan kelimpahan dalam setiap aspek kehidupan masyarakat Dayak. Berikut ini kami akan menguraikan secara singat mengenai istilah Jubatayang didalamnya: Atribut Absolut Jubata, dan Atribut RelatifJubata.
Atribut Absolut Jubata
Pada bagian ini penulis akan mengikuti pola uraian sistematis dalam teologi Kristen mengenai atribut Allah, dalamupaya menjelaskan keyakinan kepada Jubata, hal ini dimaksud agar mempermudah pemahaman terhadap eksistensi dan atribut Jubata. Meskipun penulis menyadaribahwa uraian mengenai topik ini tidak mungkin sedetail sebagaimana yang terdapat uraian teologiKristen tentang atribut Allah. Hal tersebut disebabkansumber tertulis yang masih sangat minim dan sumber lisan yang sudah mualai langka karena termakan usia.
Jubata sebagai yang Mutlak
Istilah yang Mutlak (absolute) merupakan istilah filosofis, Loren Bagus, mendefinisikannya sebagai berikut:
1.Realitas dasar, Dasar Dunia,atau prinsip kosmis yang merupakanasal-usul eksistensi dan semua kegiatannya, kesatuan dankeberagamannya.
2.Yang ada yang tidak menggantungkan keberadaan dan kegiatannyapada suatu yang lain, sebaliknya, segala sesuatu yang lainnya menggantungkan keberadaan dan kegiatannya,pada Yang-ada ini. dan segala sesuatu lainnyaakhirnya dapat dikembalikan pada Yang-ada ini.
3.Keseluruhan organis dan pemikiran yang adadalam prosesaktualisasidan pemenuhansemuaeksistensi yangsementaradan terbatas.
4.Realitas (Yang-ada, substansi) sebagaimana ada dalam dirinya sendiri,yang berlawanan dengan segi yang tampak realitas itu.
5.Realitas yang memuat segala sesuatu yang terbatas.
6.yang kekal, tidak terbatas, tidak bersyarat,sempurna dan tidak berubah. Subjek ini tidak bergantung pada yang lain. Didalam dirinya terkandung segala sesuatu yang berada dan menciptakan segala sesuatu yang ada. Dalam agama sang absolute adalah Tuhan (Allah). Dalam Fitche sang absolute adalah EGO. Dalam Hegel, sang absolut adalah rasio dunia (roh mutlak). Dalam Schopenhauer, sang absolute adalah kehendak. Dalam Bergson, sang absolute adalah intuisi.
Berdasarkan definisi di atas maka yang mutlak adalah adalah sesuatu yang adadengan sendirinya sebagaimana ia harus ada. Keberadaan-Nya tidak bergantung kebaradaan lain.
Jubata diyakini oleh masyarakat Dayak Kanayatn sebagai sesuatu yang ada dengan sendirinya. Nenek moyang masyarakat Dayak Kanayatn tidak berupaya mengungkapkan keberadaan Jubata atau tidak bertanya mengenai keberadaan Jubata melainkan mendorongpemujaan terhadap Jubata kepada setiap generasi, Sebagai yangabsolut Jubataadalah Roh, sebagai Roh, Jubata berpribadi. Keyakinan Jubata sebagai Roh ditegaskan oleh empat orangpanyangahatndalam wawancara dengan penulis, pada saatmencari data untuk penelitian ini, ketika ditanya apakah Jubata bisa dilihat oleh mata kita?,semua panyangahatn menjawab bahwa Jubatatidak dapat dilihat.Ahidin seorang narasumber yang diwawancarai Hermanus, terkait dengan pegertian Jubata adalah Roh, mengatakan bahwa, “Jubata adalah suatu roh yang tidak memiliki tubuh dan daging. Sehingga tak seorangpun tahu mengenai rupa Jubata, karena Jubata tidak dapat dilihat.oleh mata manusia. Dalam bamang yang disampaikan panyangahatndalam setiap ritus agama suku, selalu disebut “pamaJubata”, konsep masyarakat Kanayatn tentang pama pada umumnya mengacu kepada “roh suci/tinggi”baik untuk Jubata maupun pama nenek moyang yang dianggap suci atau luhur, karena kesaktian atau kakayaan yang mereka miliki. Demikian juga ungkapanJubata bulatn, bintakng, kayu aya’, kayu enek,.. sebagaimana yang telah dikutip terdahulu, hal tersebut menurut Evigo sebagaimana dikutip dari beberapa sumber, bukan berarti Jubata itu banyak (jamak) tetapi artinya ia berada dimana-mana atau dapat dijumpai diberbagai tempat. Kita dapat salah paham karena keterbatasan bahasa danpengungkapannya.Konsep ini meneguhkan pendapat bahwa Jubata itu roh, oleh karena Jubata itu roh maka Ia tidak dapat dibatasi oleh ruang dan waktu. Sebab hanyarohAllahlah yang dapat hadirbersamaan pada saat yang sama dan di tempat yang berbeda. Penjelasan mengenai presensi Jubata yangtanpa dibatasi ruang dan waktusebagaimana tercermin dalam beberapa pendapat di atas menunjukkan bahwa masyarakat Dayak Kanayatn percaya bahwa Jubata itu roh adanya.
