Tuhan lalu bertitah padaku;Â
"Tuan, Bumi telah dipersiapkan, berkenankah kau turun dan melihatnya?"Â
Lantas Dia memaut kepalanya dengan senyum yang masih bersemayam dalam pikiran.Â
Aku menganggut, senyumNya meranum.Â
Tiga hari lalu, seraya mengkerutkan dahinya Dia berkata.Â
"Hanya seumur itu kau ingin mendiami bumi?" Bagaimana jika ditambah?"Â
Kami saling beradu tatap lalu saling terdiam.Â
Mata kami saling bercengkrama.Â
Aku menggeleng, dahiNya makin mengkerut.Â
Pagi itu aku tiba di Bumi yang Dia takhlikan untukku.
Masih lima ribu detik lagi hingga menuju hening.Â
Sepanjang beberapa masa terasa sangat gelap, Maka aku kobarkan api di sela rindu akan wangi surgaMu.Â
Lantas api itu.
Aku namakan ia timur.
Dengan bulan yang terapung di seberangnya, timur tampak kesepian, sebagaimana aku yang hanyut di lautan gersang.
Kusentil satu dua kerikil, terpijar di atmosfir.Â
Menjadi bintang-bintang dilangit, untuk kupandang setiap hari.
Menyinari barabad masa, lantas mati. Tetap cemerlang dari sini.
Masih dua ribu detik lagi hingga menuju hening.
Aku alpa menggerakan waktu.
Malam ini sangat beku dan sunyi.
Kuundang para petualang asing yang akan datang sebentar lagi.
Hembusan anginnya sudah tiba lebih awal.
Sayap-sayap mereka akan tiba saat api menyuam pagi.
Dan menanti dua ribu detik ini berakhir.
Aku beri nama satu demi satu yang terlihat.
Sampai aku bosan menyulut api di timur.
Saat-saat berkobar lebih cepat;Â
Angkasa berdenyar "Apa yang sedang kau perbuat?" Tuhan kini di hadapanku bertanya keheranan.
Aku mengajakNya duduk di sampingku menghadap ke arah timur "Aku rindu wangiMu." ujarku.Â
Api kian tinggi.
Bunyi kepak sayap para petualang kian terdengar.
Tuhan menangis tipis, air matanya dirangkum embun.Â
Aku menamakannya pagi.
Tasikmalaya 260219 (09:06)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H