Konsep bahwa Jubata adalah roh seharusnya berimplikasi kepada doktrin tentang ketidakterbatasan Jubata. Tetapi dalam kepercayaan kepada Jubata, pengajaran tesebut tidak mendapat perhatian oleh karena konsep masyarakatsuku ini masih sangatsederhana, sehingga sangat relevan menggali informasi dari masyarakat untukmengetahui pemahaman masyarakattentang ketidakterbatasan Jubata.
Disini akan diberikan ilustrasi mengenai ketidakterbatasan Jubata dalam hal mengetahui.Masyarakat Dayak Kanayatn biasanya memiliki pohon buah-buahan yang ditanam di area kebun atau di lokasi bekas perkampungan (timawakng) yang sudah ditinggalkan berpuluh-puluh tahun. Biasanya tempat seperti itu sangat jauh dari rumah sehingga sulit untuk mengontrol atau mengawasi area tersebut. Ada suatu mekanismepengawasan sebagai cara antisipasi, agar buah-buahan di kebun tersebut tidak diambil orang lain yaitu dengan cara membuat kulikngdantikalpada pohon. Padazamandahulu orang tidak berani coba-coba untuk mengambil, karena merekamemiliki keyakinan bahwa Jubata tahu jika mereka mengambil apa yang bukanmerupakanmilik mereka.Sebenarnya ilustrasi ini merupakan suatu bukti bahwaMasyarakat Dayak Kanayatn memiliki konsep ketidakterbatasan Allah dalam hal mengetahui atau doktrin tentang kemahatahuanJubata. Selain itu tentu Jubata itu tidak terbatas dalam kuasa-Nya. Kemahakuasaan Jubata sebenarnya dapat dijumpai dalam keyakinan masyarakat Dayak Kanayatn pada kisah penciptaan, serta ketujuh sifat Jubatayang sisebut sebagai Ne’ Panampa, Pajaji dan sebagainya sebagaimana telah diuraikan terdahulu.
Masyarakat Dayak Kanayatn juga yakin jika Jubata memiliki personalitas(berkeperibadian). Unsur-unsur personalitas Jubatadapat dilihat dalam ungkapan antropamorfis terhadap sifat Jubata, seperti, Jubata Ne’ Pangorok, danJubata Ne’ Pangingu.Keduasifat ini sebagaimana juga sudah disinggung pada penjelasan terdahulu menunjukkan bahwa Jubata memiliki personalitas. Selain itu banyak sekali legenda dan cerita-cerita rakyat yang mengisahkan keterlibatan Jubata dalam menangani masalah manusia atau menguji ketulusan manusia. Bating mengisahkan:
Pada suatu hari di sebuah perkampungan rumah panjang masyarakat Dayak, terlihatlah seseorang yang sedang berjalan dari ujung sebelah timur kampung menuju ka arah rumah panjang tempat tinggal mereka. Ketika semakin dekat, maka tampaklah penampilan yang kurang menarik dari orang tersebut, ternyata orang tersebut hendak bertamu, dan ia mulai menaiki tangga rumah panjang kemudian menyapa para penghuni rumah panjang, yang pada saat itu kebanyakan wanita dan anak-anak yang sedang menjemur padi, karena penampilan yangtidak meyakinkan tamu itu, maka tamu tersebut tidak telalu dipedulikan. Setelah cukup lama, sang tamu berpamitan, berjalan menurunitangga,lalu ketika sampai ke ujung kampung sebelah Barat beberapa anak melihat bahwa orang tersebut ternyata menghilang, dan memberitahukan kepada orang tua mereka, tetapi mereka tidak percaya, mereka bepikir bahwa tamu tersebut menghilang ditikungan jalan, sehingga tidakterlihat lagi. Beberapa malam malam kemudian ada yang bermimpi bahwa ternyata tamu tersebut adalah Jubata yang hendak memberkati padi mereka, tetapi karena mereka kurang peduli, maka pada tahunitu mereka medapat hasil padi yang tidak memuaskan…”
Makna yang terkandung dalam kisah tesebut sesungguhnya hendak menegaskan bahwa Jubata memiliki personalitas. Personalitas Jubata dalam kisah ini ditunjukan dengan menguji hati, apakah terdapat ketulusan pada manusia dalam menjalani dan memperlakukan orang lain, yang dalam hal ini mumngkin adalah orang asing. Bukankah Alkitab juga memiliki narasi yang sama,Ketika Abraham menjamu dua orang tamunya tetapi ternyata tamu tersebut bukanlah manusia biasa, tetapi mereka adalah utusan Allah. Dalam kisah Abrahamhospitalitas manusia terhadap orang asing mendapat nilai positif. Oleh karena itu penulis menyimpulkan bahwa Jubata adalah realitas mutlak, makhluk rohaniah yang memiliki personalitas.
Keesaan Jubata
Perbincangan mengenai doktrin keesaan Jubata, sebenarnya hampir kurangrelevandi kalangan suku Dayak Kanayatn. Ketidakrelevanannya berhubungan dengan sistim religi yang pragmatis-fungsional, karena masyarakat Dayak Kanayatn tidak terlalu mempermasalahkan apakah Jubata itu tunggal atau jamak, yangutama adalah ritus pemujaan kepada Jubata mendatangkan berkat, perlindungan dan nasib baik bagikomunitas suku tersebut. Pada masyarakat Dayak Kanayatn yang masih percaya kepada Jubata tidak terdengar upaya untuk membicarakan dengan seriusapakahJubata dikatakan tunggal atau jamak. Meskipun kalangan Kristen menolak konsep Jubatadalam masyarakat Dayak Kanayatn sebagai sebutan Allah karena sifat jamak yang diduga terkandung dalam keyakinan masyarakat terhadap Jubata. Mereka hanya menolakjikaJubata disebut atau disamakan dengan berhala. Walaupun demikian pada bagian inipenulis tetapberupaya menggali dari berbagai sumber yang relevan dan memungkinkan untuk melakukan pengkajian terhadap doktrin Keesaan Jubata.
Indikasi bahwa Jubata itu Esa,didapat dari bamang dan ritual baliatn yang menyebutkanJubata sebagai Ne’ Nange, arti nange adalah tunggal atautersendiri, hanya satu-satunya, tidak ada yang lain. Di daerah Anik-Darit sering disebut sebagai Nange Dikakng. Pada waktu mencari data, penulis bertanya kepadabeberapa panyangahatn tentang sifat esa atau jamaknya Jubata, dalam wawancara pribadi, dengansangat yakin para panyangahatn tersebut, menyatakan bahwa Jubata yang mereka sebutkan dalam bamang memang banyak (jamak) sesuai dengan jumlah bukit yang diyakini olehmasyarakat Dayak Kanayatn merupakan tempat kehadiran Jubata. Tetapi ketikapenulis bertanya lebih jauh, mengenai perbedaan antara Jubata yang satu dengan yang lainnya para Panyangahatntersebut tidak dapat menjelaskan. Dankemudian ketika penulis mengajukan pertanyaan yang sifatnya menegaskan dan menggiring mereka pada pemahaman mengenai hakekat Jubata yangsesungguhnya. Parapanyangahatn tersebut tiba pada kesimpulan bahwa Jubata itusebenarnya satu, namun dapat dijumpai diberbagai tempat. Keyakinan menjawab bahwa Jubata itu jamak kemungkinan merupakan jawaban yang paling murni dalam pikiran para panyanghatn ketikamerekamenyampaikan bamang. Tetapi penulis sadar bahwa tidak mungkin hanya bersandar pada pendapat para panyangahatn tersebut mengenai hakekat Jubata terutama yang berhubungan natur esensial yaitu keesaan dan kejamakan Jubata.
Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Hermanus, dengan menyebarkan angket kepada responden masyarakat Dayak Kanayatn, menunjukkan bahwasembilan puluh koma nol tujuh persen responden menjawab bahwa Jubata adalah esa.Sedangkan penelitian yang diadakan penulis memperlihatkan fenomena yang lain,sebagian besar jemaat Kristen, menjawabbahwa jubata itu jamak. Sedangkan umat Khatolik mayoritasmenjawab pertanyaan yang sama dengan jawaban Jubata itu esa. Jawaban masyarakat Dayak Kanayatn yang beragama Kristen dan Khatolik di wilayah Anik Dingir dan Daritini tentu bukan upaya untuk menentukan poling,bahwasiapa yang paling bersar jumlah prosentasenya merupakan jawaban yang represntatif untuk menentukan keesaan Jubata dalam Masyarakat Dayak Kanayatn. Karena keesaan Jubata tidak ditentukan oleh pendapat masyarakat, sebab jikademikian, maka suatu yang ilahistatusnyaditentukan oleh poling manusia. Haltersebut tentu berimplikasipada yang mutlak dalam diri Allah menjadi relatif, Iamenjadi keberadaan yang bergantung pada eksistensi makhluk lainnya, dan atribut Allahsebagaiyang Absolut menjadi tidak relevan. Pemikiran yangdemikian tentu tidak ditemukan dalam masyarakat Dayak Kanayatn. Oleh karena itu keesaan Jubatasebagaimana telah dibicarakan di atas tidak dapat ditentukan dengan hasilwawancara terhadap para panyangahat yang dengan pola pikir spontan, atau dengan melihat polling angket.
Menurut penulis para Panyangahatn tersebut adalah parapraktisi yangtidak memusingkan diri dengan hal-hal rumit, mereka hanya berpikir bagaimana menyampaikan doa masyarakat kepada Jubata, lagi pula pola penalaran mereka masih sangat sederhana, sehingga tidak berfikir mengenai hakekat Jubata yang sesungguhnya apakah Esa atau Jamak.
Dengan demikian upaya membicarakan keesaan Jubata harus dilakukan pada tarafberpikir filosofis spekulatif.Karena itu disini penulis menganjurkan menerima keesaan Jubata atas dasar pertimbangan filosofis, bahwa Jubata itu sebagai realitas mutlak yang bersifat rohaniah hal ini sejalan dengan kayakinan bahwa jubata itu roh sebagaimana telah diuraikan di atas, dan karena Ia roh makatidak dibatasi oleh ruang dan waktu, dan dapat hadir di berbagai tempat pada saat yang sama.
Jubatayang diyakini tinggal di beberapa tempat sebagaimana yang terdapat dalam bamang panyangahantbukanlahsuatudoktrin, melainkansuatu doa, yang memerlukan kalrifikasi dan tafsir, agar apa yang diucapkan olehpanyangahatn benar-benar dipahami secara tepat. Sebab sesungguhnya belum ada sistematisasi ajaran tentang Jubata dalam kepercayaan masyarakat Dayak Kanayatn, yang ada hanya tafsirterhadap bamang para panyangahatn. Karena itu penulismeyakini bahwaJubata yang dipuja dan disembah masyarakat Dayak Kanayatn bersifat tunggal yang menyatakan diri dalam berbagai cara kepada manusia di berbagai tempat. Demi menegaskan pandangan penulis terhadap keesaan Jubata penulis sependapat dengan Victor I. Tanja, yang,yang diyakini tinggal di beberapa tempat sebagaimana yang terdapat dalam b Dengan demikian kekeliruan dalammemahami roh mutlak, ataurealitasilahi yang menyatakan diri dalam barbagai wujud dan sebutan (penamaan) yang kemudian dianggap sebagai politheisme atau penyembahan berhala dapat diatasi. Gereja tidak semestinya membuang tenaga untuk mendiskreditkan masyarakat yang berkeyakinan lain sebagaipenyembah berhala. tetapisegera menemukansimpul yangtepat bagi pemberitaan injil.
Atribut RelatifJubata
Upaya untuk mengungkapkan jati diri Allah secara objektif dan sistematistelah dilakukan oleh teolog-teolog Kristen berabad-abad lamanya. Sehingga menjadi suatu model yang sangat membantu dalam kegiatan berteologi. Uraian berikut ini merupakan penerapan pola tersebutdalam rangka menjelaskan atribut-atribut Jubata yang dapat dijumpai (dinalar) oleh masyarakat Dayak Kanayatn, seperti kebaikan, dan kekudusan Jubata.
Kebaikan Jubata
Masyarakat Dayak kanayatn pada umumnya meyakinijubata itu adalah baik. Kebaikan Jubatatampak dalam sifat-sifat Jubata yang disebut dalam bamang seperti, istilah Jubata Ne’ Pangorok danNe’ Pangingu, (mengenai keduaistilah ini telah dijelaskan dalamcatatan kaki no. 118 dan 119). Kedua istilah tersebut secarasemantik menunjukkan sifat baik Jubata. Istilahngoroksebenarnya merupakanistilah yang digunakan untuk melukiskan induk ayam yang melindungi anak-anaknya dibawah kepak sayapnya baik dari cuaca buruk atau dari serangan musuh,danmengajari anak-anaknya bagaimana caranya memperoleh makanan. Sedangkanistilah ngingu sering muncul bersamaan dengan kata lainnya sepertingoan danngarere’.Jadi katangingu-ngoan, ngrere’, adalah suatu rangkaian kata majemuk yang sering muncul dalam bamang dan syair-syair dalam ritus nyangahatn dan baliatn. Kata ngingu-ngoan-ngarere’ biasanyadipakai untuk melukiskanseseorang yang menjaga, mengasuhdanmerawatanaknya sendiri atau anak orang lain dengan penuh kasih dan segenaptanggung jawab. Kedua istilah itu dipakai untuk menunjukkansifat-sifat Jubata, sebagai ungkapan antropofatis, bahwa Jubata itu adalah kebaikan tertinggi dan Jubata merupakan sumber kebaikan.
Masyarakat Dayak Kanayatn sangat meyakini kebaikan Jubata, sehinggasetiap perkara dalam hidup mereka selalu dibawa kepada Jubata. Ungkapanantropomorfis dan antropofatis mengenai kebaikan Jubata juga sering muncul dalam narasi dan legenda serta cerita-ceritarakyat yang mengisahkan perhatian Jubata terhadap ketidakadilan penderitaan manusia, beberapa setting narasi memiliki latar hutan dan perkampungan masyarakat. Sebuah cerita yang dituturkan oleh Bating,mengisahkan perhatian Jubata terhadap manusia yang menderita. Bahkan dalam setiap bamang, Panyangahatn mengakui dalam doanyaJubatalah yang memberkati hasil panen,hasil ternak dan setiapusaha mereka termasuk kesehatan fisik, serta perlindungan bagi seluruh komunitas masyarakat. Dengan demikian jelaslah bahwa keyakinanmasyarakat Dayak Kanayatnmengenai kebaikan Jubata lebih didasarkan padakeyakinan ontologis atas realitas mutlak (Jubata) yang memiliki personalitas.Keyakinan itu juga didukung oleh hal-hal praktis yang mereka alami dan terima sebagai berkat dari Jubata.
Kekudusan Jubata
Ajaran yang sistematis dan terdokumentasi menegenai aspek kekudusanJubata tidak didapati dalam kepercayaan masyarakat Dayak Kanayatn. AspekkekudusanJubatajuga jarang disebutkan dalah syair-syairdan dalam bamangsebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab sucisuatu agama. Tetapi sikap hormatterhadap Jubata sebagai“yang kudus”dapat dijumpai dalam sikap masyarakat Dayak Kanayatn dalam memelihara tradisi dan memelihara tempat-tempat“keramat” (kudus), tempat dimana manusia berjumpa dengan “yang lain” (realitas mutlak) Jubata. Tempat semacam itu tidak boleh dikotori dengan perbuatan tercela.Jika melewati tempat tersebut biasanya masyarakat basampakang (berbicara kepada sesuatu yang tidaktampak oleh mata jasmani) yang diyakini adaditempat itu,sebagai sikap hormat dan sekaligus takut.